Para tamu undangan telah memenuhi ruangan, dan Hari H berada di depan mata. Hanya tinggal menanti sepasang calon mempelai mengucap janji suci, pernikahan pun sah di mata publik dan agama.
Namun, apa jadinya jika kedua calon mempelai tak kunjung memasuki acara? Pesan singkat yang dikirim hampir bersamaan dari kedua mempelai dengan maksud; berpisah tepat di hari pernikahan mereka, membuat dua keluarga dilanda panik dan berujung histeris.
Demi menutupi kekacauan, dua keluarga itu memojokkan masing-masing anak bungsu mereka yang kebetulan usianya hampir seumuran.
Sharon dan Alaska. Dua orang yang tak pernah terduga itu mau tidak mau harus menuruti perintah keluarga.
Fine! Hanya menikah!
Tahukah jika Alaska sudah punya pacar? Setelah hari ini menikah bersama Sharon, besok Alaska akan langsung membubarkan pernikahan gila ini!
Namun, keinginan itu seolah pupus saat mereka berdua malah menghabiskan malam pertama mereka, selayaknya pasutri sungguhan.
Sial.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Heboh
"ALASKA, BANGUN! KAMU UDAH JANJI SAMA AKU, KALAU KAMU NGGAK AKAN KENAPA-KENAPA! BUKTIIN SEKARANG SAMA AKU! ALASKA, AKU MOHON!" Sharon semakin ketar-ketir lagi, apalagi ketika hitungan wasit semakin berjalan.
Tidak! Ini tidak boleh terjadi!
"KALAU KAMU BANGUN, AKU AKAN KASIH APA PUN YANG KAMU MAU! SEMUANYA! AKU MOHON BANGUN, ALASKA!"
Sharon semakin menangis pasrah tatkala masih tak ada pergerakan dari Alaska. Sementara itu, wasit masih menghitung dan hampir mencapai batasnya.
"KALAU KAMU NGGAK BANGUN JUGA, AKU BAKALAN PERGI SAMA HENGKI!" Pekikan Sharon, membuat sepasang mata Hengki berbinar. Tawa puas mulai tercetak jelas di raut wajahnya.
"Denger itu? Istri lo sendiri yang bilang, bukan gue!" Hengki tertawa puas.
Siapa sangka, berkat pekikan keras dari Sharon barusan, berhasil membuat Alaska terbangun. Sorak heboh dari penonton kembali terdengar. Begitupun dengan bel yang kembali dibunyikan sebagai tanda istirahat beberapa saat.
"Sial!" Hengki kembali mundur ke tempatnya.
Sementara Alaska, laki-laki itu tampak diberi beberapa pertanyaan oleh wasit seputar, apakah masih sanggup lanjut atau tidak.
Dan, ya. Alaska tentu saja menjawab 'sanggup' tanpa berkata apa-apa lagi.
Karena sampai kapan pun, Alaska tidak akan pernah menyerahkan Sharon pada orang lain, apalagi orang itu adalqh Hengki.
"Alaska? Kamu-"
"Kalau sampe kamu berani sama dia, aku nggak akan tinggal diam!" Ucapan penuh penekanan dari Alaska, disambut senyum bahagia oleh Sharon. Sedikit pun perempuan itu tidak merasa takut maupun tertekan oleh ucapan Alaska.
Justru yang ada, Sharon teramat senang dan lega, karena Alaska masih bisa bangun untuk melanjutkan pertandingannya.
"Aku nggak akan pergi sama siapa pun, asal kamu bangun. Tadi kamu bilang, kamu bisa menang 'kan? Kalau gitu tunjukin sama aku! Kalau kamu beneran menang, aku janji, aku akan kabulin apa pun yang kamu mau!" Sharon berucap mantap, walau tubuh serta bibirnya masih bergetar hebat.
Terdengar kekehan lemah dari Alaska yang mencoba untuk tetap sadar, walau darah dari area sudut mata terus mengalir tanpa henti.
