NovelToon NovelToon
Obsesi Tuan Adrian

Obsesi Tuan Adrian

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / CEO / Diam-Diam Cinta / Mafia / Cintapertama / Balas Dendam
Popularitas:705
Nilai: 5
Nama Author: Azona W

Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.

Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.

Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Tidak Akan Menahanmu

Hujan turun sejak pagi. Langit Verona berwarna kelabu, dan suara rintiknya menjadi latar sunyi yang menenangkan sekaligus menyesakkan.

Elena berdiri di depan jendela kamarnya, menatap pepohonan yang bergoyang tertiup angin. Biasanya, suasana seperti ini membuatnya gelisah. Tapi kali ini, entah mengapa ia hanya merasa tenang.

Tenang, bukan karena keadaan baik-baik saja, tapi karena untuk pertama kalinya, ia tahu apa yang ingin ia perjuangkan.

Ia ingin kebebasan. Tapi bukan kebebasan yang diperoleh lewat pelarian.

Ia ingin kebebasan yang diperoleh karena dipahami.

Di sisi lain rumah, Adrian duduk di ruang kerja. Sudah tiga hari ia tidak berbicara banyak dengan Elena. Ia mencoba menulis sesuatu. Mungkin laporan, mungkin surat. Tapi setiap kalimat berhenti di tengah.

Pikiran Elena terus muncul di kepalanya. Cara gadis itu menatapnya tanpa takut, caranya berkata “melepaskan bukan berarti kehilangan”.

Kalimat itu menghantam dinding pertahanan yang ia bangun bertahun-tahun.

Dia tidak membenci aku seperti yang seharusnya… dan justru itu yang menakutkan.

Ia menatap kaca jendela, bayangannya tampak samar di balik embun. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Adrian merasa kehilangan arah.

Sore hari, Elena memutuskan turun ke perpustakaan rumah. Di sana, aroma buku tua dan kayu lembap menyambutnya. Ia menyusuri rak satu per satu, dan menemukan sesuatu yang tak sengaja terjatuh dari sela buku. Sebuah catatan lusuh dengan tulisan tangan Adrian.

Tulisan itu pendek, tapi mengguncang hatinya.

'Isabella berkata, cinta tidak bisa hidup di antara rantai dan ketakutan. Tapi apa jadinya jika cinta adalah satu-satunya hal yang membuatku bertahan?'

Elena menatap catatan itu lama, lalu menutup matanya. Ada rasa sedih yang tak bisa dijelaskan. Kini ia tahu, di balik kendali dan kekeras kepalaannya, Adrian bukan monster, melainkan seseorang yang tak tahu bagaimana cara mencintai tanpa kehilangan.

....

Malam tiba. Elena berjalan ke ruang kerja Adrian, membawa catatan itu. Ia mengetuk pelan.

“Masuk,” jawab suara berat dari dalam.

Ia masuk, dan menatap Adrian yang duduk di kursinya dengan wajah letih.

“Ini milikmu,” katanya sambil meletakkan kertas itu di meja.

Adrian menatapnya, lalu menghela napas panjang. “Kau menemukannya di perpustakaan.”

Elena mengangguk. “Kau menulis ini untuk Isabella, bukan?”

Adrian tidak menjawab langsung. Ia menatap kertas itu lama, seolah mencoba mengingat kenangan yang sudah lama ingin ia kubur.

“Aku menulisnya untuk siapa pun yang kucintai. Termasuk dia.”

Elena melangkah lebih dekat. “Kau tidak bisa terus mencintai dengan ketakutan, Adrian. Kau tidak menyelamatkan siapa pun dengan cara itu, kau hanya mengulang kehilangan yang sama.”

Ia terdiam.

Kata-kata Elena terasa seperti cermin, memantulkan kebenaran yang selama ini ia hindari.

Akhirnya Adrian berkata lirih, “Aku tidak tahu bagaimana caranya berhenti.”

Elena menatapnya lembut. “Mungkin karena kau tidak pernah benar-benar belajar mencintai tanpa ingin memiliki.”

Adrian menunduk, jemarinya bergetar di atas meja. “Dan kau… kau tidak takut mengatakan itu padaku?”

Elena tersenyum samar. “Takut, ya. Tapi aku lebih takut kalau kita berdua terus hidup di dalam kegelapan yang sama.”

Hening.

