“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Dalam perjalanan pulang, Nayla sempat berhenti di sebuah toko kecil di pinggir jalan. Rak kayunya tampak sederhana, namun aroma sayur segar dan buah-buahan memenuhi udara. Dengan uang pinjaman dari Elvino, ia membeli beberapa buah dan sedikit daging. Tak banyak memang, tapi cukup untuk membuatkan makanan bergizi untuk adik-adiknya malam ini.
Setibanya di rumah, keheningan menyambutnya. Tak ada suara tawa, tak ada langkah kecil yang biasa berlari menyambut. Lili masih di sekolah day care, sedangkan Dio, bocah kecil itu, mungkin sedang tidur.
Nayla meletakkan kantung belanjaannya di dapur, lalu memanggil pelan.
“Dio… Mbak pulang, Nak.”
Sunyi.
Tak ada sahutan, tak ada langkah kecil yang keluar dari kamar.
Ia menarik napas panjang, menatap lantai yang mulai retak di beberapa sudut.
“Kapan ya Dio mau memaafkan ku.” bisiknya lirih, ada getir yang menahan di tenggorokannya.
Perlahan, Nayla melangkah ke kamar. Pintu itu ia buka pelan agar tidak membangunkan adiknya. Di dalam Dio terbaring diam di atas kasur, wajahnya masih pucat, bibirnya kering, dan keringat dingin menempel di pelipisnya.
Nayla berjongkok, menatap bocah kecil itu dengan dada berdebar. Ia letakkan telapak tangannya di dahi Dio, panas. Terlalu panas.
Namun tubuh kecil itu tak menggigil, tak bergerak, bahkan napasnya terdengar sangat pelan.
“Dio?” panggil Nayla dengan suara lembut, menepuk pelan pipinya. Tak ada reaksi.
“Dio, bangun.” panggil Nayla lagi.
Kepanikan mulai menguasai Nayla. Ia mengguncang tubuh kecil itu pelan, lalu sedikit lebih keras.
“Dio! Tolong bangun, jangan buat Mbak takut!”
Namun tetap saja tak ada jawaban.
Air mata mulai mengalir di pipinya. Tangan Nayla gemetar, tubuhnya limbung karena rasa takut yang tak terbendung. Ia tahu, sesuatu yang buruk sedang terjadi.
Dengan langkah gontai tapi penuh tekad, ia berlari keluar rumah, menembus udara sore yang mulai dingin. Mencoba untuk mencari bantuan.
Rumah pertama yang ia datangi adalah milik Bu Mirna, seorang wanita paruh baya yang dikenal pelit namun memiliki mobil satu-satunya di kampung itu. Nayla mengetuk pagar besi berulang kali.
“Bu Mirna! Tolong, Bu! Dio sakit, saya butuh tumpangan ke rumah sakit!”
Tak lama, seorang wanita keluar dengan wajah kesal.
“Ada apa, Nayla? Kenapa ribut-ribut sore begini?”
“Dio, Bu. adik saya panas tinggi, dia nggak sadar! Tolong, Bu, antar saya ke rumah sakit.” Nayla memohon, suaranya bergetar.
Alih-alih menolong, Bu Mirna malah tertawa sinis.
“Ah, jangan bohong! Aku tahu kelakuanmu. Kau cuma cari alasan buat merayu suamiku, kan?”
Nayla menatapnya tak percaya.
“Apa? Tidak, Bu! Saya sungguh tidak bohong, demi Tuhan…”
“Sudah, Nayla! Berita tentangmu sudah menyebar! Semua orang tahu kau perempuan murahan yang suka menjual diri! Sekarang, apa karena tak ada lagi yang mau bayar tubuhmu, kau datang ke sini untuk mengoda suamiku?”
Suara wanita itu meninggi, menusuk seperti belati ke dada Nayla.
“Pergi! Aku tidak mau berurusan dengan jalang seperti mu!”
Nayla terdiam, dadanya terasa sesak. Air matanya menetes tanpa bisa ia tahan. Ia mengepalkan tangan, menahan amarah dan rasa malu yang saling bertabrakan di dalam dirinya.
“Kalau Ibu tidak mau bantu, tidak apa-apa,” suaranya parau.