"Jangan nyesel kalau nanti aku minta yang aneh-aneh!" Peringat Alaska, yang spontan dibalas gelengan cepat oleh Sharon.
"Nggak akan!"
Bel tanda berakhirnya waktu istirahat kembali terdengar. Dengan menarik napas dalam-dalam, Alaska berdiri dari posisinya. Kepalanya dia geleng-gelengkan beberapa saat, berusaha untuk tidak kembali tumbang dan terus tersadar.
Tepat di hadapan Alaska saat ini, Hengki tengah menatapnya ganas. Dadanya tampak naik turun beberapa kali. Kedua tangannya tampak bergetar seolah tengah menahan sesuatu.
"ALASKA, KAMU PASTI BISA!" Sharon berteriak nyaring.
Bertepatan dengan itu, bel kembali dibunyikan. Sorak heboh dari penonton kian menggema. Fokus antusias seluruh penonton kembali pada Alaska yang mulai menampakkan perlawanan pada Hengki.
Emosi Hengki kian bergejolak. Dan dari sanalah Alaska mendapatkan kelemahan Hengki.
Tanpa pikir panjang, Alaska melayangkan beberapa tinjuan maut yang tepat mengenai pipi sampai ke hidung Hengki.
Tak disangka, pukulan tersebut justru membuat Hengki ambruk. Darah segar mengalir dari lubang hidungnya. Penglihatannya ikut mengabur, seiring dengan tubuhnya yang terperosot ke bawah.
Penonton kembali bersorak dengan riuhnya. Sang wasit turut kembali menghitung angka demi angka. Dan, ya. Hitungan wasit pun berhenti tepat di angka ke 10, namun Hengki tak kunjung bangkit untuk melawan.
Saat itulah, kemenangan telak telah benar-benar menjadi milik Alaska.
Sayang. Belum sempat kemenangannya diabadikan, Alaska turut tumbang dan kehilangan kesadaran.
"ALASKA!"
...****...
"Nih, minum!" Sherly mengerjap beberapa saat, ketika Stevan mengulurkan tangannya memberikan sebotol minuman dingin ke hadapan Sherly.
Sherly sempat dibuat sungkan untuk menerima pemberian Stevan. Namun berkat dengusan napasnya, dengan cepat Sherly menerima pemberian Stevan.
"Makasih, Pak!"
"Hm." Stevan tak membalas lebih. Pria itu hanya berdeham seraya ikut menduduki kursi kosong di samping Sherly.
Omong-omong, keduanya baru saja selesai pertemuan dengan pihak lain seputar proyek baru. Dan saat ini, keduanya tengah memesan makan siang di sebuah restoran dekat hotel.
Embusan napas panjang dari Sherly, terdengar sampai ke telinga Stevan. Pria itu menoleh dengan kedua alis yang berkerut.
"Kenapa? Capek?" Sahutan Stevan, dibalas gelengan spontan oleh Sherly. Tak lupa memasang senyuman tipis dengan wajah yang sedikit menunduk.
"Saya cuma kepikiran aja sama sesuatu."
"Soal Gibran?" Tebakan Stevan, seketika membuat Sherly bungkam. Sepasang bola matanya membelalak dengan fokus tepat pada wajah Stevan yang tampak menunduk dengan sesekali tertawa sumbang.
"Ekhem. Sa-"
"Kapan kamu bisa lupain dia?" Stevan memotong ucapan Sherly. Kepalanya pun ikut menoleh seraya menatap dalam Sherly yang dibuat kebingungan atas pertanyaannya.
"Sa-saya udah lupain dia, kok!" Sherly membuang muka dari tatapan Stevan. Jantungnya mendadak berdegup aneh tak biasa.
"Oh, ya? Tapi yang saya lihat, kamu masih belum bisa lupain dia."
Sherly semakin dibuat bungkam tak berdaya. Sudut hatinya mengernyit ngilu seiring dengan berbagai kenangan indah bersama Gibran yang tanpa dipinta memenuhi isi kepala.
