Nadia ayu, seorang gadis yang bisa melihat 'mereka'
mereka yang biasa kalian sebut hantu, setan, jin, mahluk halus atau lain sebagai nya.
suara dari mereka, sentuhan bahkan hembusan nafas mereka, bisa di rasakan dengan jelas. Sejak mengalami kecelakaan itu, mengubah cara pandangannya terhadap dunia..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Ningsihhhhhhh
Pagi itu, setelah perjuangan panjang menghadapi “alarm horor” ala Ningsih, aku akhirnya tiba di kantor Peru Horizon. Gedungnya menjulang tinggi, kaca-kacanya memantulkan sinar matahari pagi dengan elegan. Rasanya campur aduk—tegang, gugup, tapi juga bersemangat.
Aku masuk ke lobby, bertemu dengan HR yang langsung mengarahkanku ke lantai 15—divisi akuntansi tempatku ditempatkan. Lift modern itu terasa terlalu sunyi, padahal di sudut, Ningsih nongol dalam mode transparan, ikut melayang santai sambil bersiul.
"Enak ya, nggak perlu antri naik lift. Tapi sayang nggak bisa selfie," bisiknya.
Aku hanya bisa melotot tanpa suara. Untung aja nggak ada orang lain di lift.
Begitu sampai, aku disambut beberapa karyawan.
"Halo, kamu Nadia ya? Baru masuk? Aku Kinan," kata seorang perempuan berambut pendek sambil menjabat tanganku.
Satu per satu mereka memperkenalkan diri—semua tampak ramah. Aku mulai merasa agak rileks, sampai suara langkah tergesa-gesa terdengar dari arah pintu.
"NADIAA!!"
Aku menoleh, nyaris tidak percaya dengan yang kulihat. Wita—berlari kecil ke arahku dengan senyum lebar.
"Lo ngapain di sini?!" seruku kaget.
Dia terkekeh, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. "Ya gue kerja di sini lah. Gue keterima juga. Ngapain gue kerja jauh-jauh kalau lo di sini? Hidup gue udah monoton banget, mending bareng lo biar rame."
Aku memandangnya dengan campuran lega dan… sedikit khawatir. "Wit, serius deh… kita bakal satu kantor? Gue seneng sih, tapi lo yakin nggak bakal bikin heboh?"
Wita menyeringai. "Heh, gue bisa kok serius. Tapi ya… kalau ada drama dikit, jangan salahin gue."
Di belakangku, samar-samar aku dengar Ningsih berbisik.
"Wih, temen kamu seru kayaknya. Aku jadi nggak sabar mau ngikutin kalian terus. Kantor ini bakal rame banget, Nad…"
Aku bisa merasakan firasat aneh bahwa hari pertamaku di Peru Horizon nggak bakal berjalan normal.
Di tengah suasana pagi yang awalnya damai di lantai 15, semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku dan Wita baru saja duduk di meja kerja, sedang mengisi beberapa formulir onboarding.
Tiba-tiba, dari pojok ruangan yang agak redup, terdengar suara bisikan pelan-pelan.
"Naaaadiaaa… Wiitaaa…"
Aku langsung merinding. Wita menghentikan ketikan di laptopnya dan menoleh ke arahku. "Lo denger nggak?" bisiknya.
Aku hanya bisa melirik ke samping… dan di sudut ruangan, samar-samar terlihat kain merah berkibar. Ningsih berdiri di pojok, menyeringai lebar sambil melambai-lambai pelan.
Parahnya, beberapa karyawan lain juga mulai memperhatikan.
"Eh… siapa yang buka jendela? Angin dari mana tuh?" tanya salah satu staf, matanya memicing ke arah kain merah yang berkibar.
Ningsih malah melayang pelan ke tengah ruangan, berusaha "diam-diam", tapi rambut panjangnya menyapu tumpukan kertas di meja orang lain. Semua kertas itu beterbangan ke udara.
"ASTAGA! SIAPA YANG BIKIN INI?!" teriak seorang supervisor yang langsung panik mengumpulkan berkas.
Aku dan Wita saling pandang, panik setengah mati. Wita menunduk dan berbisik cepat, "Itu… temen lo kan?!"
Aku mengangguk pelan, menahan senyum canggung sekaligus takut.
Ningsih, bukannya membantu, malah mendekati dispenser air di pojok, lalu… membuat galon itu goyang-goyang sendiri. Airnya menetes-netes ke lantai. Beberapa karyawan perempuan langsung menjerit.
