Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Jeda Tak Terhindarkan
Tentu, saya akan melanjutkan bab berikutnya dengan fokus pada eskalasi risiko, kontrol Raka yang semakin manipulatif, dan momen intim yang sugestif, penuh ketegangan, dan berisiko tinggi.
Bab Selanjutnya: Jeda Tak Terhindarkan
Beberapa hari setelah insiden di ambang pintu, Raka menanggapi flirting-ku dengan cara yang brutal. Dia mengabaikanku sepenuhnya di rumah. Tidak ada kontak mata di meja makan, tidak ada bisikan formal. Dia bersikap dingin, seolah sentuhan di leherku adalah delusiku semata.
Namun, di chat rahasia, dia adalah magma.
Raka (Chat Rahasia): Kenapa kamu berpikir aku tidak berani mengambil risiko? Kamu meragukan aku?
Aluna: Aku tidak meragukan Mas. Aku meragukan kewarasan kita.
Raka: Kewarasan adalah untuk orang yang tidak punya rahasia. Aku dan kamu adalah pengecualian. Aku perlu mengujimu, Lun. Untuk melihat apakah api yang kamu rasakan itu nyata.
Aluna: Ujian apa?
Raka: Malam ini. Aku dan Naira harus menghadiri makan malam formal dengan klien penting. Aku ingin kamu ikut. Sebagai asisten Naira.
Aku menahan napas. "Ikut?" Di depan umum?
Aluna: Mas, itu terlalu berisiko.
Raka: Justru di situlah letak kesenangan yang sebenarnya. Di tengah keramaian, di bawah hidung Naira, kita akan menjadi sepasang orang asing yang berbagi keintiman paling gelap. Aku akan membuat jeda kita tidak terhindarkan.
Perjalanan Sunyi
Pukul delapan malam, aku duduk di kursi belakang mobil Raka. Naira yang seharusnya mendampingi Raka, tiba-tiba merasa tidak enak badan dan memilih untuk tidur di kursi depan.
"Aku merasa pusing, Sayang. Kamu duduk di belakang saja, biar nyaman," kata Naira pada Raka. Dia tidak melihatku, tapi aku merasakan taktik Raka sedang berjalan mulus.
Raka tersenyum penuh kemenangan pada Naira. "Tentu, Sayang. Istirahatlah. Aluna yang akan menyetir."
Aku memegang kemudi, sementara Raka duduk di belakang, persis di belakangku. Perjalanan itu terasa jauh lebih berbahaya daripada ciuman di basement. Kami berada dalam kotak logam bergerak, terisolasi, dengan Naira di sampingku.
Sepuluh menit perjalanan, Naira sudah terlelap, napasnya teratur.
Tiba-tiba, tanganku yang memegang kemudi disentuh. Bukan sentuhan biasa; itu adalah sentuhan mengklaim.
Jari-jari Raka bergerak perlahan dari belakang, menyentuh pergelangan tangan kiriku yang telanjang, lalu naik sedikit, hingga ujung jarinya berada tepat di bawah lengan kemejaku.
Aku tersentak, hampir menginjak rem.
Mas Raka. Aku hanya bisa memanggilnya dalam hati.
Dia tidak menariknya. Jari-jarinya mulai menggaruk perlahan, naik turun, di area sensitif di balik siku. Tindakan yang sangat kecil, tapi terasa seperti gelombang kejut menjalar di seluruh tubuhku.
"Jangan bergerak," bisik Raka, suaranya terdengar dari belakang kepalaku, begitu dekat hingga aku bisa merasakan udara hangatnya. "Terus fokus pada jalanan. Aku sedang menguji seberapa bagus aktingmu."
"Aku tidak bisa, Mas," bisikku, air mata mulai menggenang karena intensitas perasaan yang tertekan.
"Kamu harus bisa. Istrimu sedang tidur, Lun. Dia sedang memberikan kita kesempatan. Jangan sia-siakan."
Jari-jarinya berhenti bergerak. Lalu, dengan gerakan yang lebih berani, ia menyelipkan satu jarinya ke balik kancing manset kemejaku, mengusap pembuluh darah di pergelangan tanganku. Itu adalah sentuhan yang sangat intim dan pribadi, tersembunyi sepenuhnya dari pandangan Naira.
Aku merasakan napasku sesak. Aku mencengkeram kemudi, berusaha fokus pada lampu jalan yang berkedip.
Ketegangan di Ruangan Gelap
Kami tiba di hotel tempat acara. Raka menyuruh Naira yang masih setengah sadar masuk lebih dulu, sementara dia mengklaim harus mengambil sesuatu dari bagasi.
"Aluna, tolong bantu aku sebentar," perintahnya.
Di parkiran yang agak gelap, Raka dengan cepat menutup pintu mobil.
"Tanganmu gemetar," katanya, meraih kedua tanganku, membalikkan telapak tanganku, dan menciumnya, tepat di bagian tengah. Ciuman yang dalam dan lambat.
"Aku tidak bisa seperti ini, Mas. Aku merasa akan pingsan," kataku.
"Belum," katanya, matanya berkilat gairah. "Ini belum pingsan."
Dia mendorongku dengan lembut, membuat punggungku menyentuh dinding mobil. Dia mencondongkan tubuhnya, dan aku merasakan panas tubuhnya menyelimuti.
"Malam ini, kamu akan menemaniku ke toilet," katanya, bukan pertanyaan, melainkan sebuah deklarasi yang memabukkan. "Toilet lantai dua, ruang maintenance-nya. Aku sudah memastikan kosong."
"Kenapa harus di sana?"
"Karena di situ, kita bisa jujur. Di sana, Naira bisa lewat tepat di luar pintu, dan dia tidak akan pernah tahu bahwa suaminya sedang memuaskan hasratnya pada wanita lain. Itu adalah jeda yang sempurna."
Dia menarik diriku ke dalam pelukannya, menciumku lagi, kali ini lebih menuntut, membiarkan tangannya bergerak leluasa di punggungku. Aku tidak melawan. Aku menyerah pada bau cologne dan urgensi yang terpancar darinya.
"Tunggulah di ballroom. Aku akan mengirim pesan kode ke chat rahasia kita. 'Aku ingin kopi.' Itu kodenya. Jangan terlambat," bisiknya sebelum melepaskanku.
Aku berjalan masuk ke ballroom yang ramai, mencoba menetralkan napas dan detak jantungku. Di tengah keramaian, aku adalah hantu, pembawa rahasia yang paling mematikan.
Di ruang makan, Raka dan Naira sudah duduk. Raka tersenyum pada Naira, memegang tangannya di atas meja. Aku duduk di sudut, mataku terpaku pada ponselku.
Aku hanya perlu menunggu kode itu: "Aku ingin kopi."
Aku melihat Raka mengeluarkan ponselnya di bawah meja, pura-pura memeriksa pesan.
Getaran di saku celanaku datang.
Raka (Chat Rahasia): Aku ingin kopi. Segera.
Waktu yang ditunggu telah tiba. Aku harus segera pergi.