Hanum Salsabila, seorang dosen cantik harus menerima kenyataan jika ia harus dijodohkan dengan seorang CEO. Ia hanya bisa pasrah dengan ketegasan Halim sang ayah yang membuatnya tidak berdaya.
Ravindra Aditama, CEO yang begitu membenci perjodohan. Ia bersumpah akan mengerjai Hanum sampai ia puas dan pergi meninggalkan negeri ini setelahnya.
Kisah cinta mereka baru saja dimulai, namun Tama harus menerima kenyataan jika Hanum lebih memilih untuk berpisah darinya.
Akankah mereka bisa mempertahankan rumah tangga atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bucin fi sabilillah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memulai kembali?
Hanum segera membersihkan tubuhnya dan berendam sebentar agar bisa lebih rileks. Ia menggosok seluruh tubuhnya tanpa tertinggal barang seinci pun. Menghilangkan semua bekas sentuhan Tama yang melekat pada kulitnya.
Bahkan kini, kulit putihnya sudah terlihat memerah karena Hanum mengusapnya dengan sedikit keras.
Hampir setengah jam ia berendam, Hanum mulai merasa sedikit lebih baik namun tidak dengan area intinya. Ia masih merasakan sakit yang teramat di sana.
Namun tidak ada yang lebih sakit dibandingkan hati yang kini terasa begitu hancur dan berkeping. Sungguh, baru saja kemarin ia berpikir untuk mulai menerima takdir, namun kini ia merasa tidak sudi lagi melanjutkan pernikahan ini dengan Tama.
*
*
Malam semakin menjelang, ia sudah memanggil housekeeping untuk membersihkan kamar setelah memesan makan malam hanya untuknya sendiri. Bahkan baju yang di ambilkan oleh Tama tadi hanya ia biarkan tergeletak di atas nakas.
Ia sudah memesan tiket pesawat sendiri untuk penerbangan besok siang, agar ia merasa tidak terlalu kedinginan ketika keluar dari gedung.
Wajah dingin wanita cantik itu, terpampang jelas. Ia hanya termenung dan menatap tajam semua hal yang ia lihat.
"Kemana dia? Aku harap dia tidak menampakkan wajahnya hingga besok, besok dan seterusnya!" ucap Hanum lirih.
Ia hanya bisa menghela napas panjang untuk meredam amarah yang sangat susah untuk dikendalikan saat ini. Sungguh ia hanya manusia biasa yang perlu untuk melindungi diri dari bahaya.
Makan malam sudah datang, namun Tama juga tidak memperlihatkan batang hidungnya sedari siang. Ia berharap tidak melihat Tama hingga jadwal keberangkatannya siang besok.
Hanum memilih beristirahat agar ia bisa menyiapkan diri untuk menghadapi takdir yang sudah mengubah hidupnya saat ini.
Sementara Tama berada di taman hotel di bawah pohon rindang yang ada di sana. Ia termenung, mengutuki diri dengan apa yang sudah ia lakukan tadi. Rasa sesal memenuhi relung hatinya, walaupun itu bukan sesuatu yang salah.
Namun, melihat Hanum yang meringis kesakitan membuat hati nuraninya berkata. Semalam ia memang keterlaluan karena memaksa Hanum hingga berkali-kali menumpahkan benihnya di dalam rahim sang istri.
Akan seperti apa hubungan ini kedepannya? Dia pasti akan sangat membenciku. Apa dia akan mengatakan hal ini kepada mommy atau bunda?. Batin Tama.
Ini untuk pertama kalinya ia melakukan hal itu. Hanum menjadi wanita satu-satunya yang membuat Tama bisa merelakan keperjakaannya.
Bahkan malam semakin larut, kini ia masih betah berada di sana. Walaupun ia merasa dingin, lelah dan mengantuk saat ini. Namun ia seolah enggan untuk beranjak dari sana.
Hingga security menegur Tama dan memintanya untuk meninggalkan taman. Tama memilih untuk kembali ke kamar, dengan perasaan yang bercampur aduk.
