Gendis baru saja melahirkan, tetapi bayinya tak kunjung diberikan usai lelahnya mempertaruhkan nyawa. Jangankan melihat wajahnya, bahkan dia tidak tahu jenis kelamin bayi yang sudah dilahirkan. Tim medis justru mengatakan bahwa bayinya tidak selamat.
Di tengah rasa frustrasinya, Gendis kembali bertemu dengan Hiro. Seorang kolega bisnis di masa lalu. Dia meminta bantuan Gendis untuk menjadi ibu susu putrinya.
Awalnya Gendis menolak, tetapi naluri seorang ibu mendorongnya untuk menyusui Reina, putri Hiro. Berawal dari menyusui, mulai timbul rasa nyaman dan bergantung pada kehadiran Hiro. Akankah rasa cinta itu terus berkembang, ataukah harus berganti kecewa karena rahasia Hiro yang terungkap seiring berjalannya waktu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Luka Ganda
"Dia udah resign, Ndis. Kenapa emangnya?"
Kepala Gendis berdenyut kencang. Suara di ujung panggilan yang terus menyebut namanya dengan nada khawatir seolah berubah menjadi gaung. Tak lagi terdengar olehnya.
Ketika sedikit lagi kebenaran terungkap, tiba-tiba Ayaka menghilang. Gendis tidak memiliki cara lain. Dia langsung mengakhiri sambungan telepon tanpa menjawab lebih lanjut panggilan dari temannya.
Langit sudah gelap ketika Gendis keluar dari kediaman Hiro. Langkahnya cepat saat menghampiri taksi yang sudah menunggu di luar gerbang. Dia membuka pintu, lantas duduk dengan mata yang tak berhenti bergerak seolah sedang mencari-cari sesuatu.
"Apartemen Diamond, Pak."
"Sesuai titik ya, Bu?" tanya sopir taksi sopan.
"Ya," jawab Gendis singkat sambil terus menatap keluar jendela.
Perjalanan terasa begitu lama malam itu. Lampu-lampu kota Jakarta menghiasi jalanan yang tak pernah mati. Sesekali klakson mobil dan sepeda motor memeriahkan kemacetan ibu kota negara Indonesia tersebut.
Tetes kecil hujan mulai turun membasahi kaca mobil, sehingga menimbulkan pola khas di luar sana. Jalanan mulai basah saat taksi berhenti di depan apartemen. Gendis langsung masuk setelah membayar sejumlah uang dengan sedikit tip.
Perempuan tersebut mengayunkan kaki layaknya tengah memijak bara api. Dia ingin segera sampai tujuan utamanya, unit apartemen Ayaka. Sesampainya di depan pintu Gendis menekan bel, tetapi tak ada respon dan pintu tetap tertutup rapat.
"Ayaka! Buka pintunya! Ayaka!" Jemari Gendis mengepal dan dia daratkan kuat-kuat ke permukaan pintu.
"Ayaka! Keluar! Aku butuh penjelasan dari kamu!" Suara Gendis menggema di lorong sunyi tersebut.
Ketika amarahnya memuncak, tiba-tiba bahu Gendis dipegang oleh seseorang dari belakang. Dia mengira orang itu adalah Ayaka. Saat hendak meneriaki orang itu, Gendis langsung menahan teriakannya.
"Maaf, Kak. Kakak temannya unit 50B?" Perempuan utu mengedipkan mata beberapa kali sambil tersenyum kaku.
Gendis tidak menjawab. Dia mundur selangkah sebelum akhirnya punggungnya menempel pada daun pintu. Perempuan di hadapan Gendis mengulurkan tangan.
"Perkenalkan, saya Ellen." Ellen mengulurkan tangan.
Namun, Gendis hanya meliriknya dan menatap tangan yang menggantung di udara itu penuh curiga. Ellen bergegas menarik kembali lengannya saat menyadari Gendis kurang menyukai sikapnya. Dia tersenyum kikuk sambil menggaruk kepalanya.
"Maaf sebelumnya jika kurang nyaman. Cuma mau ngasih tahu ... kalau Kakak memanggil orang yang tinggal di sana akan percuma."
"Apa maksudmu?" Kali ini Gendis mau bersuara dan matanya menatap tajam Ellen.
"Dia sudah pindah sekitar seminggu lalu, Kak."
Pupil mata Gendis melebar seketika. Dia mengusap wajah kasar, balik kanan, lantas menendang pintu menggunakan ujung sol sepatunya. Suara teriakan histeris Gendis membuat Ellen tersentak dan mundur selangkah.
"Maaf, kalau saya benar-benar mengganggu Anda. Ka-kalau begitu saya pamit permisi!" Ellen langsung mundur cepat, menggenggam tuas pintu apartemennya, dan masuk.
Setelah pintu apartemen Ellen tertutup, Gendis kembali balik kanan. Dia menempelkan punggung pada daun pintu dan badannya merosot ke atas lantai. Dia terduduk lesu dengan kedua kaki dilipat.
