Madava dipaksa menikah dengan seorang pembantu yang notabene janda anak satu karena mempelai wanitanya kabur membawa mahar yang ia berikan untuknya. Awalnya Madava menolak, tapi sang ibu berkeras memaksa. Madava akhirnya terpaksa menikahi pembantunya sendiri sebagai mempelai pengganti.
Lalu bagaimanakah pernikahan keduanya? Akankah berjalan lancar sebagaimana mestinya atau harus berakhir karena tak adanya cinta diantara mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sesuatu yang tak terduga
Madava sedang mengguyur tubuhnya di bawah guyuran shower yang dingin. Matanya terpejam. Rahangnya mengeras. Giginya bergemeletuk menahan buncahan kemarahan yang bergelora di dadanya.
Madava baru saja menuntaskan hasratnya yang sudah lama terpendam pada Ayu. Jujur saja, sejak beberapa hari ini, ia selalu terperdaya oleh pesona dan kecantikan Ayu. Dan puncaknya adalah malam ini. Ia tidak bisa mengontrol dirinya lagi. Ia merasakan kepuasan yang tak terhingga, tapi ada satu hal yang mengganjal di hatinya hingga membuatnya begitu kesal karena merasa dibohongi.
Ayu masih virgin.
Sungguh sesuatu yang tak terduga. Ia bangga, tapi ia marah. Madava merasa Ayu sudah menipunya dan ibunya selama ini. Padahal mereka mengira Ayu benar-benar janda, tapi nyatanya ...
Terlalu banyak yang Ayu rahasiakan darinya dan ibunya. Siapa dia sebenarnya? Siapa Rafi? Mengapa ia mengakui Rafi sebagai anaknya? Dimana keluarganya?
"Seberapa banyak lagi rahasia yang kau sembunyikan?" gumamnya serak.
Beberapa waktu yang lalu, Madava yang sudah tidak bisa mengontrol hasratnya, akhirnya benar-benar melakukan apa yang seharusnya ia tuntaskan sejak awal pernikahan mereka. Tak peduli Ayu yang terus menolak, namun semakin kuat pula Madava menginginkan Ayu.
Madava menyusuri setiap inci tubuh Ayu sambil memegang tangannya ke atas. Ayu menggelengkan kepalanya sebagai sebuah penolakan, tapi Madava justru terus melancarkan serangannya hingga akhirnya Ayu pun pasrah saat Madava benar-benar meruntuhkan benteng pertahanannya.
Mata Madava membeliak. Ia menatap wajah Ayu yang sedang meringis kesakitan. Bulir bening menetes dari sudut mata Ayu.
"Kau ... " Madava menatap tajam netra Ayu. Ayu memalingkan wajahnya, tak mau bertatapan dengan Madava.
Madava merasa dibohongi, tapi hasratnya sudah tak terkontrol lagi. Ia tak bisa menghentikannya. Akhirnya, ia pun menuntaskan segalanya. Pekik kesakitan Ayu perlahan berubah menjadi erangan kenikmatan. Madava yang awalnya melakukannya dengan sedikit kasar, perlahan melembutkan gerakannya setelah mengetahui Ayu masih virgin. Madava akui ia egois. Namun segalanya sudah terlanjur terjadi. Selepas menuntaskan hasratnya, Madava berlalu menuju kamar mandi untuk menumpahkan kekesalannya. Tak mungkin ia menumpahkannya pada Ayu saat itu juga. Jadi ia memilih menghindar untuk mengontrol emosinya agar tidak pecah malam itu.
Sementara Ayu, melihat Madava pergi begitu saja setelah menuntaskan hasratnya, seketika tersedu. Egonya sebagai seorang perempuan merasa terluka. Ingin marah, tapi ia tahu, Madava memang sudah berhak atas dirinya. Dan ia pun sadar, pasti Madava seperti itu karena terkejut dengan kenyataan kalau ia sebenarnya masih perawan. Ayu memang belum pernah menikah dan Rafi memang bukanlah anak kandungnya.
Karena kelelahan, Ayu pun tertidur pulas. Ia harap, Rafi tidak terbangun dan mencarinya malam itu. Ia akan bangun pagi-pagi sekali sebelum Rafi bangun.
Madava yang sudah selesai mandi, terpaku melihat Ayu yang sudah terlelap. Melihat wajah teduh Ayu, membuat kobaran amarah di dadanya perlahan mereda. Tapi tidak dengan rasa kecewanya. Entah kenapa, kekecewaan yang ia rasa jauh lebih besar dibandingkan kekecewaannya saat Via tiba-tiba menghilang membawa semua mahar yang sudah ia berikan. Kekecewaan ini, mengingatkannya pada sebuah memori di masa lalu.
Madava menggelengkan kepalanya. Ia tak mau lagi mengingat masa-masa itu. Itu merupakan masa terberatnya. Ia terpuruk tak berdaya.
Setelah mengenakan pakaian, Madava memilih tidur di sofa. Ia lelah. Lelah jiwa dan raganya.