"Gimana, ya, Pak? Saya sudah terlanjur memberikan semuanya sama dia, tapi ujung-ujungnya dia malah minta putus tepat di hari pernikahan. Kalau dibilang sudah melupakan, rasanya terlalu palsu. Sangat banyak kenangan yang sudah terjadi di antara kami, dan saya nggak bisa semudah itu untuk melepaskan dia, walau dia sudah menyakiti dan mengkhianati saya."
Diam-diam Stevan menelan ludahnya susah payah seraya mengepalkan tangan. "Apa saja yang sudah kamu kasih sama dia?"
"Semuanya! Cinta, pengorbanan, bahkan saya sampai rela melepaskan kegadisan saya sama dia! Haha, saya ini bodoh 'kan, Pak? Setelah dia putusin saya seperti itu dan saya yang telah kehilangan jati diri saya, tidak akan ada lagi laki-laki yang mau sama saya di masa depan!" Sherly tertawa miris diakhir ucapannya. Emosinya meluap tanpa ia sadari.
Stevan menatap lama raut wajah Sherly yang diam-diam menangis tanpa suara.
Tak pernah sekalipun Stevan bayangkan, jika hubungan antara Sherly dan Gibran telah sampai sehauh itu.
Lagi. Apakah Stevan lagi-lagi terlambat?
"Jadi, kamu benar-benar memberikan semuanya sama dia?" Tanpa sadar Stevan bertanya dengan nada yang bergetar. Hatinya ikut hancur setelah mengetahui fakta tak terduga itu.
"Em. Maka dari itu, saya nggak akan mau lagi mengenal cinta dari laki-laki manapun. Saya cukup sadar diri di mana posisi saya. Mana ada laki-laki yang mau sama perempuan bekas seperti saya?! Apalagi dengan status lajang, belum pernah menikah. Mereka pasti akan berpikir ribuan kali untuk mendekati saya."
"Kamu salah, Sher!" Ucapan Stevan selanjutnya, lagi-lagi mengundang perhatian Sherly.
"Mungkin bagi sebagian laki-laki lain berpikir seperti itu, tapi sebagian lagi tidak. Contohnya, saya. Fakta itu tidak membuat saya ingin menjauhi kamu. Justru sebaliknya, saya ingin melindungi kamu. Maaf jika ini terkesan lancang, tapi dari sudut hati saya yang terdalam, saya sangat menyukai kamu, Sherly!"
...****...
Setelah mendapat kabar buruk tentang Alaska yang dilarikan ke rumah sakit, seluruh anggota keluarga, dimulai dari kedua orang tua Alaska dan juga Sharon, datang beramai-ramai untuk mengetahui kabar terkini.
Seluruh keluarga yang sempat dilanda panik, akhirnya mulai bernapas lega, saat melihat secara langsung seperti apa kondisi Alaska saat ini.
Bisa dibilang, wajahnya bonyok penuh luka. Namun kedua sudut bibirnya masih bisa melengkung memperlihatkan senyuman tengilnya.
Dan, ya. Alaska langsung sadar ketika sesampainya di rumah sakit. Dokter pun menegaskan, jika tak ada luka yang serius. Hanya lebam dan luka sobek yang akan segera membaik seiring waktu.
"Ini wajah, kok, bisa jadi begini? Ceritanya gimana?" Sevia, selaku ibu kandung Alaska, tak terima jika wajah putranya jadi hancur seperti ini.
Di tempatnya, Sharon tersenyum kikuk, bingung harus menjelaskan bagaimana?
Kalau Sharon berkata jujur, akankah keluarganya Alaska menyalahkan Sharon?
Tapi kalau tidak jujur ...
"Sebenarnya, Alaska lawan tinju sama-"
"Lawan tinju sama junior di kampus!" Sharon melirik Alaska yang tanpa diminta langsung menyerobot ucapannya.
"Lawan tinju katanya? Jadi, siapa yang menang?" Rafinza, selaku ayah kandung Sharon, menimbrung tak percaya.