Adrian menatapnya, dan untuk pertama kalinya dalam semua percakapan mereka, tatapan itu tidak berisi perintah, tidak berisi obsesi. Hanya kelelahan yang tulus.

“Elena,” katanya perlahan, “aku tidak tahu apakah aku pantas diberi kesempatan memperbaiki apa pun. Tapi kalau aku mencoba… kau akan tetap di sini?”

Elena menatapnya lama, lalu menjawab, “Aku akan tetap di sini. Sampai kau belajar melepaskan.”

....

Keesokan paginya, rumah terasa… berbeda.

Tidak ada langkah berat di lorong, tidak ada jadwal kaku di bawah pintu kamar Elena. Semua terasa lebih tenang, lebih manusiawi.

Ketika Elena turun ke ruang makan, meja itu sudah tertata, tapi bukan oleh Clara. Adrian berdiri di sana, masih dengan pakaian sederhana, tanpa jas, tanpa ketegangan yang biasanya mengikutinya.

“Selamat pagi,” katanya pelan.

Elena hampir tidak percaya mendengarnya.

Dua kata sederhana, tapi untuk seseorang seperti Adrian, itu lebih berarti daripada permintaan maaf.

“Pagi,” jawabnya hati-hati.

Adrian menatap piring di depannya. “Aku tidak tahu apakah kau masih menyukai hal yang sama. Jadi aku menyiapkan seadanya.”

Di atas meja ada roti panggang dan buah segar, sederhana tapi nyata. Tidak lagi sarapan mewah yang disajikan dengan protokol.

Elena duduk perlahan, matanya tak lepas dari sosok pria di depannya yang tampak… biasa. Dan justru karena itu, terasa luar biasa.

Hening beberapa saat. Hanya suara burung dari taman yang terdengar.

Elena akhirnya berkata pelan, “Kau tidak perlu mengubah semuanya dalam satu malam.”

Adrian menatapnya, kemudian tersenyum samar. “Aku tahu. Tapi kalau aku tidak mulai, aku akan selamanya terjebak di titik yang sama.”

Ia berhenti sejenak sebelum menambahkan, “Aku tidak pernah tahu bagaimana memperlakukan seseorang tanpa kendali. Tapi sekarang aku ingin belajar.”

Kalimat itu membuat dada Elena bergetar aneh. Ia menunduk, menahan air mata yang entah kenapa terasa hangat kali ini.

Siang hari, Adrian meminta Clara untuk menemaninya ke ruang taman.

Elena menatap dari jauh. Adrian memotong ranting mawar yang tumbuh liar, lalu menyingkirkan tanaman yang menutupi dinding batu. Di baliknya ternyata tersembunyi gerbang kecil yang dulu terkunci rapat dengan rantai besi.

Saat rantai itu dibuka, suara besinya menggema di udara. Nyaring, tapi indah.

Clara memandangnya dengan raut heran. “Tuan, Anda ingin gerbang ini… dibuka?”

Adrian mengangguk pelan. “Sudah terlalu lama terkunci.”

Elena, yang melihat dari balkon, menggenggam pagar erat.

Ia tahu arti suara rantai itu lebih dari sekadar gerbang taman. Itu adalah retakan nyata dalam dinding yang selama ini menahannya.

Sore menjelang. Adrian berdiri di dekat jendela, menatap matahari yang turun perlahan. Elena datang menghampiri.

“Terima kasih,” katanya lirih.

Adrian menatapnya, bingung. “Untuk apa?”

“Untuk mencoba.”

Adrian menggeleng perlahan. “Aku hanya membuka gerbang.”

Elena menatapnya dalam. “Kadang, itu satu-satunya hal yang dibutuhkan seseorang untuk mulai bernapas.”

Hening menyelimuti mereka beberapa saat.

Adrian lalu berkata dengan suara nyaris berbisik, “Aku masih takut kehilanganmu.”

Elena tersenyum lembut. “Takut bukan dosa, Adrian. Tapi mencintai karena takut… itulah yang menyakitkan.”

Ia berbalik perlahan, berjalan keluar dari ruang itu, meninggalkan Adrian berdiri di bawah cahaya sore yang menembus kaca. Cahaya itu jatuh di wajahnya, menghapus sebagian bayangan di matanya.

Dan untuk pertama kalinya, Adrian membiarkannya pergi tanpa mencoba menghentikan.

