Di dunia yang diatur oleh kekuatan enam Dewa elemen: air, angin, api, tanah, es, dan petir, manusia terpilih tertentu yang dikenal sebagai Host dipercaya berfungsi sebagai wadah bagi para Dewa untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan ilahi dan kesejahteraan Bumi. Dengan ajaran baru dan lebih tercerahkan telah muncul: para Dewa sekarang meminjamkan kekuatan mereka melalui kristal, artefak suci yang jatuh dari langit.
Caela, seorang perempuan muda yang tak pernah ingat akan asal-usulnya, memilih untuk menjadi Host setelah merasakan adanya panggilan ilahi. Namun semakin dalam ia menyelami peran sebagai Host, ia mulai mempertanyakan ajaran ‘tercerahkan’ ini. Terjebak antara keyakinan dan keraguan, Caela harus menghadapi kebenaran identitasnya dan beban kekuatan yang tidak pernah ia minta.
Ini cerita tentang petualangan, kekuatan ilahi, sihir, pengetahuan, kepercayaan, juga cinta.
**
Halo, ini karya pertamaku, mohon dukungannya ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kirlsahoshii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertanda
Caela dan Fae tiba di Central. Mereka memutuskan untuk istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Moriad. Caela dan Fae memutuskan untuk makan dan bersantai di bar tempat pertama kali mereka bertemu. Bartender menyambut hangat kembali kehadiran mereka dan membuatkan pesanan untuk mereka. Di saat santai menunggu pesanan, Caela berusaha beristirahat dari pikirannya, kali ini dia mengingat pertama kali berjumpa dengan Fae di sini. Fae menopangkan dagu dan kembali dengan tangannya. Caela menoleh ke arah Fae, terganggu kembali dengan tato di tangannya sejak pertama kali dia bertemu di sini.
“Hei, tato di tanganmu…? Apa artinya?” tanya Caela.
“Hm? Ini?” Fae menunjuk ke arah tangannya, “ini bukan tato…” jawab Fae dengan santai.
“Bukan?” tanya Caela kebingungan
“Ini tanda lahir,” balas Fae.
“Tanda lahir…?” Caela semakin bingung, karena menurutnya hal itu terlalu aneh untuk sebuah tanda lahir. Polanya sangat rapi dan berwarna tegas.
Fae terdiam sejenak sambil melihat ke atas seperti sedang berpikir lalu dia tersenyum ke arah Caela dan menjawab, “Katanya, sih,”
Caela mengernyitkan dahi dan memasang wajah tak percaya, “K-Katanya? Jadi kau sendiri tidak yakin itu apa?”
Fae mengangguk, “Hmm… Ya, ini sebenarnya sudah ada sejak aku kecil, dan jujur tak pernah tahu soal itu, sudah pernah kutanyakan pada Scholar di kotaku, menyelusuri scroll dan literatur tapi tak menemukan jawabannya. Kata ibuku, ini cuma tanda lahir,” kata Fae dengan santai.
Caela terdiam sejenak, ternyata selain suara dan vision Dewa, Caela merasa banyak kesamaan dengan Fae—Dia tak tahu banyak soal dirinya sendiri. Caela jadi merasa memiliki kawan seperjuangan. Dia pun jadi berpikir, mungkin ‘menjadi tim’ bersamanya juga bisa jadi langkah yang baik.
Mereka akhirnya berbagi kesunyian kembali sambil menyantap makanannya. Di sela-sela mereka bersantai, Bartender itu meletakan sebuah gelas berisi minuman di depan Caela, itu adalah sea salt mocktail, minuman aneh yang pernah dia minum ketika bertemu Fae di sini. Caela terdiam sejenak melihat dengan wajah kebingungan dan berkata pada bartender,
“Aku tidak memesan ini,” kata Caela.
“Gratis untukmu,” Bartender itu tersenyum.
“Ugh,” wajah Caela pucat.
Fae tertawa melihat hal tersebut. “Apa kau akan menghabiskan itu dalam seteguk lagi?”
Caela menghela nafas, merasa sedikit terganggu dengan pertanyaan Fae, “Tidak akan aku ulangi hal itu….” kata Caela.
**
Setelah beristirahat sejenak dari Central, Caela dan Fae kembali melanjutkan perjalanannya ke Moriad. Mereka berdua dapat merasakan atmosfer dan juga langit yang perlahan berubah tak seperti di Central. Angin pun berhembus cukup kencang menerpa wajahny. Caela juga bisa melihat pohon-pohon di sekitarnya yang tertiup angin dengan kencang. Caela pun melihat ke arah Fae dengan penasaran dia bertanya.
“Kau sudah pernah ke Moriad?” tanya Caela kepada Fae.
Fae mengangguk, “Sudah, kau belum ya? Apakah ini pertama kalimu datang ke Moriad?” Fae berbalik tanya.
Caela balas mengangguk, “Iya, seperti apa kotanya?” tanya Caela lagi, penasaran.
“Kota penuh teknologi yang membuatku tidak nyaman,” Fae membuat wajahnya terganggu, ketidaknyamanannya sangat terlihat.
Caela terdiam, dia belum pernah melihat Moriad, namun penasaran dengan apa yang dikatakan Fae—apa yang membuatnya merasa tak nyaman. Mereka pun meneruskan perjalanannya, sambil masih merasa siaga akan serangan dari kelompok murtad. Tak lama lagi Caela bisa menjawab pertanyaan yang ada di benaknya saat ini.
***