carol sebagai anak pungut yang di angkat oleh Anton memiliki perasaan yang aneh saat melihat papanya di kamar di malam hari Carol kaget dan tidak menyangka bila papanya melakukan hal itu apa yang Sheryl lakukan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
Keesokan paginya di meja makan,
Carol sudah mencoba mempersiapkan perkataan apa yang harus dibicarakan oleh papanya kepada dirinya.
Selama dirinya belum sekolah, Carol merasa rindu dengan suasana sekolah. Entah kenapa, ia mulai merasa bosan berada di rumah terus.
“Kamu kenapa?” tanya Anton.
“Aku bosan di rumah. Pengen sekolah. Kalau seandainya aku sekolah, aku bakal diterima nggak ya di sekolah?”
“Diterima, lah. Orang-orang yang jahat di sekolah kamu itu sudah kepala sekolah pecat. Bahkan yayasannya juga sudah memecat mereka,” jawab Anton.
Carol yang mendengar itu merasa kaget dan bingung. Apa semua ini gara-gara dirinya berbicara kepada Bu Fitri?
“Apa semua ini gara-gara Carol, ya? Makanya guru-guru pada dipecat sama kepala sekolah dan yayasan?”
“Enggak kok, bukan karena kamu. Emang karena gurunya aja yang nggak bener ngajarnya, makanya mereka dikeluarin. Bukan salah kamu, sayang.”
“Soalnya kemarin aku sempat bicara sama Bu Fitri. Jadi gara-gara aku kayaknya semua guru juga dipecat.”
“Belum tentu, sayang. Siapa tahu emang guru-guru kamu yang nggak bener, makanya dipecat. Lagian, kamu kenapa merasa bersalah banget sih sama guru-guru kamu?”
Anton memahami betapa baiknya hati Carol, sampai-sampai anaknya merasa bersalah hanya karena berbicara dengan Bu Fitri.
Mungkin Anton tidak tahu siapa Bu Fitri, tapi dengan kebaikan wanita itu, Carol jadi lebih banyak bicara sekarang.
“Bu Fitri itu orangnya baik banget ya, sayang, sampai kamu menceritakan dia seolah-olah orang baik.”
“Dia nggak baik sih… maksudnya gimana ya, bukan nggak baik, tapi ya mungkin dia baik. Aku juga nggak terlalu deket banget sama dia, cuma dia yang paling merespon aku sih kalau ada tugas atau apa-apa.”
“Emang guru-guru lain nggak merespon kamu dengan baik? Jadi cuma Bu Fitri yang merespon kamu?”
Carol hanya mengangguk. Ia hanya berkata jujur kepada papanya, karena ia tahu papanya tidak suka anak yang berbohong.
“Kenapa kamu nggak kasih tahu papa? Kan tadi papa ke sekolah kamu, biar sekalian aja papa marahin guru-guru yang kurang ajar sama kamu itu.”
“Nggak usah, pah. Aku nggak mau dipikirin sama orang lain kayak anak manja. Aku yakin, aku sendiri juga bisa kok nyelesain masalah aku tanpa harus papa yang maju.”
Anton merasa kagum betapa dewasanya anaknya.
Anaknya tidak ingin selalu bergantung padanya — mungkin ini hasil dari cara didiknya yang mengajarkan kemandirian.
Namun, di sisi lain, Carol jadi berpikir… kenapa papanya hanya diam saja setelah ia bicara.
Apakah dirinya salah berbicara?
“Aku salah bicara ya, makanya papa diam aja?”
“Enggak kok. Anak papa pintar. Papa cuma lagi mikir aja, kenapa guru-guru kamu kayak gitu.”
“Kayaknya gara-gara Pak Beno kemarin deh,” ujar Carol pelan.
Anton langsung menatap Carol dengan tajam. Apakah ini ada kaitannya dengan peristiwa kemarin, saat Carol dilecehkan?
“Kenapa emangnya sama Pak Beno? Kan dia juga guru, emangnya dia bisa apa?”
“Yang aku tahu sih, Bu Ana suka sama Pak Beno. Nggak tahu deh kenapa, padahal Bu Ana udah tua juga. Masa Bu Ana suka sama Pak Beno?”
Anton yang mendengar ocehan polos Carol malah tertawa. Entah kenapa, mendengar anaknya menjulid begitu justru terasa lucu.
“Kenapa papa ketawa sih? Padahal aku nggak ngomong hal lucu, kok.”
“Ya papa dengerinnya lucu aja. Ternyata kamu juga bisa ya ngomongin orang lain. Papa baru tahu.”
“Eh, aku minta maaf deh. Soalnya aku kebiasaan cerita sama Bu Fitri, jadinya ke papa juga begini. Maaf ya, pah.”
“Nggak apa-apa sih. Tapi lain kali, jangan cerita sama Bu Fitri. Cerita aja sama papa. Kamu kan lebih dekat sama papa, ngapain cerita ke Bu Fitri.”