Keesokan paginya, Ayu sudah bangun saat langit masih terlihat gelap. Ayu menatap sendu Madava yang memilih tidur di sofa.
Bukan. Bukan berarti ia ingin Madava tidur di sisinya. Tapi entah kenapa, ia sedikit kecewa pada Madava yang mengambil sesuatu yang berharganya tanpa izinnya. Meskipun itu memang sudah menjadi haknya.
Ayu pun dengan tertatih segera pergi dari kamar Madava. Ia harus memastikan Rafi tidak terbangun dan mencarinya.
...***...
Ayu sudah selesai menyiapkan sarapan. Ia juga sudah membantu Rafi mandi. Bahkan kini keduanya sudah duduk di meja makan sembari menunggu Madava. Tak lama kemudian, Madava benar-benar turun.
"Papa pergi kerja dulu ya! Jangan main terus, nanti lelah!" ujar Madava pada Rafi. Ayu mengerutkan keningnya saat mendengar itu. Terlebih saat Madava berlalu begitu saja dan segera pergi bekerja tanpa sarapan sama sekali. Bahkan ia pun tidak menegurnya sama sekali.
Sebagian orang memang cenderung memilih diam saat sedang merasa marah maupun kecewa. Begitu pula Madava. Ayu merasa kesal. Padahal ia pun tidak jauh berbeda. Ia selalu memendam segalanya sendiri. Padahal segala sesuatu itu harus dikomunikasikan untuk mendapatkan solusinya.
Silent treatment memang sangat dibutuhkan untuk meredam gejolak di hati. Untuk menenangkan diri agar saat mereka berbicara nantinya, emosi itu sudah sedikit mereda.
Selepas kepergian Madava, Ayu pun berniat menutup pagar rumah. Namun sesuatu tiba-tiba mencuri perhatiannya.
"Apa itu?"
Ayu pun segera mendekati sesuatu yang menarik perhatiannya itu. Ia melihat sebuah kotak berada di dalam tempat sampah yang ada di dekat pagar rumah. Saat Ayu melihatnya, matanya seketika terbelalak.
"Ini ... "
Ayu seketika menghubungkan kejadian sore kemarin. Bagaimana Madava yang pulang-pulang dengan ekspresi kesal kemudian memilih pergi lagi.
"Apa dia kesal karena Rafi sudah lebih dulu memiliki mobilan pemberian Mas Asrul? Tapi bukankah seharusnya ia berikan saja. Kenapa mesti marah-marah seperti itu?"
Ayu bingung. Ia tidak mengerti, ini perihal ego laki-laki. Merasa memiliki sehingga merasa kesal saat ada yang mendekati.
Ayu pikir kekesalan Madava hanya sementara, namun sampai malam ternyata Madava masih bersikap dingin padanya. Ia diam. Ia bungkam. Bahkan ia memilih pulang lebih larut dari biasanya untuk menghindari Ayu. Makanan yang sudah Ayu siapkan tidak disentuh sama sekali. Bahkan sampai keesokan paginya pun Madava tetap bersikap sama. Ia hanya mau berbicara dengan Rafi dan mengabaikan dirinya.
"Aku mau bicara!" sela Ayu saat melihat Madava kembali pulang larut. Pukul 10 malam. Ayu memilih menunggu untuk membicarakan permasalahan mereka. Meskipun sesungguhnya ia belum bisa benar-benar menerima pernikahan ini, tapi Madava sudah menyentuhnya. Ia harus menipiskan ego.
Mereka tinggal satu atap, tapi seperti orang asing setiap berpapasan. Pernikahan macam apa ini? Bila tidak segera diperbaiki, ia yakin, lambat laun pernikahannya akan kandas tak bersisa.
"Membicarakan apa?" tanya Madava dingin. Sejujurnya ia belum siapa berhadapan dengan Ayu. Dadanya masih bergemuruh setiap mengingat kebohongan Ayu. Karena itu ia memilih menghindar, khawatir ia melukai wanita itu.
"Aku memang masih virgin. Aku belum menikah dan Rafi ... bukanlah darah dagingku." Ayu berkata gugup. Sungguh, tak seorang pun mengetahui masalah ini.
"Kenapa baru sekarang mau bercerita? Apakah menyenangkan bisa menipu aku dan mama? Apa sebenarnya tujuan kedatanganmu? Apa tujuanmu menipu kami berdua? Apa kau memang sudah berencana sejak awal untuk masuk ke dalam keluarga ini? Atau ... jangan-jangan kau berkomplot dengan Via untuk menghancurkan aku?" cecar Madava dengan dada bergemuruh.
Entah mengapa pertanyaan itu mengalir begitu saja. Inilah yang Madava takutkan kalau berbicara sebelum emosinya benar-benar mereda. Ia yakin, Ayu sangat terkejut dengan kata-katanya ini.
...***...
Dua manusia dengan ego masing-masing. Yang satu penuh rahasia, yang satu benci sebuah kebohongan. Dan orang-orang seperti ini, banyak di sekeliling kita. 😢
...Happy reading 🥰🥰🥰 ...