Apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan kelabu yang menyelimuti rumah tangga selama lima tahun?
Khalisah meminta suaminya untuk menikah lagi dengan perempuan yang dipilih mertuanya.
Sosok ceria, lugu, dan bertingkah apa adanya adalah Hara yang merupakan teman masa kecil Abizar yang menjadi adik madu Khalisah, dapat mengkuningkan suasana serta merta hati yang mengikuti. Namun mengabu-abukan hati Khalisah yang biru.
Bagaimana dengan kombinasi ini? Apa akan menjadi masalah bila ditambahkan oranye ke dalamnya?
Instagram: @girl_rain67
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girl_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
K. 18~ Kucemburu
"Ah, itu...." Khalisah tersenyum kikuk.
Aku tidak mungkin memberitahu Mas Abi kalau ingin mencari tau kebenarannya.
"Sepatuku rusak waktu berjalan-jalan tadi. Jadi, aku meninggalkannya di sana."
Maaf aku berbohong.
"Begitu ya." Abizar mengangguk pertanda percaya.
"Mas, ada yang mau aku bicarakan. Bisakah kita bicara berdua saja?" pinta Khalisah memegang lengan Abizar.
Abizar terdiam. Sejujurnya Abizar belum siap bila sewaktu-waktu Khalisah akan membahas 'itu', namun ada alasan menolaknya juga. Pada akhirnya Abizar memilih mengangguk. "Baiklah."
Dia mengerakkan tangan seolah memanggil seseorang membuat Khalisah menoleh ke belakang. "Edgar!" seru Abizar.
Mata Khalisah membola ketika laki-laki itu melangkah dan melewatinya sedikit supaya menghadap suaminya.
"Ada apa, Pak?"
Suaranya.... Batin Khalisah, kemudian menggertakkan giginya, geram.
Abizar merogoh saku kemejanya dan memberikan kartu pada Edgar. "Tolong belikan sepatu untuk istriku, ukurannya?" Abizar memandang Khalisah untuk memberitahukan ukuran sepatunya pada si bodyguard.
"Dia tau." Khalisah memberi tatapan datar pada Edgar yang dibalas mata sipit oleh laki-laki itu, tanda bahwa laki-laki itu tersenyum dibalik maskernya.
Aku harus memastikan dia benar-benar menstalkerku atau tidak.
Sedangkan Abizar justru heran atas ungkapan Khalisah. "Kenapa Edgar mengetahuinya?"
"Selama ini Mas nggak pernah mengganti bodyguard 'kan? Aku pikir Mas pasti beberapa kali menyuruhnya membeli barang untukku. Jadi, enggak mungkin dia nggak tau ukuran sepatuku," terang Khalisah bernada dingin.
Benar, tapi aku tak ingat pernah menyuruhnya membeli sepatunya Khalisah, batin Abizar.
"Saya tau kok, Pak. Kalau begitu, Saya permisi dulu, Pak, Non. السلام عليكم."
Deg!
Sontak Khalisah menatap Edgar yang melaluinya dan terpaku pada punggung laki-laki itu yang mulai menjauh.
"وعليكم سلام،" jawab Abizar.
"وعليكم سلام," balas Khalisah kemudian.
"Ayo." Abizar menggenggam tangan Khalisah dan mengajaknya memasuki mobil, sedang Khalisah merasa keberatan sehingga jalannya tertatih.
Edgar....
Abizar membawa Khalisah ke restoran yang ada ruang bagi keduanya berbicara. Dan memasuki restoran tersebut membuatnya keduanya jadi perbincangan hangat para pelanggan lantaran Khalisah yang cuma memakai kaus kaki digendong oleh Abizar sampai ke ruang makan mereka.
Ketika Khalisah didudukkan di sofa, Abizar memindahkan tangan yang menutupi wajah jelita istrinya. "Ngapain ditutup, udah ketutup cadarnya juga."
"Tetap saja aku merasa malu," sungut Khalisah.
Abizar tersenyum gemas dan tersipu sebab Khalisah mengeluarkan suara manja yang jarang terdengar setelah pernikahan kedua terjadi.
Mendengar ketukan pintu, Abizar berdehem baru menyerukan 'masuk'. Dia berpindah tempat menjadi di depan Khalisah pada sofa di seberang.
"السلام عليكم."
Lagi penuturan Edgar menciptakan keterkejutan dalam diri Khalisah, dan lagi laki-laki malah santai-santai saja mendekati kedua majikannya.
"وعليكم سلام،" balas Abizar. Akan tetapi dia merasa heran pada Khalisah yang bengong dan tak menjawab salam Edgar. Tak apa, satu orang saja sudah memadai fardhu kifayah.
"Pak, saya bawakan sepatunya," pukas Edgar meletakkan paper bag di atas meja.