“Tapi jangan hina saya seperti itu…”
Namun pintu sudah dibanting keras di depannya.
Nayla melangkah mundur, tubuhnya nyaris limbung. Ia menatap jalanan sepi dengan mata yang mulai buram oleh air mata. Tapi ia tak menyerah. Ia berlari lagi, menuju rumah tetangga lain, mengetuk pintu demi pintu.
Namun yang ia dapat hanya tatapan sinis dan kata-kata yang menusuk.
“Kami tidak mau terlibat dengan perempuan sepertimu.”
“Pergi! Jangan bawa sial ke rumah kami!”
Langkah Nayla terhuyung saat ia kembali ke rumah. Hela napasnya berat, seperti beban dunia menggantung di pundaknya. Ujung bajunya kotor oleh debu jalan, peluh bercampur air mata di wajahnya. Setiap langkah terasa menyesakkan, semakin dekat ia ke rumah, semakin kuat rasa takut menyergap dadanya.
Rumah itu sunyi, terlalu sunyi. Hanya suara detak jam tua di ruang tamu yang terdengar, berdetak lambat seperti menghitung detik-detik terakhir.
Ia menatap pintu kamar yang sedikit terbuka. Hatinya mencelos, tapi ia tetap melangkah masuk dengan lutut gemetar. Tubuh kecil itu masih terbaring di posisi yang sama. Dahi Dio semakin panas, kulitnya kini tampak memucat seperti kertas. Napasnya semakin pelan, nyaris tak terdengar.
“Dio…” suara Nayla bergetar.
Ia duduk di sisi kasur, menggenggam tangan kecil itu yang kini dingin di ujung jari.
“Bangun… tolong jangan tinggalin Mbak…”
Namun tak ada respon. Hanya keheningan yang membalas tangisnya.
Air mata menetes satu per satu, jatuh di punggung tangan Dio. Di dalam dada Nayla, perasaan bersalah menumpuk seperti badai yang siap meledak.
Semua ini salahku…
Semua ini karena aku…
kalau saja aku tidak menerima pekerjaan itu…
kalau saja aku tidak meninggalkan nya sendirian pagi tadi...
Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya berguncang hebat. Ruangan itu seolah menelannya hidup-hidup.
Nayla merasa benar-benar sendirian di dunia ini. Tak ada yang percaya padanya. Tak ada yang mau menolong.
Semua memandangnya seperti sampah.
Padahal yang ia inginkan hanyalah menyelamatkan adiknya.
Ruang kamar terasa semakin sempit,
Hingga pada satu titik, pikirannya benar-benar kosong. Lalu sebuah nama, samar, melintas di benaknya.
Ia segera meraih tasnya yang tergeletak di lantai, lalu meraih ponsel dari dalam tas itu . Menatap layar hitam itu lama, seakan menimbang dosa dan harapan di waktu yang sama.
“Apa aku harus meminta bantuannya?” suaranya nyaris tak terdengar.
Air matanya jatuh satu per satu, jatuh di layar ponsel yang kini bergetar ringan di tangannya.
“Apa aku boleh… melakukan ini?” gumamnya parau, penuh keraguan.
Tapi saat menatap wajah Dio lagi, wajah pucat dengan napas yang makin melemah, semua keraguan lenyap. Ia menekan satu kontak di layar ponsel.
Nada sambung terdengar.
Sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
Jantungnya berdebar keras, seolah setiap bunyi itu mengiris harapannya sedikit demi sedikit.
Hingga akhirnya…
Sebuah suara menjawab.
“Halo?”
Suara itu tenang, tapi ada nada terkejut di ujungnya.
Nayla menggigit bibirnya, menahan tangis yang sudah di ujung tenggorokan.
“Tolong aku…” suaranya pecah, hampir tak bisa dimengerti.
“Adikku… dia tidak bergerak… aku takut…”
...💓💓 Hai, para reader yang Budiman💓💓...
...jika berkenan mohon untuk meninggalkan ULASAN🤭 agar princess othor ini semangat untuk terus berimajinasi 😊😊😊...
kasian Nayla hancur N merasa bersalah bngt pastinya ..ibunya mninggal karna tau kerjaan nayla😭