1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.
Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.
Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.
Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.
Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.
Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Martin van der Spoel
"Silakan duduk," kata Martin sambil menunjuk kursi di depan meja. Dia sendiri duduk di kursi besar di belakang meja, kursi yang biasanya untuk direktur pabrik, tapi sekarang dia yang memakainya karena sang ayah sedang tidak di tempat.
Soedarsono mengedarkan pandangan sekilas sebelum duduk. Ruang kerja itu luas dan mewah. Didominasi bau cerutu kuba dan bau khas kertas dan tinta.
Meja besar dari kayu mahoni dengan tumpukan dokumen tertata rapi, rak buku tinggi memenuhi satu dinding, jendela besar menghadap perkebunan tebu yang membentang luas, kursi-kursi berlapis kulit cokelat yang tampak sangat nyaman.
Di dinding, terpajang beberapa foto keluarga; ada foto pria tua yang masih gagah bersama istrinya—Johannes van der Spoel dan Helena van der Spoel, foto Martin dengan pakaian berkuda, dan yang paling menarik, foto pernikahan Martin dengan seorang perempuan Jawa yang cantik.
Raden Ayu Sumirna. Istri pertama Soedarsono yang diceraikan. Yang sekarang menjadi istri Martin.
Martin bersandar santai, menatap Soedarsono dengan tatapan penasaran. "Memangnya siapa yang bisa melawanmu, Tuan Bupati? Bahkan pemerintah kolonial akhirnya mengalah, mengangkatmu menjadi bupati meski kau pernah dianggap terlalu ... liberal."
"Ibu saya."
Dua kata yang sederhana. Tapi nada suaranya; lelah, putus asa, takut—membuat kata-kata itu terdengar seperti pengakuan yang sangat berat.
Martin yang hendak mengambil cerutu dari kotak di meja berhenti. Tangannya membeku di udara. Lalu dia mengangguk pelan.
"Ah. Kanjeng Raden Ayu Kusumawati." Suaranya datar tapi ada pemahaman di sana. "Sumi sudah banyak bercerita tentang beliau. Perempuan yang ... cukup mengerikan. Perempuan yang pintar membuat perempuan lain hampir gila."
Soedarsono tersenyum getir.
"Apa yang diketahui Sumi belum apa-apa. Saya yang paling tahu. Saya yang hidup dengan beliau puluhan tahun. Dan sekarang ... beliau mengancam orang yang saya cintai. Orang yang membuat saya masih waras di tengah semua tuntutan menjadi bupati itu."
Martin terdiam sejenak sebelum bangkit dari kursi, berjalan ke bufet kayu di sudut ruangan.
"Tuan Bupati membutuhkan bantuan saya?" tanyanya sambil menuangkan cairan amber dari botol kristal ke dua gelas.
"Ya." Soedarsono menatap punggung Martin dengan tatapan penuh harap. "Saya berharap Tuan bisa bermurah hati. Saya tidak tahu harus meminta bantuan siapa lagi. Semua orang di sekitar saya ada di bawah pengaruh kuat ibu saya. Banyak yang berhasil mendapatkan jabatan karena bantuan ibu saya, jadi beliau sangat disegani di kalangan pemerintahan."
Martin berbalik, membawa dua gelas berisi cognac (semacam minuman brendi anggur yang diproduksi di Cognac, Prancis). Dia menyerahkan satu gelas pada Soedarsono.
"Minumlah dulu. Anda terlihat sangat tegang."
Soedarsono menerima gelas itu, meneguknya dalam satu tegukan. Cairan itu terbakar di tenggorokan, tapi entah kenapa memberikan sedikit ketenangan.
Martin kembali ke kursinya, menyesap cognac-nya dengan pelan. "Bantuan apa yang Tuan Bupati perlukan? Jika bisa saya usahakan, tentu akan saya bantu."
Dia menatap Soedarsono dengan tatapan serius. "Mengingat kalau bukan karena bantuan Tuan Bupati yang mencari jejak Sumi dulu, ketika dia menghilang, saya tidak akan mungkin bersatu dengannya sekarang. Saya berhutang budi."
Soedarsono mengangguk, lega mendengar itu. Setidaknya ada satu orang yang masih mengingat kebaikannya. "Saya membutuhkan tempat berlindung. Untuk istri saya."
Martin mengangkat alis. "Istri Tuan Bupati? Yang mana? Saya dengar Tuan Bupati baru saja menikah lagi. Total tiga istri, bukan?"
"Pariyem. Selir saya. Yang tinggal di Dalem Prawirataman. Ibu saya sedang … sangat marah. Beliau akan menyingkirkan Pariyem. Dan saya tahu apa artinya itu."