Gendis juga melipat kedua tangannya dan meletakkannya pada lutut. Perempuan tersebut menenggelamkan wajah di balik lengan. Bahunya bergetar dengan suara tangis pilu yang membayangi koridor apartemen sunyi.
Di luar, air hujan semakin giat menerpa jalanan. Sesekali petir menyambar mega sehingga menimbulkan gemerlap cahaya layaknya lampu blitz pada kamera. Gendis terbangun ketika merasa lelah meratapi kepergian Ayaka yang mendadak.
"Masih ada cara lain. Aku tidak akan berhenti mencari tahu tentang putriku. Aku juga akan memastikan satu hal lain." Suara Gendis bergetar dan terdengar parau.
Gendis perlahan kembali mengayunkan langkah. Dia berusaha menguatkan diri sendiri karena tak memiliki sesorang pun di sisinya yang bisa dijadikan sandaran. Kakinya terasa berat untuk melangkah pergi.
Masih ada tanda tanya besar kenapa sang sahabat membohonginya. Air menetes dari ujung rambut Gendis, mengalir melewati pipinya dan jatuh di lehernya, membuat kain tipis yang melekat di tubuhnya terasa berat. Bibirnya bergetar setiap kali dia menarik napas, tetapi dia tidak menyadarinya.
Mata perempuan itu hanya terpaku pada jalan yang kosong di depannya. Tangannya mengepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih, sementara bahunya bergerak naik-turun tak beraturan. Suara gemericik hujan menenggelamkan suara langkahnya yang terseret, seolah tubuhnya bergerak sendiri tanpa peduli pakaian yang menempel dingin di kulitnya.
"Gendis?" gumam Hiro yang juga baru pulang dari rumah sakit.
Lelaki tersebut kini ada dalam mobilnya. Menatap Gendis yang sudah dilalui oleh kendaraannya tersebut. Hiro meminta Ren berhenti.
Hiro mencari-cari keberadaan payung yang biasa dia simpan dalam mobil. Setelah menemukan benda itu, Hiro membuka pintu, kemudian memekarkan payung. Dia bergegas turun, melangkah cepat sehingga menimbulkan bunyi riak antara air hujan dan sepatunya.
Lelaki tersebut langsung meneduhkan tubuh gendis menggunakan payung dalam genggamannya. Akan tetapi, Gendis seakan tak bernyawa. Dia terus berjalan tanpa menghiraukan Hiro.
Ah, bukan menghiraukan. Lebih tepatnya Gendis tidak menyadari kehadiran lelaki tersebut. Saat mereka hampir melewati mobil, Ren membuka pintu mobil.
"Kamu ikuti kami pelan-pelan. Aku akan bicara dulu dengannya." Suara Hiro sedikit tinggi untuk mengalahkan gemercik hujan yang beradu dengan aspal.
"Baik, Pak." Ren mengangguk kemudian masuk ke mobil dan mulai mengendarai mobil sang majikan secara pelan-pelan.
Hiro lanjut memayungi Gendis dan mengikuti arah langkah kaki perempuan tersebut. Dia begitu sabar. Menunggu Gendis menyadari kehadirannya di sana. Namun, saat hampir 15 menit keduanya berjalan, perempuan tersebut masih terus berjalan seakan bukan dirinya yang menghendaki.
"Ndis," panggil Hiro dengan suara lembut.
Gendis masih mengabaikan lelaki tersebut. Tatapan matanya kosong dan langkahnya sesekali terseok karena menyandung kerikil kecil. Tubuhnya menandakan kalau sang pemilik mulai lelah.
Lelah secara fisik dan mental. Hiro yang tak lagi sanggup melihat kondisi Gendis akhirnya menghentikan langkah perempuan tersebut dengan menahan lengannya. Mau tak mau Gendis menghentikan langkah.
"Gendis, kamu kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Hiro sambil menatap perempuan yang kini menunduk itu.
Gendis perlahan mengangkat wajahnya. Dia menatap Hiro. Sinar matanya seakan hilang, wajah Gendis seputih kertas, dengan bibir gemetar karena menahan dingin.
"Dia pergi dengan membawa rahasia tentang anakku."
Pijakan Gendis goyah, seolah tanah di bawahnya menghilang. Rambutnya yang basah menempel di pipi, matanya separuh tertutup. Hiro, yang berdiri hanya selangkah darinya, segera menangkap tubuh perubahan itu.
Hiro meraih pergelangan tangan Gendis tepat saat tubuhnya merosot. Gendis jatuh ke dadanya, hangat napasnya menyentuh leher Hiro yang dipenuhi aroma hujan. Detik itu dunia terasa sunyi, tak ada suara selain tarikan napas beratnya.
Hiro mendekapnya erat, dagunya bertumpu di puncak kepala Gendis. Lengan-lengannya menjadi benteng, menahan tubuh itu agar tak jatuh lebih jauh, baik ke tanah maupun ke jurang rasa sakit yang tak terlihat.
“Aku di sini, Ndis. Tolong jangan tanggung semua sendirian,” bisik Hiro, lebih seperti janji pada dirinya sendiri.
Semua bersumber dari otak jahat Reiki