Hanashiro Anzu, Seorang pria Yatim piatu yang menemukan sebuah portal di dalam hutan.
suara misterius menyuruhnya untuk masuk kedalam portal itu.
apa yang menanti anzu didalam portal?
ini cerita tentang petualangan Anzu dalam mencari 7 senjata dari seven deadly sins.
ini adalah akun kedua dari akun HDRstudio.Di karna kan beberapa kendala,akun HDRstudio harus dihapus dan novelnya dialihkan ke akun ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bisquit D Kairifz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masalah
Setelah berbincang sebentar di bawah langit malam yang sunyi, Anzu dan Alfred akhirnya memutuskan untuk tidur. Nyala api unggun yang kecil berkeredap di antara bebatuan, sementara angin malam mengelus dedaunan pelan. Dunia tampak damai — seolah menenangkan hati dua pengembara yang tak punya arah.
---
Keesokan paginya, mereka melanjutkan perjalanan melewati jalan setapak di dalam hutan. Kabut masih menggantung di antara pepohonan ketika Alfred bertanya,
“Jadi kita sekarang mau ke mana, Anzu?”
Anzu menatap ke depan, matanya redup namun tenang.
“Entahlah… ke mana saja kakiku membawaku,” jawabnya singkat.
“Hah? Apa maksudmu?”
“Tidak. Lupakan saja,” sahut Anzu cepat.
Mereka terus berjalan tanpa arah yang jelas. Waktu terasa lambat, perut Alfred mulai memberontak.
krucuk-krucuk
“Eegghh... perutku lapar sekali,” keluhnya sambil memegangi perut.
Anzu hanya menghela napas kecil, tapi tiba-tiba Alfred berhenti dan mengendus-endus udara.
snif-snif
“Wah! Aku mencium bau yang enak sekali!” serunya dengan mata berbinar.
“Sepertinya ada orang lain di sekitar sini,” gumam Anzu sambil memperhatikan kepulan asap tebal di kejauhan.
“Dilihat dari asap itu, sepertinya ada yang sedang berkemah.”
Alfred menelan ludah keras-keras. “Huah! Aku tidak tahan lagi. Ayo kita cari sumber bau itu!”
“Hei, Alfred! Tunggu dulu—!” seru Anzu, tapi Alfred sudah berlari lebih dulu.
Anzu mendesah. “Hah, dasar bodoh satu itu.”
---
Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah lapangan kecil di tepi sungai. Empat orang duduk melingkar di sekitar api unggun besar, menancapkan daging berlemak di atas batang besi. Bau panggangan memenuhi udara.
krak — ranting patah di bawah kaki Anzu.
Seketika semua kepala menoleh.
“Siapa di sana?” bentak salah satu dari mereka sambil menggenggam gagang pedang.
Anzu segera melangkah maju dan mengangkat tangannya.
“Maaf, kami tidak bermaksud mencurigakan. Kami hanyalah pengembara yang tersesat dan tertarik karena aroma masakan kalian.”
Pemimpin kelompok itu, seorang pria bertubuh kekar bernama Jerry, menatap mereka curiga sejenak sebelum tersenyum tipis.
“Ah, jadi karena bau daging panggang, ya?” katanya sambil tertawa kecil.
“Kalau begitu, tak usah sungkan. Bergabunglah bersama kami.”
“Ah, tidak per.....—” Anzu hendak menolak, tapi Alfred sudah maju duluan.
“Kalau begitu kami terima tawarannya!” katanya dengan senyum lebar.
“Hei! Apa yang kau lakukan, bodoh?” bisik Anzu tajam.
“Tenang saja, kita belum makan dua hari, kan? Ini kesempatan emas!” jawab Alfred dengan suara pelan.
Anzu hanya bisa menghela napas panjang. “Baiklah…”
Mereka pun duduk bersama. Jerry memperkenalkan rekan-rekannya: Carin, Haris, dan Ricard. Keempatnya tampak ramah — terlalu ramah, bahkan. Tapi di balik tawa mereka, mata Anzu menangkap sesuatu yang aneh: senyum yang tak sampai ke mata, gerak tangan yang terlalu hati-hati, dan pandangan yang saling bertukar diam-diam.
Namun, karena lapar, ia menepis kecurigaan itu.
“Terima kasih atas makanannya,” ucap Anzu setelah selesai.
“Tidak masalah,” jawab Jerry.
“Kalau boleh tahu, kalian hendak ke mana?”
“Tidak tahu,” sahut Anzu jujur. “Kami hanya berjalan tanpa tujuan.”
“Oh begitu ya?” Jerry tersenyum.
“Kalau begitu, ikutlah bersama kami ke wilayah Lambergeth. Wilayah itu dikuasai Count Jeffrey. Tanahnya subur dan terkenal sebagai penghasil buah jeruk terbesar di seberang gunung ini.”
Alfred menoleh ke Anzu, dan Anzu mengangguk pelan.
“Baiklah. Kami akan ikut.”
“Bagus,” jawab Jerry sambil tertawa kecil. “Kita akan berangkat besok pagi.”
---
Malam datang dengan cepat. Angin gunung terasa dingin. Semua orang beristirahat, kecuali satu dari kelompok Jerry yang pergi dan tak kunjung kembali.
Anzu memperhatikan, matanya menyipit.
“Bukankah kalian berempat? Di mana satu orang lagi?” tanyanya datar.
“A-ah... dia sedang buang air kecil,” jawab Carin dengan nada gugup.
Anzu memperhatikan wajahnya sejenak — gugup, mata bergetar, tangan gemetar — tapi ia akhirnya mengabaikannya dan menutup mata.