Segera saja Khalisah membukanya dan memakainya. Perasaannya kacau dan begitu tau sepatunya pas di kakinya, Khalisah tertunduk lama.
Aku ternoda.
Edgar memandang nona-nya penuh makna. Ia tau apa yang ada dalam pemikiran wanita pujaannya itu, selalu mengerti.
"Ada apa, Khalisah? Apa sepatunya kurang cocok?" tanya Abizar heran. Soalnya ia merasa terjadi keheningan pekat di seberang sana dan Edgar mencakup wilayah gelap itu.
Khalisah mengangkat wajahnya dan memperlihatkan senyuman. "Tidak, ini pas. Terima kasih. Kamu bisa pergi."
"Baik, السلام عليكم." Edgar keluar, dan bersamaan dengan itu Khalisah memegang dada.
"Kha-Khalisah, kenapa?" Abizar bangun dan memegang lengan Khalisah melihat istrinya itu seperti kekurangan oksigen.
Wanita berhijab itu mencoba mengatur napas agar rasa sesak di dadanya berkurang, berkurang bukan menghilang?
Khalisah tidak yakin ini bakal menghilang, justru mungkin membekas karena kepercayaannya selama bertahun-tahun di luluh-lantahkan dalam satu hari.
Memandang suaminya, lalu pintu yang baru saja ditutup oleh laki-laki yang melengkapinya di separuh hidupnya.
Butuh beberapa menit sebelum akhirnya Khalisah menjadi tenang, dan setelah itu pintu diketuk menjadikan niat Abizar yang ingin bertanya terhenti. Rupanya pelayannya datang dengan membawa papan menu.
Pelayannya lebih dulu memberi papan menunya pada Khalisah sehingga Khalisah dapat melihat stik note yang tertempel.
...Aku yang bayar....
^^^I^^^
Ah, benar. Sekarang sebagian kekhawatiran Khalisah menghilang. Jujur, ia bingung memberi alasan bagaimana pada suaminya agar tak makan, karena nanti pasti bayarannya dilakukan mas Abi.
Uangnya mas Abi.... Lalu, bagaimana dengan uang dia, halal 'kan? Aku percaya padanya, makanya aku iyakan waktu mas Abi menyuruh membelikan sepatu baru, karena perasaanku bilang dia yang bakal membayarnya.
Batin Khalisah kembali berdebat, tapi tetap fokus menatap deretan makanan di menunya. "Boleh saya yang tuliskan pesanan saya?"
"Boleh, mbak. Silahkan." Pelayannya menyerahkan buku note dan pulpennya ke Khalisah yang terima Khalisah. Kemudian Khalisah menyodorkan papan menunya kepada suaminya, barulah ia menulis.
"Mas, mau apa?"
Abizar menyebut pesanannya dan Khalisah menuliskannya. Barulah tinggal mereka berdua sesudah pelayannya pergi.
Dilihatnya sosok Khalisah yang dihadapannya. Abizar akui Khalisah tampak berisi meski rautnya tampak luruh, lelah dan ingin menyerah, namun lekat dalam diri Khalisah tetap ada rasa syukur dan sabar.
"Kamu tinggal dimana selama sepuluh hari ini? Edgar juga bilang kamu enggak ada di rumah lama kamu." Abizar lebih dulu memulai pembicaraan.
"Aku menyewa kontrakan dekat kawasan aku jalan-jalan tadi," balas Khalisah.
Abizar mengangguk. "Kamu kelihatan berisi. Sepertinya tinggal di keluarga Al-Ghifari membuatmu kurusan dan menderita, dan bebas dari sana membuat kamu bahagia," ungkap Abizar tersenyum miris.
Ah, penyataan sang suami membuat Khalisah syok tapi tak menunjukkannya.
Berisi, bahagia, serius? batin Khalisah yang menolak ungkapan Abizar sembari dahinya berdenyut. "Aku cuma menenangkan diri dan bisa berpikir jernih, bukan berarti aku benar-benar nyaman sendiri. Mas tau 'kan seberapa inginnya aku dengan keramaian?"
Abizar lagi-lagi mengangguk. "Aku minta maaf atas Mama. Mama cuma takut terjadi apa-apa sama Hara."
'Cuma' dan 'Hara', Khalisah rasanya ingin membanting dirinya yang selalu meninjau kata-kata sendiri, sehingga dirinya kesulitan untuk tersenyum tulus pada Abizar. "Enggak papa, Mas. Aku mengerti, sama mengertinya aku ketika Mas menikmati waktu bersama Hara sampai melupakanku."
Deg.
Jantung Abizar serasa dihantam baja.
...☠️...
...☠️...
...☠️...
Bersama Tisara Al-Muchtar dan juru lainnya.