Martin terdiam. Wajahnya berubah serius. Dia mengerti maksud kata-kata itu. Hidup cukup lama di Hindia membuatnya paham, ningrat Jawa punya cara-cara mereka sendiri untuk "menyingkirkan" masalah. Tidak perlu banyak drama, langsung ‘pateni’ (bunuh) saja.
"Ibu saya tidak seperti yang terlihat, Tuan Martin. Beliau bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan yang beliau mau. Apa saja."
Dia menarik napas. "Saya butuh bantuan orang di luar pemerintahan. Tuan Martin ... Anda orang Belanda. Swasta. Pemilik pabrik. Ibu saya tidak punya kuasa di sini. Tolong ... lindungi Pariyem. Hanya untuk sementara waktu. Sampai situasi aman."
Martin menatapnya lama. Lalu akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah. Saya akan melindunginya. Dia bisa tinggal di rumah kami. Sumi pasti tidak keberatan, perempuan itu terlalu baik hati untuk menolak orang yang butuh bantuan."
Soedarsono langsung berdiri, membungkuk dalam, sangat dalam untuk ukuran seorang bupati. "Terima kasih. Terima kasih banyak, Tuan Martin. Saya berhutang nyawa pada Anda."
"Tidak perlu." Martin mengangkat tangan, menghentikan. "Kita impas sekarang. Dulu Tuan Bupati membantu saya menemukan istri saya. Sekarang saya membantu Tuan Bupati melindungi istri Anda. Adil, bukan?"
Soedarsono tersenyum, senyum tulus pertama sejak ia bertengkar dengan ibunya "Bagaimana keadaan Sumi?" tanyanya, ada nada canggung di sana tapi juga ketulusan.
Martin tersenyum, senyum yang penuh kebahagiaan. "Dia baik. Sangat baik. Sedang menunggu kelahiran bayi kami."
Kata-kata itu terasa sedikit menusuk dada Soedarsono. Tapi hanya sedikit. Tidak sesakit dulu. Waktu sudah menyembuhkan banyak luka.
"Selamat," ucapnya tulus. "Sumi pasti sangat bahagia."
"Dia sangat bahagia." Martin bangkit, berjalan ke bufet lagi, menuangkan cognac ke gelas Soedarsono yang sudah kosong. "Minumlah lagi, Tuan Bupati. Anda masih terlihat sangat tegang."
Soedarsono menerima gelas itu, kali ini meneguknya lebih pelan. Membiarkan cairan itu menghangatkan dari dalam.
"Bagaimana tidak tegang," gumamnya. "Saya akan kehilangan istri lagi. Dan kali ini ... saya tidak akan membiarkan itu terjadi. Cukup Sumi saja."
Martin terkekeh, tawa yang sedikit mengejek. "Repot memang punya istri banyak. Itu sebabnya saya cukup satu saja."
Kata-kata itu sedikit menyebalkan. Sedikit menusuk. Khas Martin yang menjengkelkan. Tapi Soedarsono malah turut tertawa.
"Anda beruntung lahir sebagai pria Belanda. Di sini ... berbeda cerita."
Dia meletakkan gelas kosong di meja. "Maaf, saya tidak bisa berlama-lama. Saya akan mengantarkan Pariyem ke rumah Tuan malam ini."
"Saya juga akan segera pulang," kata Martin sambil mengambil jas dari gantungan. "Harus mengabari Sumi lebih dulu. Biar dia tidak terkejut. Kejutan tidak bagus untuk ibu hamil, bukan?"
Soedarsono terkekeh lagi, lebih ringan kali ini. "Terima kasih, Tuan Martin. Terima kasih banyak."
"Sama-sama." Martin mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
Soedarsono menjabat tangan itu dengan erat. Tapi sebelum dia melangkah keluar, dia teringat sesuatu. "Oh, Tuan Johannes ... beliau di mana?"
"Papa ke Batavia. Ada rapat besar dengan dewan direksi perusahaan. Tidak akan kembali sampai minggu depan."
"Ah, begitu. Baiklah. Sampaikan salam saya."
"Pasti."
Soedarsono tergesa sebagaimana dia datang.
Matahari sudah mulai condong ke barat. Langit berubah jingga keemasan. Bayangan memanjang di tanah.
Ia naik ke kereta dengan berteriak, "Cepat pulang! Ke Dalem Prawirataman. Secepat mungkin!"
Kereta melaju kencang meninggalkan halaman pabrik gula seperti saat dia datang, membawa debu dan harapan yang tipis.
suwun kak . .