Malam itu sunyi... namun tidak benar-benar damai.
Dari kejauhan terdengar suara bisikan.
“Jadi bagaimana, sudah kau siapkan untuk besok?”
“Semua sudah siap, Bos.”
“Bagus… hehehe… hahahahaha...”
Anzu tidak mendengarnya, tapi alam bawah sadarnya terasa gelisah.
---
Pagi berikutnya, mereka semua bersiap-siap untuk berangkat.
“Sudah bangun, Anzu?” tanya Jerry sambil tersenyum.
“Ya. Apakah kita akan segera berangkat?”
“Sebentar lagi, setelah aku membereskan barang-barangku,” jawab Jerry santai.
Mereka berjalan menembus hutan. Namun baru setengah hari perjalanan, suara geraman keras mengguncang udara.
RAAAAGGGGHHHH!
Sekelompok orc muncul dari balik pepohonan, jumlahnya puluhan. Mata merah menyala, tubuh penuh luka dan amarah.
“Kenapa banyak sekali orc menghadang kita?” ujar Anzu sambil menyiapkan pedang.
“Di wilayah ini, mereka memang sering mengamuk tanpa alasan,” jawab Jerry.
“Kalau kita tidak menyerang, kita yang akan dimakan.”
“Baiklah,” kata Anzu tegas. “Alfred, bersiap.”
“Baik!”
Pertempuran pun pecah. Anzu menebas dua orc sekaligus, Alfred menghindari cakar besar yang hampir mencabik dadanya. Namun di tengah kekacauan itu, tiba-tiba — CRATS! — sebilah pedang menembus punggung Anzu dari belakang.
“Ugh… a-apa yang kau—”
Jerry berdiri di belakangnya, tersenyum kejam. “Khehehehe… kau sudah masuk perangkap kami.”
“ANZUUUU!!” teriak Alfred, matanya membelalak.
Darah menetes dari mulut Anzu, tapi ia masih berdiri, menatap Jerry dengan tatapan tajam.
“Jadi dari awal… ini semua jebakan,” desisnya.
“Hahaha! Betul! Kau sungguh naif, Anzu. Kami akan menjual kalian. Dengan harga yang tinggi, aku akan kaya!”
Anzu terjatuh berlutut, tubuhnya goyah, namun matanya tidak kehilangan sinarnya.
“Kalau begitu… kau akan mati lebih dulu.”
Aura merah gelap mulai berdenyut di sekujur tubuh Anzu. Udara di sekelilingnya berubah menjadi mencekam, tanah bergetar pelan.
“PENGAKTIFAN AURA DI BAGIAN KAKI.”
Dalam sekejap, tubuhnya lenyap dari pandangan.
“Ke… ke mana dia pergi!?”
“Di belakangmu, bodoh.”
SRING!
Kepala salah satu bandit melayang ke tanah. Darah muncrat ke udara.
“KAU… KAUKAH ITU!? MONSTER!!!” teriak Carin.
“PENGAKTIFAN AURA DI BAGIAN LENGAN.”
Dari kaki,Aura berpindah ke lengan Anzu.
memberikan kekuatan serangan yang sangat besar.
SRING! SRING! SRING!
Tiga orang tumbang bersimbah darah. Hanya Jerry yang tersisa, terdesak dan ketakutan.
“Si-siapa kau sebenarnya!?” suaranya bergetar.
Anzu menatapnya dingin. “Kau tak perlu tahu. Kau hanya perlu mati.”
Jerry mengerang marah, menyerang membabi buta. Tapi dengan satu tebasan cepat, pedangnya terbelah dua, dan tubuhnya ambruk tanpa suara.
Hening. Hanya desiran angin dan langkah Alfred yang mendekat.
"uhuk..uhuk.. ghhkk"
"Sial... aku melewati batas lagi!"
“Anzu! Kau tidak apa-apa!?”
Anzu menarik napas panjang. “Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan orc-nya?”
“Sudah kuhabisi semua… walau… darah mereka rasanya tidak enak,” jawab Alfred jujur.
Anzu mendengus pelan. “Kau aneh.”
Ia menatap mayat-mayat yang berserakan — manusia dan orc bercampur, semua tanpa nyawa.
“Bagaimana dengan mereka?” tanya Alfred.
“Aku tidak peduli. Mau dimakan monster pun terserah.”
Alfred menatapnya lama. “Kau memang kejam, Anzu.”
Anzu terdiam sejenak, lalu menatap langit kelabu di atas.
“Kejam? Mungkin. Tapi lebih baik kejam… daripada bodoh.”
Ia melangkah meninggalkan tempat itu tanpa menoleh. Alfred mengikuti di belakang. Setiap langkah terasa berat, tapi di mata Anzu kini ada sesuatu yang berbeda — kehati-hatian, dingin, dan ketegasan.
Dalam hati, ia berjanji.
Mulai hari ini… aku tidak akan mudah percaya pada siapa pun.
Kebaikan bukan alasan untuk menurunkan pedang. Dunia ini tidak selembut yang terlihat.
Langit mulai mendung. Angin berhembus membawa aroma besi dari darah yang belum kering. Dua pengembara itu berjalan lagi, lebih sunyi dari sebelumnya.
Namun bagi Anzu, setiap langkah kini bukan sekadar perjalanan — melainkan pelajaran.
Tentang kepercayaan. Tentang pengkhianatan.
Dan tentang bagaimana dunia memaksa seseorang untuk menjadi dingin agar bisa bertahan hidup.
tapi gpp aku suka kok sama alur kisahnya semangat yahh💪