"Alaska yang menang. Tapi, belum juga diumumin, dia ikutan tumbang." Ujar Sharon. Siapa yang sangka, berkat ucapannya itu malah dibalas tawa menggelegar oleh Gavindra, ayahnya Alaska.
"Apaan langsung tumbang? Cemen! Yang lakik dong!"
"Aaak! Sakit, Pah, sakittt!" Alaska mendesis ngilu, saat tanpa perasaan, Gavindra menepuk pipinya beberapa kali.
Tentu saja hal itu dibalas delikan tajam oleh Sevia, sang istri. "Kamu mau bikin anak kita tambah bonyok?"
Gavindra menyengir, seolah melupakan usianya. "Gitu doang. Udah, nanti juga sembuh! Papa juga dulu sering adu tonjok kayak gitu. Papa dulu juga, yah, rela sewa ring tinju demi mempertahankan reputasi Papa waktu itu!"
"Serius? Menang, nggak?" Tanya Alaska, terburu-buru. Anehnya, raut wajah Gavindra yang semula menampilkan rona bangga, mendadak menciut lalu mundur beberapa langkah.
"Ekhem. Menang, sih, juara dua."
"Yha, bukan menang lagi itu mah. KO!" Timpal Rafinza, lalu tertawa.
Priska, selaku ibu kandung Sharon, mendengus seraya menggeleng-geleng kepala. "Jadi, gimana kata dokter, tadi? Alaska bisa pulang kapan?"
"Kata dokter, sih, hari ini juga Alaska udah bisa pulang. Cuman-" ucapan Sharon lagi-lagi terpotong oleh Alaska.
"Yang, aku mau pulang ajalah! Di sini nggak enak, nggak ada privasi!"
Terdengar dengusan kesal diiringi tatapan nyalang teruntuk Alaska. "Nggak! Kamu tuh masih sakit. Lihat noh, muka kamu udah nggak berbentuk gitu!"
"Ck! Tapi 'kan dokter juga udah bilang; aku udah bisa pulang hari ini! Ya? Pengen pulang! Pengen manja-manjaan di pelukan Ayang! Pleaseee!" Sharon menganga tak percaya akan tingkah manja Alaska yang begitu terang-terangan.
Tidak tahukah jika saat ini masih ada kedua orang tua mereka di sana?
Alaskaaa! Dia sengaja 'kan?
"Ekhem! Kayaknya, kita juga pulang aja kali, ya? Gimana, Besan?" Rafinza kembali membuka suara, setelah cukup lama pria paruh baya itu memilih bungkam dan mendengarkan.
"Setuju, sih, Besan! Oh, iya. Jagain Alaska, ya, Shar! Papa sama yang lain sangat mempercayakan dia sama kamu. Kalau begitu, kami pulang duluan!" Ujar Gavindra. Dengan entengnya, papa mertuanya ini langsung menggiring serta kedua orang tua Sharon untuk keluar dari ruang perawatan Alaska.
"Lho, kok ...? Tapi ...?"
"Sayang, aku mau pulang jugaaa!" Rengekan Alaska, membuat Sharon gelagapan. Apalagi saat dengan jelas, kedua orang tuanya pun kedua mertuanya terkikik menahan tawa.
"Aduhh, iya, iya! Bawel banget! Ya udah, kita pulang! Tapi setop panggil 'sayang'!"
"Lho, kenapa? Bukannya kamu suka? Terakhir kali aku manggil kamu 'sayang', kamu seneng-seneng aja tuh, sambil teriak; 'Ah, Alaska!', gitu!"
Wajah Sharon seketika dibuat merona saat ini. Hawa panas pun rasanya turut memenuhi diri Sharon.
Sialan!
Apa yang sudah Alaska katakannnn? Tepat di depan para orang tua pula?!
"Sekali lagi lo ngomong nggak jelas, gue tinggalin sekarang juga!"
"Buset! Ampun, Yang! Bercanda!"
^^^To be continued...^^^
happy ending 👍