Ia merasa takut bertemu dengan Hanum, dan kembali bertengkar. Namun tidak ada pilihan, ia membuka pintu kamar dan masuk dengan perlahan. Tama menatap Hanum yang sudah tertidur, namun ia melihat ruam-ruam merah dibagian leher hingga pipi sang istri.
Apa alerginya kambuh lagi? Tapi suhu ruangan di sini sudah hangat. Batin Tama.
Ia berjalan dengan pelan dan memilih untuk tidur di atas sofa. Ia sangat takut membangunkan ibu dosen cantik itu.
Hanum bukan tidak tau, bahkan kini ia belum terlelap sama sekali. Ia tidak ingin kejdian semalam terulang kembali.
Masih berani kau menampakkan diri, Badjingan? Tidurlah kau selamanya, jangan pernah bangun lagi!. Batin Hanum penuh dendam.
Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Baik Hanum maupun Tama tidak ada yang tertidur. Mereka terpejam namun masih terjaga satu sama lain. Ada rasa yang berbeda kini tengah menyelimuti hati mereka.
Sepertinya aku besok harus menyelesaikan masalah ini sebelum pulang. Tidak mungkin mommy melihat kami pulang dalam keadaan seperti ini. Batin Tama.
Semoga ketika aku pergi, dia masih tertidur. Aku tidak ingin melihat wajahnya lagi sekarang. Batin Hanum.
Mereka terjaga sepanjang malam, Tama tidak bisa melihat Hanum karena terhalang sandaran sofa. Walaupun ia merasa penasaran dengan keadaan sang istri, namun ia merasa takut jika malam ini harus bertengkar karena masalah tadi.
Tama memilih untuk bangun dan pergi ke kamar mandi, sambil melihat keadaan sang istri. Ingin rasanya ia memeluk Hanum dan meminta maaf, namun itu terasa mustahil saat ini.
Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?. Batinnya menatap Hanum.
Hingga pagi menjelang, baik Tama dan Hanum tidak ada yang terlelap. Hanum memilih untuk bersiap dan membereskan barang-barangnya.
Mendengar suara, Tama langsung duduk dan menatap Hanum dengan lekat.
Ia segera berdiri di belakang Hanum sambil menghela napas. "Maaf!" ucapnya.
Hanum terdiam dengan jantung yang berdetak kencang. Ia hanya terdiam dan melanjutkan aktifitasnya.
"Saya bersalah sudah melakukan hal itu. Tapi, sungguh saya tidak sadar!" ucap Tama lirih.
Hanum kembali terdiam, ia berdiri dan menatap wajah Tama dengan penuh amarah.
"Maaf? Baik, saya memaafkan anda. Tapi, mulai detik ini juga, saya tidak ingin berurusan apa pun lagi dengan anda. Jangan cari dan jangan hubungi saya. Besok akan saya ajukan pembimbing baru untuk anda!" ucap Hanum yang tidak tau harus berkata apa lagi.
"Apa kita bisa bicara baik-baik, sebentar saja? Saya salah karena telah berbuat seperti itu kepada ibu! Tapi sungguh, saya khilaf. Bisakah kita mulai dari awal? Kita bisa saling menerima satu sama lain," ucap Tama.
Hanum terdiam dengan air mata yang menggenang. Ia menggeleng dan kembali merapikan barang-barangnya.
"Itu hal yang mustahil dan tidak akan pernah terjadi. Sudah seperti ini, anda baru mengatakan hal itu. Kemarin ini ke mana saja?" ucap Hanum ketus.
Ia merasa ingin marah saat ini, namun ia tidak bisa. Ia tidak terbiasa untuk berkata kasar dan marah kepada orang lain, walaupun sebenarnya ia merasa begitu kesal dan ingin mengamuk, mencakar dan menjambak rambut Tama.
"Tidak ada salahnya kita mencoba untuk berdamai, Bu!" ucap Tama lirih.
"Tidak! Dari awal semuanya memang sudah salah! Enam bulan lagi, saya akan mengurus surat cerai, dengan atau tanpa persetujuan kalian semua!" ucap Hanum tegas.
Tama melotot kaget mendengar ucapan Hanum. Ia sudah menyangka, jika istri cantiknya itu akan berkata demikian.
"Bagaimana kalau benih saya tumbuh?" tanya Tama.