Pernikahan yang diawali dengan perjodohan dan tak saling cinta, biasanya berakhir dengan sebuah cinta diantara keduanya. Namun ternyata apa yang Salma alami berbeda dengan kisah romansa pada umumnya.
Dua puluh tahun menikah dengan Aidil dan dikaruniai dua orang putra ternyata tak membuat Aidil bisa membuka hatinya untuk Salma. Hingga di suatu malam, akhirnya Salma mengetahui jika suaminya memiliki wanita idaman lain dalam pernikahan mereka.
Manakah yang akan Salma pilih? Bertahan demi anak-anaknya atau memilih berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pinkanmiliar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Janji Di Atas Ingkar
Salma menatap nanar jalanan di depannya. Usai bicara dengan kedua orang tuanya, Salma memilih untuk pulang ke rumahnya.
Selama perjalanan, Salma mengingat kembali kalimat demi kalimat yang diucapkan ibu tirinya. Tapi Salma berhasil membungkam semua argumen Lidia.
"Ayah dan Ibu tenang saja. Aku akan tetap membiayai kehidupan kalian dan juga Salsa. Aku memiliki beberapa properti yang sudah atas namaku. Aku bisa mendapatkan uang dari menyewakan semua properti itu."
Salma memejamkan mata sejenak kemudian memilih satu jalan yang akan ia lewati. Salma memilih menuju ke restoran milik chef Marko.
Pria itu sudah menjadi teman Salma selama bertahun-tahun. Salma tahu jika Marko adalah orang yang bisa dipercaya.
Marko membawakan dua buah teh untuk Salma dan Marina. Salma sudah lebih dulu menghubungi Marina sebelum menghubungi Marko.
"Silakan diminum! Aku akan meninggalkan kalian agar lebih leluasa bercerita." Marko bermaksud pergi. Namun Salma mencegahnya.
"Duduklah, Mark!" perintah Salma. "Aku merasa hanya punya kalian saat ini..." Suara Salma terdengar bergetar.
Salma yang selama ini mereka kenal adalah wanita yang tegar. Dan hingga saat ini kedua sahabat Salma ini masih bisa melihat itu.
"Salma, ada apa?" tanya Marina.
Salma menatap sang sahabat. "Kau pasti tahu apa yang terjadi. Aku ... Aku akan berpisah dengan mas Aidil."
"Salma..." Marina menggenggam tangan Salma. "Tolong maafkan aku! Maafkan aku karena sudah membawa Jihan dalam kehidupan kalian berdua." Marina amat menyesal dengan apa yang terjadi pada Salma.
"Jangan menyalahkan dirimu. Aku sudah ikhlas menerima semuanya."
Marko hanya diam dan melihat interaksi kedua wanita itu.
"Bagaimana dengan kedua putramu?"
Salma menggeleng. "Mereka belum mengetahuinya. Tapi aku yakin mamih akan memberitahu mereka sama seperti dia memberitahu ayahku." Salma masih terlihat tegar meski hatinya sudah hancur lebur.
"Apa? Jadi, ayahmu sudah tahu soal ini?" Marina menelan ludahnya. Ia makin merasa bersalah karena ia tahu bagaimana kondisi Johan, ayah Salma.
"Cepat atau lambat semuanya akan terbongkar, Na. Aku menceritakan ini pada kalian karena aku hanya ingin berbagi beban saja. Tapi kumohon jangan membebani diri kalian dengan masalahku. Aku akan menyelesaikan masalah ini dengan mas Aidil."
Marina dan Marko saling tatap. Mereka heran dengan Salma yang masih terlihat tegar dengan semua permasalahan yang sedang dihadapinya. Mungkin karena Salma terbiasa dengan tekanan dan masalah sejak dirinya masih muda. Makanya mental Salma sudah terbentuk dengan kuat meski badai terus menerpanya.
"Sal, aku harus kembali ke kantor. Jam istirahatku sudah selesai," ucap Marina sambil melirik jam tangannya.
"Iya, pergilah. Bersikaplah biasa saja pada mas Aidil. Anggap saja kau tidak tahu apapun."
Marina mengangguk. Ia memeluk Salma sejenak kemudian berlalu. Kini tinggal Salma dan Marko yang masih di duduk disana.
"Maaf ya aku harus membebanimu dengan masalahku."
"Salma, berhentilah menyalahkan dirimu. Apa rencanamu setelah ini? Apa kau akan keluar dari rumah itu?"
"Aku belum memikirkan hingga sejauh itu. Sepertinya aku juga harus pergi, Mark. Kalau begitu aku permisi ya!" Salma beranjak dari duduknya dan bersiap pergi.
"Sal, jika kau butuh bantuan, hubungi saja aku!" ucap Marko.
Salma mengangguk kemudian berjalan keluar dari resto. Sementara Marko hanya menatap kepergian wanita cantik yang sudah lama menjadi sahabatnya itu.
#
#
#
Kepulangan Salma langsung disambut oleh Evita, sang ibu mertua. Evita menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil menatap Salma.
