Menginjak usia 20 tahun Arabella zivana Edward telah melalui satu malam yang kelam bersama pria asing yang tidak di kenal nya,semua itu terjadi akibat jebakan yang di buat saudara tiri dan ibu tirinya, namun siapa sangka pria asing yang menghabiskan malam dengan nya adalah seorang CEO paling kaya di kota tempat tinggal mereka. Akibat dari kesalahan itu, secara diam-diam Arabella melahirkan tiga orang anak kembar dari CEO tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda wistia fitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka Lama Yang Terkoyak 2
Acara makan malam keluarga di kediaman Julian berubah kacau
Kebenaran tentang penyekapan Arabella selama masa kehamilan akhirnya terungkap, dan kini menjadi bisik-bisik di antara para kerabat dan sepupu Arabella yang hadir
Julian duduk di ujung meja, wajahnya tetap tenang, nyaris tanpa penyesalan. Catherine di sisi lain hanya menegakkan punggungnya, menatap piring seolah tak ada yang terjadi.
Bagi keduanya, peristiwa itu hanyalah “kesalahpahaman masa lalu”.
“Kami hanya ingin melindunginya waktu itu,” ujar Catherine datar, seolah tidak ada luka yang pernah dibuat.
“Situasinya... rumit.”
Arabella tak menanggapi. Ia tetap duduk anggun, menatap tenang sambil menyuapkan makanan sedikit demi sedikit.
Tidak ada amarah di wajahnya hanya keteguhan yang membuat semua orang di meja makan itu diam tak nyaman.
Di luar, tawa kecil terdengar samar.
Ketiga anaknya Dimitry, Michael, dan Michelle sedang bermain di taman belakang, di bawah cahaya lampu taman yang temaram.
Namun ketenangan itu tak berlangsung lama.
Dari sisi meja, suara berbisik mulai terdengar.
Sepupu-sepupu Vania, yang sejak awal memandang Arabella dengan sinis, mulai berkomentar pelan tapi cukup keras untuk didengar.
“Cantik, tapi anak-anaknya tanpa ayah… memalukan sekali,” bisik salah satu dari mereka sambil menahan tawa kecil.
“Bagaimana bisa keluarga Edward menoleransi aib seperti itu?” sahut yang lain, pura-pura menutup mulut dengan serbet.
Catherine hanya berpura-pura tak mendengar, padahal sudut bibirnya terangkat tipis.
Sementara Vania menunduk, tapi sorot matanya menyimpan kepuasan.
Arabella mendengar semuanya.
Setiap kata menusuk hatinya, tapi ia memilih tetap diam.
Ia sudah terlalu lama berjuang sendirian untuk membuktikan bahwa dirinya dan anak-anaknya bukanlah sesuatu yang patut dipermalukan.
Ia meneguk segelas air dengan tenang, lalu menatap mereka satu per satu.
Senyum tipis muncul di sudut bibirnya.
“Lucu sekali,” ucapnya lembut, tapi cukup untuk membuat semua bisik-bisik terhenti.
“Orang yang tidak tahu kebenaran, tapi berani menilai kehidupan orang lain. Tidak semua orang sekuat itu untuk bertahan hidup setelah diperlakukan seperti binatang oleh keluarganya sendiri.”
Ruangan mendadak sunyi.
Bahkan suara sendok yang beradu dengan piring pun lenyap.
Julian mengerutkan kening, tapi belum sempat bicara, langkah kaki kecil terdengar dari arah taman.
Dimitry berlari kecil masuk ke ruang makan.
“Mama, Michelle jatuh!” katanya panik.
Arabella segera berdiri, tanpa mempedulikan tatapan kaget orang-orang di sekelilingnya.
Namun sebelum ia sempat melangkah, seseorang telah lebih dulu keluar Nicholas.
Pria itu melangkah cepat ke taman, napasnya tertahan begitu melihat Michelle duduk di tanah, lutut kecilnya lecet dan gaunnya kotor.
Tanpa pikir panjang, Nicholas menggendong gadis kecil itu dengan lembut.
“Tidak apa-apa, sayang… kau hebat sekali, jangan menangis,” ucapnya lembut sambil menepuk punggung Michelle.
Adegan itu membuat semua mata di ruang makan menatap ke arah jendela kaca besar.
Dan di antara tatapan-tatapan itu, satu hal menjadi jelas
Tatapan Nicholas pada Michelle bukanlah tatapan orang asing.
Ada sesuatu yang dalam, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Sementara Vania yang berdiri di sisi meja, menatap dengan amarah membara di matanya.
