Di tengah hiruk pikuk kota modern Silverhaven, Jay Valerius menjalani hidupnya sebagai seorang menantu yang dipandang sebelah mata. Bagi keluarga Tremaine, ia adalah suami tak berguna bagi putri mereka Elara. Seorang pria tanpa pekerjaan dan ambisi yang nasibnya hanya menumpang hidup.
Namun, di balik penampilannya yang biasa, Jay menyimpan rahasia warisan keluarganya yang telah berusia ribuan tahun: Cincin Valerius. Artefak misterius ini bukanlah benda sihir, melainkan sebuah arsip kuno yang memberinya akses instan ke seluruh pengetahuan dan keahlian para leluhurnya mulai dari tabib jenius, ahli strategi perang, hingga pakar keuangan ulung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Serigala di Ambang Pintu
Kemenangan atas birokrasi membuat semangat di base camp Tremaine Logistik membara. Pekerjaan dilanjutkan dengan kecepatan dua kali lipat, seolah para pekerja ingin menebus waktu yang hilang. Truk-truk dimuati, jadwal disusun, dan untuk pertama kalinya, proyek yang mustahil itu tampak benar-benar bisa dijalankan.
Sore harinya, saat Bastian dan Elara sedang meninjau kemajuan di kantor proyek, Bastian tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. "Aku terus memikirkan kata-katamu semalam, Jay," katanya. "Tentang serangan Suryo berikutnya yang tidak akan 'halus'. Apa yang harus kita lakukan? Menyewa lebih banyak satpam?"
Jay, yang sedang mempelajari peta topografi gunung, menggeleng pelan. "Satpam biasa tidak akan berguna melawan orang-orang yang mungkin akan dia kirim. Jangan khawatir, aku sudah mengaturnya."
Tak lama kemudian, Jay berjalan menjauh dari keramaian, ke dekat tepi hutan. Ia kembali menggunakan ponsel tuanya untuk melakukan satu panggilan singkat.
"Paman Chen," sapanya. "Dia sudah mencoba jalur tikus. Sekarang waktunya kita menyiapkan perangkap untuk serigalanya." Ia berhenti sejenak, mendengarkan. "Aktifkan 'Protokol Bayangan' di sektor Gunung Hantu. Prioritas utama: jangan ada yang terluka, jangan tinggalkan jejak."
Setelah panggilan itu, Jay kembali bekerja seolah tidak terjadi apa-apa, meninggalkan Elara yang kebetulan mendengarnya dengan lebih banyak pertanyaan di benaknya. Protokol Bayangan?
Malam tiba dengan cepat di kaki gunung. Sebagian besar kru, termasuk keluarga Tremaine, kembali ke kota untuk beristirahat. Base camp yang tadinya riuh kini menjadi sunyi, hanya diterangi oleh beberapa lampu sorot. Tiga orang satpam lokal yang disewa Bastian memulai patroli rutin mereka, mengobrol dan sesekali menguap. Suasana terasa damai.
Namun, di kegelapan hutan yang pekat, kedamaian itu adalah sebuah ilusi.
Sekitar pukul dua dini hari, belasan sosok bayangan bergerak tanpa suara keluar dari pepohonan. Mereka adalah sekelompok preman bayaran, wajah mereka keras dan tubuh mereka liat. Mereka membawa linggis, tali tambang, dan gergaji mesin. Rencana mereka sederhana: melumpuhkan penjaga, lalu menggunakan gergaji mesin untuk menebang beberapa pohon raksasa untuk memblokir jalur rahasia itu secara total.
Ketiga satpam lokal itu tidak memiliki kesempatan. Mereka disergap dari belakang, dilumpuhkan dengan cepat, lalu diikat dan mulut mereka disumpal.
"Kerja bagus," bisik pemimpin preman itu. "Sekarang, bereskan jalannya. Pastikan butuh setidaknya sebulan untuk membersihkannya!"
Beberapa orang mulai menyalakan gergaji mesin mereka. Namun, sebelum deru mesin pertama sempat membelah keheningan malam, sesuatu terjadi.
Ssst! Gedebuk!
Salah satu preman yang berjaga di tepi hutan tiba-tiba jatuh ke tanah tanpa suara, seolah kakinya dipotong. Sebelum teman-temannya sempat bereaksi, bayangan lain bergerak dari atas. Sosok berpakaian serba hitam turun dari dahan pohon, mendarat tanpa suara di belakang preman lain dan melumpuhkannya dengan satu pukulan presisi di tengkuk.
Kepanikan meledak. Para preman yang tadinya predator, kini menjadi mangsa.
Dari setiap sudut kegelapan, munculah sosok-sosok berpakaian hitam. Mereka tidak bersenjata api, tetapi bergerak dengan efisiensi yang mengerikan. Setiap serangan adalah kuncian, setiap pukulan menargetkan titik-titik lemah. Pertarungan itu bahkan tidak bisa disebut pertarungan. Itu lebih mirip pembantaian yang sunyi. Dalam waktu kurang dari dua menit, semua preman bayaran itu tergeletak di tanah, diikat dengan keahlian yang jauh melampaui kemampuan satpam biasa.
Salah satu sosok berpakaian hitam itu mengambil sebuah ponsel, memotret para preman yang tertangkap, lalu mengirimkannya.
Di rumah keluarga Tremaine, Jay masih terjaga di ruang kerja, menatap laptopnya. Ponsel tuanya bergetar. Sebuah pesan masuk.
Isinya adalah sebuah foto: belasan preman berwajah babak belur, berlutut di tanah dengan tangan terikat di belakang punggung. Di bawah foto itu, ada satu baris teks:
"Serigala sudah masuk kandang, Tuan Muda. Mereka mengaku dikirim oleh seorang manajer bernama Hartono."
Jay menatap foto itu, matanya yang biasanya tenang kini memancarkan kilau yang dingin dan berbahaya.
Elara, yang tidak bisa tidur, berjalan keluar kamar dan melihat cahaya dari ruang kerja. Ia masuk dan melihat suaminya menatap ponselnya dengan ekspresi yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
"Ada masalah, Jay?" tanyanya cemas.
Tanpa berkata apa-apa, Jay menunjukkan layar ponselnya pada Elara.
Elara tersentak, menutup mulutnya dengan tangan. "Ini... orang-orang ini..."
"Ini adalah bukti," kata Jay, suaranya pelan namun mengandung beban yang berat. "Suryo Wijoyo telah membuat kesalahan terbesar dalam hidupnya."
Ia mematikan layar ponselnya dan menatap istrinya. "Dia pikir ini hanya pertarungan bisnis. Sekarang, ini menjadi pertarungan dengan peraturanku."
Malam itu, Elara sadar sepenuhnya. Pria yang dinikahinya bukanlah sekadar seorang jenius yang tersembunyi. Di balik ketenangannya, bersemayam seekor naga yang baru saja dibangunkan dari tidurnya. Dan naga itu, kini siap untuk membakar musuh-musuhnya sampai menjadi abu.