Anton sedikit cemburu karena anaknya lebih dekat dengan orang lain dibanding dirinya sendiri.
Padahal, Anton berharap Carol hanya dekat dengan dirinya — bukan dengan orang lain.
“Ceritanya papa cemburu, ya, aku deket sama Bu Fitri?”
“Papa nggak suka kamu bicara sama orang lain, apalagi kalau orang itu nggak menghargai kamu. Jadi, buat apa kamu menceritakan hal tentang dirimu ke orang lain?”
“Bu Fitri baik kok sama aku. Sejauh ini dia juga nggak pernah aneh-aneh. Kalau misalnya dia aneh, aku pasti bakal kasih tahu papa, kok.”
“Bener ya? Janji. Jangan sampai kamu nggak nepatin janji kamu. Awas aja kalau kamu langgar janji kamu sendiri.”
Carol hanya tersenyum pada papanya. Setelah itu ia pergi ke kamarnya, sedangkan Anton hanya diam saja.
Tak lama, Anton menyuruh sekretarisnya mencari tahu siapa sebenarnya Bu Fitri, dan mengapa anaknya begitu menyayangi wanita itu.
Keesokan harinya, di sekolah.
Anton kembali datang dan bertemu dengan Bu Fitri.
Fitri kaget saat tahu ada orang tua murid yang mencarinya.
Padahal ia baru saja menjadi guru BK, tapi kali ini justru giliran orang tua yang mencari dirinya.
Apakah aku pernah melakukan kesalahan yang tidak kusadari sampai dipanggil orang tua? pikir Fitri cemas.
Setelah sampai di ruang BK, Fitri mencoba menenangkan diri. Ia tidak tahu permasalahannya apa, jadi ia harus tetap sopan dan tenang.
Begitu masuk, Fitri kaget melihat siapa yang datang mencarinya.
“Bu Fitri, ini ada papanya Carol yang mencari Ibu. Kalau misalkan Ibu ada kendala atau butuh pertolongan, kabari saya ya, Bu,” kata kepala sekolah sambil tersenyum.
Fitri membalas senyum itu, meski ia tidak tahu apa yang sedang terjadi.
“Ada apa ya, Pak? Cari saya?”
“Ibu namanya Bu Fitri?”
“Iya, Pak. Benar. Ada apa, Pak?”
“Anak saya bilang Ibu adalah guru yang baik sama dia. Saya cuma bingung, memang Ibu melakukan hal apa untuk anak saya?”
Fitri mencoba mengingat hal apa yang mungkin membuat Carol menganggapnya baik. Padahal ia merasa tidak melakukan apa-apa yang istimewa.
Meski bingung, Fitri merasa senang bisa melihat wajah tampan ayah Carol itu.
“Saya tidak melakukan apa-apa, Pak. Saya hanya menjalankan tugas sesuai SOP sekolah saja.”
“Ya sudah, kalau begitu. Bu, kalau ada apa-apa dengan anak saya, tolong kabari saya, ya. Tolong juga jaga anak saya, karena saya tidak mau dia kenapa-kenapa.”
Fitri tersenyum lembut. Ia bisa merasakan betapa sayangnya pria itu pada anaknya.
Melihat kasih sayang seperti itu membuat Fitri tiba-tiba ingin punya keluarga dan anak sendiri.
“Kalau begitu, saya pamit dulu. Saya cuma ingin menanyakan tentang anak saya dan Ibu. Terima kasih sebelumnya,” ujar Anton sebelum pergi.
Fitri hanya mengangguk, masih kebingungan.
Ada apa, ya, tiba-tiba papanya Carol mencari aku?
Ia sempat ingin menanyakan hal itu kepada Carol, tapi ragu. Takutnya Carol malah tidak tahu kalau papanya datang.
Akhirnya Fitri memutuskan untuk mengabaikan hal itu. Ia masih punya banyak pekerjaan dan tidak bisa terus memikirkannya.
Tak lama kemudian, Dinda datang menghampiri dengan senyum menggoda.
“Beneran jadi mamanya Carol nih, atau gimana?” godanya.
“Ngomong apaan sih, lu? Nggak lah. Mana mungkin. Dia cuma ke sini nanyain aku tentang anaknya doang, kok. Nggak nanya yang aneh-aneh.”
“Gua kira dia datang mau ngelamar elu. Kan kemarin-kemarin kita ngomongin dia. Siapa tahu dia baper terus ngelamar elu buat jadi mamanya Carol.”
“Ngaco, ah. Dia cuma bilang kalau si Carol bilang aku baik. Tapi aku juga nggak tahu harus bilang apa. Padahal aku cuma ngomong yang seadanya aja, sesuai SOP sekolah.”
Dinda langsung tertawa terbahak-bahak. Ia tahu betapa lemotnya temannya itu.
Fitri hanya melongo bingung, tak paham kenapa Dinda malah tertawa bukannya membantu dirinya yang sedang kebingungan.