"Dari mana saja kau? Kenapa tidak menjawab teleponku?" sungut Evita.
"Aku ada urusan sebentar, Mih."
"Kenapa tidak mengatakan apapun padaku sebelum kau pergi?"
"Aku tidak punya kewajiban untuk meminta izin padamu. Aku lelah! Aku ingin istirahat dulu!" Salma berjalan melewati tubuh Evita yang mematung tak percaya dengan sikap Salma.
"Ada apa dengannya?" gumam Evita masih menyimpan kebingungan.
Salma masuk ke dalam kamarnya dan duduk di tepi ranjang. Ia memandangi seluruh ruangan kamar yang sudah ditempatinya selama 20 tahun. Ada foto pernikahannya dengan Aidil yang masih terpajang rapi di dinding.
Salma mengingat kembali kenangan kebersamaannya dengan Aidil di kamar ini. Semua kata-kata yang diucapkan Aidil waktu itu, masih terus Salma ingat hingga sekarang.
"Mas, apa kamu yakin jika kita bisa menjaga pernikahan kita? Lihatlah tadi Diyas ketakutan karena melihat orang tua temannya bertengkar. Aku tidak mau dia mengalami hal seperti itu, Mas."
"Kamu tenang saja! Kita pasti bisa menjalaninya. Aku sudah menerima kamu sebagai takdirku, jadi kuharap kamu juga menerima aku sebagai takdirmu."
"Iya, Mas. Kita akan menghadapinya bersama. Jika kita bertengkar, aku harap kita bisa saling mengalah agar tidak membuat anak-anak bersedih."
"Iya, sayang."
Salma tersenyum getir mengingat semua momen itu. Kini semua sudah tidak berarti lagi. Salma sendiri ingin tetap mempertahankan semuanya, tapi ia tidak bisa menerima pengkhianatan yang dilakukan Aidil.
Meski harus mengorbankan perasaan anak-anaknya, Salma yakin jika kedua putranya akan memahami keputusan sang ibunda. Salma yakin itu!
#
#
#
Pintu kamar Salma di ketuk. Rupanya sejak tadi Salma tertidur usai mengenang memorinya bersama Aidil.
"Salma! Buka pintunya!" Suara teriakan Evita membuat Salma segera bangun dari tidurnya.
"Salma!"
"Ada apa, Mih?" jawab Salma ketika pintu telah terbuka.
"Kenapa lama sekali membuka pintu?"
"Aku ketiduran, Mih."
"Cepat siapkan makan malam! Apa kau tidak akan memasak?" kesal Evita.
"Malam ini aku tidak akan masak. Tapi aku sudah memesankan makanan untuk Mamih. Sebentar lagi pasti datang."
Ya, Salma sengaja memesan makanan sebelum ia terlelap tadi untuk Evita. Tak lama suara bel rumah besar itu berbunyi.
Salma menuju ke depan untuk membuka pintu. Ia mengucapkan terima kasih pada si kurir.
"Ayo duduk, Mih."
Salma mengajak Evita untuk duduk bersama.
"Kau beli apa tadi?"
"Ayam goreng. Bukankah mamih sangat ingin makan ayam goreng. Sekarang makanlah!"
Setelah berucap, Salma segera menuju kembali ke kamarnya.
"Kau tidak ikut makan?" tanya Evita bingung.
"Tidak Mih, aku memesankan semuanya khusus untuk mamih. Silakan dinikmati. Aku permisi!"
Evita menatap Salma dengan wajah bingung. "Ada apa dengannya? Kenapa aku merasa dia bukan Salma yang biasanya?"
Salma memilih untuk kembali ke kamar. Baginya, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk merasa lapar. Dan memang Salma tidak merasa lapar.
Hingga akhirnya Aidil pulang setelah bekerja dan melihat Salma yang sudah terlelap. Aidil menghampiri Salma dan menatap wajah istrinya itu.
Aidil membetulkan selimut Salma hingga menutupi bagian dada. Salma terbangun merasakan sebuah gerakan dalam tidurnya.
"Mas? Kamu sudah pulang?"
Aidil tersenyum dan mengangguk. "Tidurlah kembali!" Aidil mengusap puncak kepala Salma.
"Iya, Mas. Kamu juga harus istirahat setelah ini." Salma kembali terlelap.
Aidil berjalan menuju lemari pakaiannya dan mengambil piyama tidurnya. Sebelum masuk kamar mandi, Aidil melihat sebuah amplop coklat diatas meja rias Salma.
Karena penasaran Aidil pun memeriksa amplop tersebut. Ia menghela napas usai membaca apa isi dalam surat tersebut. Sebuah gugatan perceraian yang akan dilayangkan Salma kepadanya.
Aidil menatap Salma sendu. "Apa kau harus melakukan ini, Salma?"
dewasa banyak ilmu yg d dapat dr cerita ini tentang kesabaran kedewasaan dalam ambil sikap meski cerita nya sederhana
Tapi ya sudahlah jk mmg sdh hrs ending.Terima kasih utk ceritanya kak
Di tunggu next ceritanya..semangat