"ASTAGA, KENAPA GALONNYA BERGERAK SENDIRI?!"
Suasana kantor jadi kacau. Beberapa orang berlarian keluar, yang lain sibuk merekam dengan ponsel.
Wita menutupi wajahnya dengan tangan. "Gue sumpah… baru hari pertama, udah kayak syuting film horor."
Aku mendekati Ningsih pelan, pura-pura membereskan kertas di meja biar nggak kelihatan. Berbisik geram, aku berkata, "Ningsih, lo MAU KITA DIPECAT HARI PERTAMA?!"
Dia malah nyengir lebar, suaranya cuma bisa kudengar. "Santai, Nad. Ini kan cuma pemanasan biar kantor rame. Ntar sore aku bikin 'kejutan' lagi deh… yang lebih heboh."
Aku menutup mata, nyaris pingsan membayangkan apa lagi yang bakal dia lakukan.
\=\=\=
Setelah kekacauan di kantor akibat ulah Ningsih, Wita merasa perlu “healing” sebelum pulang. Ia dengan santainya menarik tanganku begitu jam kerja selesai.
"Ayo, kita mampir ke rumah sakit tempat kak Joan sama Gilang kerja. Gue penasaran banget sama lab forensik mereka. Katanya kayak di film-film kriminal," ajaknya antusias.
Aku langsung menghentikan langkah. "Wit… serius lo? Rumah sakit itu kan pusatnya penampakan. Gue aja kalau nggak ada Joan, mending nggak usah lewat situ."
Wita menoleh dengan tatapan iseng. "Ah, lebay. Lagian lo udah biasa liat Ningsih, kan? Bedanya apa sih?"
Aku mendesah panjang. "Ningsih itu udah kayak… makhluk domestik. Yang di rumah sakit beda, Wit. Aura-nya… serem. Banyak roh yang nggak jelas maunya."
Seolah mengiyakan, Ningsih yang melayang santai di atas kepala kami malah menyahut dengan nada santai, "Bener tuh, Nad. Rumah sakit itu… wah, surganya hantu. Aku punya banyak kenalan di sana. Kalau mau, bisa aku kenalin."
Aku spontan menatap Ningsih tajam. "Jangan bikin kacau lagi. Gue udah trauma seharian."
---
Setibanya di rumah sakit kota, suasananya langsung berbeda. Lampu-lampu neon yang terlalu terang justru bikin suasana makin dingin. Di lorong, beberapa suster tampak sibuk, sementara aku bisa merasakan hawa aneh di udara—bayangan-bayangan samar yang hanya aku lihat dari sudut mata.
"Lo pucat banget, Nad. Santai aja, kan kita cuma mau nyapa kak Joan sama Gilang bentar," ujar Wita, menepuk bahuku.
Kami menuju ruang forensik di lantai bawah. Pintu otomatis terbuka… dan langsung tercium aroma khas antiseptik bercampur dinginnya udara ruangan. Joan sedang menulis laporan di meja, sementara Gilang sibuk memeriksa sampel di mikroskop.
"Nadia? Wita? Wah, kok mampir?" tanya Joan, mendongak sambil tersenyum.
Aku mencoba tersenyum balik, tapi mataku sudah menangkap sesuatu di sudut ruangan: sosok perempuan berbaju pasien, pucat, berdiri menunduk, kakinya tak menapak lantai.
Aku langsung menggenggam lengan Wita erat-erat. "Wit… gue nyesel ikut lo. Serius."
Wita melirik ke arah yang kutatap, tapi tentu saja dia nggak lihat apa-apa. "Lo lagi halu, Nad. Udah biasa kan?"
Ningsih tiba-tiba muncul dari langit-langit, menyapa riang. "Eh, Lila! Lama nggak ketemu!" serunya, melambaikan tangan ke arah sosok pasien hantu itu.
Aku hampir menjerit, buru-buru menutup mulutku. Joan dan Gilang cuma menatap heran, mungkin karena aku terlihat tegang sendiri.
Gilang mengangkat alis. "Nad, lo baik-baik aja? Muka lo pucat banget."
Sementara itu, di belakang mereka, Ningsih asyik ngobrol sama para penampakan lain, seolah ini reuni makhluk halus.
Aku benar-benar menyesal ikut Wita ke sini. Dan firasatku… malam ini nggak akan berakhir damai.