NovelToon NovelToon
Seni Perang Dalam Cinta

Seni Perang Dalam Cinta

Status: tamat
Genre:Tamat / Diam-Diam Cinta / Bad Boy / Enemy to Lovers / Si Mujur / Rebirth For Love / Idola sekolah
Popularitas:764
Nilai: 5
Nama Author: Dwiki

Theresa Coldwell adalah ratu tak tertandingi di sekolahnya—lidahnya tajam, kepercayaan dirinya tak tergoyahkan. Tak ada yang berani menantangnya… sampai Adrien Valmont datang. Santai, tak terpengaruh, dan sama pintarnya, dia membalas sarkasme Theresa dengan komentar tajam tanpa ekspresi, membuat setiap pertemuan mereka jadi ajang adu kecerdasan dan ego. Dari debat di kelas hingga persaingan di seluruh sekolah, ketegangan di antara mereka semakin terasa. Tapi ketika sesuatu yang tak terduga mengancam untuk memisahkan mereka, akankah mereka akhirnya menurunkan ego masing-masing, atau justru terjebak dalam perang kata-kata yang tak berujung?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saat Adrien Marah

Theresa Coldwell sudah terbiasa dengan banyak hal.

— Orang-orang ketakutan karena kecerdasannya yang tajam? Biasa.

— Membuat para guru mempertanyakan hidup mereka? Rutinitas.

— Perang kata-kata dengan Adrien Valmont? Latihan harian.

— Melihat Adrien benar-benar kehilangan kesabaran? TIDAK MASUK AKAL.

Karena itulah, saat itu benar-benar terjadi, dia—dan seluruh sekolah—merasa seperti sedang terjebak di dimensi lain.

Semua Berawal dari Sebuah Perdebatan Kecil.

Theresa menyandarkan diri di kursinya, menyeringai. “Ada apa, Valmont? Apa aku akhirnya mengalahkanmu di ujian?”

Adrien menyilangkan tangan, menghela napas. “Tolong. Kalau itu sampai terjadi, aku sendiri yang akan membangun kuil untukmu.”

“Kuil emas,” Theresa mengoreksi. “Lengkap dengan patung.”

Adrien mendengus. “Mimpi saja.”

Perdebatan mereka berlangsung seperti biasa—sampai seorang figuran tak penting di kelas memutuskan untuk membuka mulut.

“Kenapa sih kalian berdua bertingkah seolah kalian setara?” kata seseorang.

Theresa mengangkat alis ke arah sumber suara—seorang yang bukan siapa-sapa bernama Marc, yang bahkan nyaris tidak ia ingat keberadaannya.

Marc menyeringai. “Maksudku, Theresa kan cuma cewek yang jago ngejek, kan? Adrien yang sebenarnya jenius di sini.”

Kelas langsung sunyi.

Adrien membeku.

Theresa baru saja akan meluncurkan sarkasme tingkat neraka, ketika Adrien berdiri dari kursinya.

Adrien tidak pernah berdiri dari kursinya.

Saat itulah Theresa sadar—ada yang tidak beres.

Adrien menoleh ke Marc, dan untuk pertama kalinya, matanya yang berwarna hazel keemasan membara dengan kemarahan nyata.

“Jadi, biar aku pastikan,” kata Adrien, suaranya tenang—terlalu tenang.

Marc mulai gelisah. “Uhh…”

Adrien melangkah maju. “Menurutmu Theresa cuma ‘jago ngejek’? Itu saja yang dia bisa?”

Marc tertawa gugup. “Iya? Memangnya selain itu dia bisa—”

Kesalahan fatal.

Adrien menyeringai, tapi bukan seringai sombong biasanya. Ini seringai ‘Kau akan menyesali keberadaanmu.’

“Oh, entahlah, Marc,” Adrien berkata santai. “Mungkin fakta bahwa dia punya nilai sastra tertinggi di sekolah? Atau bahwa dia sendirian mempermalukan guru sejarah kita dengan mengoreksi penelitiannya sendiri? Atau mungkin karena dia bermain piano lebih baik dari setengah klub musik?”

Marc terkesiap. “Uh—”

“Atau bahwa dia selalu menghancurkan setiap lawan debatnya? Atau bahwa dia bisa menyelesaikan soal matematika lebih cepat daripada kau bisa mengeja ‘medioker’?” lanjut Adrien, tanpa ekspresi.

Wajah Marc memerah.

Adrien miringkan kepala. “Coba ingat-ingat, Marc. Prestasi terakhir kau apa? Juara dua lomba makan?”

Kelas meledak dalam tawa.

Marc berubah ungu. “A—aku—”

Adrien menatapnya dingin. “Itu yang kupikirkan.”

Marc kabur dari kelas.

Seluruh ruangan terdiam.

Theresa, yang baru saja menyaksikan pembelaan dirinya yang paling brutal sepanjang hidupnya, benar-benar kehilangan kata-kata.

Setelah Kelas.

Theresa menyusul Adrien di lorong.

“Kau tahu,” katanya sambil menyilangkan tangan, “kalau aku tidak salah paham, aku bisa saja mengira kau sebenarnya menyukaiku.”

Adrien melirik sekilas. “Jangan konyol.”

Theresa menyeringai. “Oh? Jadi kau menghancurkan seseorang secara publik demi membelaku hanya karena iseng?”

Adrien mengangkat bahu. “Lebih ke karena pernyataannya yang bodoh.”

Theresa menyipitkan mata. “Mm-hm.”

Mereka berjalan dalam diam sejenak.

“…Tapi tetap saja,” Theresa berkata santai, “itu agak… baik darimu.”

Adrien menoleh. “Kau barusan memujiku?”

Theresa berhenti sebentar. Lalu mendengus. “Pfft, nggak.”

Adrien menyeringai. “Sayang sekali. Padahal aku sudah mau membangun kuil itu untukmu.”

Theresa menonjok lengannya. “Diam, Valmont.”

Tapi saat mereka berjalan berdampingan, hatinya terasa lebih ringan.

Dan untuk pertama kalinya, dia mulai berpikir—mungkin Adrien bukan sekadar rivalnya saja.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!