.....

Malam itu sunyi.

Hujan yang turun sejak sore kini hanya menyisakan rintik lembut yang menetes dari atap ke halaman batu. Bau tanah basah memenuhi udara.

Elena tidak bisa tidur. Ia berdiri di balkon kamarnya, menatap gerbang taman yang kini terbuka setengah.

Dari kejauhan, ia bisa melihat cahaya samar dari ruang kerja Adrian. Seperti biasa, pria itu masih terjaga. Tapi malam ini, entah kenapa, ada sesuatu yang berbeda pada cahaya itu. Redup, hangat, tidak lagi terasa mengancam.

Ia menarik napas panjang. Mungkin ini yang disebut perubahan, pikirnya. Bukan sesuatu yang tiba-tiba, tapi seperti hujan yang perlahan menghapus debu di jendela.

Di ruang kerja, Adrian duduk di depan meja dengan kepala bersandar di tangan. Di depannya, potret Isabella kini tak lagi tertutup kain. Lukisan itu memantulkan wajah yang ia kenal. Wajah seseorang yang dulu ia ingin lindungi, tapi malah kehilangan karena caranya yang salah.

“Isabella,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, “aku akhirnya mengerti apa maksudmu dulu.”

Ia menatap ke arah jendela. Di kejauhan, cahaya dari balkon Elena tampak redup, seperti bintang yang bertahan di langit kelabu.

“Cinta tidak bisa tumbuh di dalam ketakutan,” ucapnya perlahan, mengulang kata-kata lama. “Dan aku… sudah terlalu lama hidup di dalamnya.”

Tangannya menggenggam cincin kecil yang tergantung di rantai di lehernya—satu-satunya peninggalan Isabella. Kali ini, ia menanggalkannya. Ia menatap cincin itu untuk terakhir kali sebelum meletakkannya di meja.

Di dadanya, ada rasa sakit aneh yang hangat.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasa kehilangan sesuatu dengan tenang.

Beberapa saat kemudian, langkah lembut terdengar di luar. Elena muncul di ambang pintu, mengenakan sweater abu-abu, rambutnya terurai seadanya.

“Kau belum tidur,” katanya pelan.

Adrian menatapnya dengan senyum kecil. “Begitu juga dirimu.”

Elena menatap cincin di meja, lalu kembali menatapnya. “Kau melepaskannya.”

Adrian mengangguk. “Aku tidak bisa menebus masa lalu, Elena. Tapi aku bisa berhenti menyeretnya ke masa depan.”

Keheningan yang mengikuti terasa berbeda, tidak lagi berat, melainkan penuh rasa lega.

Elena berjalan mendekat, berdiri di depan jendela di sebelahnya. “Kau tahu,” katanya lirih, “aku tidak pernah benar-benar membencimu.”

Adrian menatapnya lama, matanya penuh rasa yang sulit diuraikan. “Kau terlalu baik padaku.”

Elena tersenyum tipis. “Tidak. Aku hanya belajar bahwa beberapa orang butuh diajari bagaimana cara mencintai tanpa takut.”

Hujan mulai berhenti. Dari luar, terdengar suara jangkrik dan gemerisik daun.

Adrian menatap gerbang taman yang kini terbuka sepenuhnya. Ia lalu menoleh pada Elena.

“Jika suatu hari kau ingin pergi,” katanya pelan, “aku tidak akan menahanmu.”

Elena menatapnya dalam. “Dan jika suatu hari aku memilih tetap tinggal, itu karena aku ingin, bukan karena kau izinkan.”

Kata-kata itu seperti lilin yang dinyalakan di ruangan gelap.

Adrian mengangguk pelan, dan untuk pertama kalinya, senyumnya tidak menyembunyikan apa pun.

Malam itu, Elena kembali ke kamarnya. Ia menatap ke luar jendela sekali lagi. Ke taman, ke gerbang, ke langit yang kini mulai cerah.

Untuk pertama kalinya sejak lama, udara di Petunia Hill terasa ringan.

Dan di bawah cahaya rembulan yang lembut, ia tahu satu hal pasti.

Terkadang, cahaya tidak datang untuk menghapus kegelapan, tetapi untuk menunjukkan bahwa mereka berdua bisa hidup berdampingan.

1
Mentariz
Penasaran kelanjutannya, ceritanya nagih bangeett 👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!