“Kau tidak perlu repot mengurus anak orang lain, Nick,” ucapnya dingin ketika Nicholas kembali ke dalam sambil menggendong Michelle.
“Mereka masih punya ibunya.”
Nicholas menatapnya sekilas.
“Aku hanya berusaha menolong. Apa salahnya?”
“Salahnya,” balas Vania, menahan nada suaranya agar tak bergetar, “karena kau mulai memperhatikan anak dari perempuan lain yang bahkan tidak jelas siapa ayahnya.”
Namun Nicholas tidak menjawab.
Ia hanya menunduk, merapikan rambut Michelle yang berantakan, lalu menatap Arabella sekilas tatapan yang tak bisa disembunyikan siapa pun di ruangan itu.
“Vania benar, Nick,” ucap Arabella tenang, menatap pria itu tanpa ekspresi.
“Tidak pantas kau terlalu memperhatikan anak-anakku. Sebaiknya urus saja calon istrimu itu… agar dia tidak terus merasa cemburu.”
Nada suaranya lembut, tapi setiap katanya seperti pisau yang terarah tepat ke jantung Vania.
Perkataan itu membuat wajah Vania memerah menahan amarah. Ia tahu Arabella sengaja berkata demikian, bukan untuk membela diri melainkan untuk membuat Nicholas semakin menjauh darinya.
“Kau pikir kau siapa, hah?! Wanita hina yang berani mengaturku?” seru Vania dengan suara bergetar karena emosi.
Namun Arabella hanya menatapnya sebentar, lalu menunduk mengambil tasnya.
Tanpa menambah kata apa pun, ia menggandeng Michelle dan memberi isyarat pada Dimitry serta Michael untuk bersiap pulang.
Julian yang sedari tadi diam akhirnya berdiri.
“Bella, bertahanlah sebentar lagi… ini makan malam keluarga, jangan pergi dulu,” ucapnya mencoba menahan.
Tapi Arabella hanya menoleh sekilas dan berkata dengan tenang,
“Papa, tidak ada artinya bertahan di tempat yang hanya menjadikan kami bahan olok-olok. Aku pamit.”
Julian terdiam, tidak mampu berkata apa-apa.
Hanya bisa memandangi punggung putrinya yang kini melangkah menjauh bersama ketiga anaknya.
Begitu sampai di parkiran, udara malam terasa dingin menusuk.
Arabella membuka pintu mobil, membantu Michelle masuk lebih dulu, ketika suara langkah cepat terdengar dari belakang.
“Bella, tunggu.”
Suara itu membuat Arabella menoleh. Nicholas berdiri di sana, napasnya sedikit terengah, tatapannya penuh keraguan sekaligus ketulusan.
“Biarkan aku mengantar kalian pulang. Sudah malam, setidaknya izinkan aku memastikan kalian sampai dengan aman.”
Arabella menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum samar.
“Terima kasih, tapi tidak perlu. Aku masih tahu jalan pulang, Nick.”
Nicholas menunduk sedikit, menelan kecewa.
“Aku hanya ingin memastikan kalian baik-baik saja…”
“Kami baik-baik saja,” potong Arabella lembut, lalu masuk ke dalam mobil.
Mesin mobil menyala, lampu depan menembus gelapnya halaman besar keluarga Edward. Perlahan mobil itu melaju meninggalkan rumah yang kini terasa dingin dan hampa.
Namun, dari teras lantai dua, Vania berdiri memandangi pemandangan itu dengan rahang mengeras. Matanya memancarkan amarah yang membara.
“Arabella…” gumamnya pelan tapi tajam.
“Aku terlalu meremehkanmu. Tapi suatu hari nanti, aku pastikan kau akan tutup mata selamanya.”
Tangannya mengepal di sisi tubuh, sementara air matanya menetes bukan karena sedih, tapi karena dendam yang sudah menumpuk terlalu lama.
Sementara itu, di jalanan gelap tak jauh dari sana, lampu mobil Nicholas tampak mengikuti dari kejauhan.
Ia tak peduli dengan teriakan Vania yang berlari mengejarnya di halaman.
Yang ada di pikirannya hanya satu
Kenapa hatinya terasa begitu berdebar setiap kali melihat Arabella… dan anak-anak itu?
Nicholas semakin yakin jika Arabella adalah wanita lima tahun lalu yang telah dia lecehkan,jika feeling nya benar maka takdir benar-benar mempermainkan kehidupannya,bagaimana bisa dia menghancurkan masa depan Arabella tapi sekarang menjadi tunangan adik tirinya, apakah Tuhan sudah menuliskan takdir nya yang hanya berputar-putar pada kehidupan keluarga Edward,Nicholas sendiri tidak tahu jawabannya