Sebuah kota dilanda teror pembunuh berantai yang misterius.
Dante Connor, seorang pria tampan dan cerdas, menyembunyikan rahasia gelap: dia adalah salah satu dari pembunuh berantai itu.
Tapi, Dante hanya membunuh para pendosa yang lolos dari hukum.
Sementara itu, adiknya, Nadia Connor, seorang detektif cantik dan pintar, ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuh berantai ini.
Nadia semakin dekat dengan kebenaran.
Ketika Nadia menemukan petunjuk yang mengarah ke Dante, dia harus memilih: menangkap Dante atau membiarkannya terus membunuh para pendosa...
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui Nadia: pembunuh berantai sebenarnya sedang berusaha menculiknya untuk dijadikan salah satu korbannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dev_riel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ciuman Pertama Dante!!!
"Untuk apa dia lakukan ini?" Gumam Alejandro lirih.
Aku menghela nafas. "Bereksperimen, mencoba menemukan cara yang tepat." Jawabku spontan.
Aku pandangi tulang itu sampai akhirnya sadar sedang dipelototi Alejandro dengan tatapan aneh.
"Seperti bocah bermain-main dengan makanan di piring." Begitu yang aku gambarkan pada Abigail saat kembali ke mobil.
"Ya, Tuhan. Mengerikan sekali." Desah Abigail.
"Mungkin lebih tepat disebut keji."
"Bisa-bisanya kamu bercanda soal ini, Dante?"
Aku tersenyum menenangkan. "Di bidang pekerjaanku, mau tidak mau orang jadi terbiasa. Cenderung melucu untuk menyembunyikan perasaan sebenarnya."
"Syukurlah. Aku harap maniak itu segera ditangkap."
Terbayang jejeran potongan tubuh itu, variasi pola potongan, indahnya ketiadaan darah. "Tidak sesegera itu." Aku bergumam.
"Apa kamu bilang?"
"Aku bilang, rasanya tidak akan secepat itu dia tertangkap. Si pembunuh luar biasa cerdas, sementara Detektif yang menangani lebih tertarik bermain politik kantor ketimbang memecahkan kasus."
Dia menatapku, hendak memastikan apakah aku bercanda. Lalu duduk tenang tanpa berkomentar sementara kami melaju ke Selatan jalan tol. Abigail baru bicara saat tiba di daerah rumahnya.
"Aku tidak akan pernah terbiasa melihat... apa namanya itu... sisi gelap realita? Bagaimana sesungguhnya dunia ini berputar? Seperti cara pandang kamu tadi." Akhirnya dia berkata.
Ucapan Abigail tadi membuat aku kaget. Selama diam tadi aku gunakan waktu untuk memikirkan betapa indahnya potongan tubuh tadi.
Benakku lapar seputar gambaran potongan yang terpotong rapi dan kering. Observasi Abigail begitu mengejutkan sampai aku gagal semenit. Akhirnya aku berkata, "Maksud kamu?"
"Aku... entahlah. Hanya... selama ini kan kita berasumsi bahwa... segala sesuatu di dunia ini berjalan baik-baik aja. Sebagaimana mestinya? Ternyata tidak demikian. Selalu ada sisi yang lebih... apa namanya... gelap? Lebih manusiawi. Seperti ini, misalnya. Aku berpikir bahwa yang namanya Detektif pasti ingin menangkap si pembunuh. Itu tugas kalian kan? Tidak pernah terbayang sebelumnya kalau hal ini bisa dipolitisir."
"Hampir semua hal bisa dipolitisir, sayang." Jawabku. Aku membelokkan mobil di jalan masuk kompleks perumahan Abigail.
"Tapi kamu, kamu memulai persepsi justru dari situ. Kebanyakan orang tidak akan berpikir sejauh itu."
"Aku tidak sekejam itu, Abigail." Kataku lagi sambil memarkir mobil.
"Rasanya seperti... segalanya hadir dengan dua wajah. Wajah yang kita jalani dalam kepura-puraan agar tampak normal, dan wajah lain yang memaparkan realita asli. Kamu sadar hal ini dan malah disikapi seperti permainan."
Aku tidak paham maksud bicaranya. Pasrah saja pasang kuping sementara pikiran melayang ke TKP. Oh... betapa bersih nya potongan daging itu, kualitas improvisasi pola potongan, ketiadaan darah sama sekali...
Aku cium dia.
Entah siapa di antara kami yang lebih kaget. Sama sekali bukan hal yang aku lakukan atas dasar niat. Dan yang pasti bukan karena parfumnya. Tapi kulumat bibirnya lama sekali.
Abigail mendorong menjauh.
"Jangan... aku... jangan, Dante."
"Baik." Kataku. Masih syok dengan perbuatan sendiri.
"Aku tidak mau... aku belum siap untuk... Berengsek kamu, DANTE." Dia hampir menangis. Abigail melepas sabuk pengaman, membuka pintu mobil, berlari masuk rumah.
Astaga, pikirku. Apa yang aku lakukan tadi?
Aku sadar mestinya aku merenungi peristiwa ini. Bahkan mungkin sedikit kecewa telah menghancurkan samaran yang telah aku bangun dan aku jaga susah payah selama satu setengah tahun.
Tapi yang terpikir malah jejeran potongan tubuh.
Tidak ada darah.
Tidak ada darah sama sekali.
* * *
Tubuh ini terentang seperti mauku. Kedua tangan dan kaki sudah diamankan, mulut sudah disumpal plester agar tidak berisik dan tidak mengotori area kerja. Tangan dengan stabil memegang pisau sampai aku yakin pesta kali ini bakal nikmat dan memuaskan...
Kecuali fakta bahwa ini sama sekali bukan pisau, tapi semacam...
Ini juga bukan tanganku. Meski tanganku terasa bergerak bersama tangan itu, tapi bukan tanganku yang memegang pisau. Ruangan ini juga kecil... begitu sempit, tapi masuk akal karena... apa?
Dan sekarang aku di sini, melayang di atas ruangan kerja sempurna nan sempit, lengkap dengan korban. Sontak aku juga merasakan kesiuran angin dingin di sekeliling, bahkan sampai menembus tubuh.
Andai bisa merasakan gigi, pasti sedang gemeletuk gemetar. Tanganku yang bergerak dalam irama sempurna bersama tangan itu baik ke atas, lalu melengkung ke belakang hendak memotong...
Aku terbangun di apartemenku sendiri. Berdiri, entah bagaimana, di depan. Bertelanjang bulat. Kalau mimpi berjalan, aku paham. Tapi mimpi telanjang? Yang benar saja.
Aku kembali ke pelukan ranjang. Selimut tergulung di lantai. AC mendengung di suhu lima belas derajat celcius. Aku sendiri yang menyetel demikian semalam, setelah kelelahan melewati episode Abigail.
Sungguh tidak masuk akal, Dante, sang penjahat cinta, mencuri cium. Aku mandi di bawah pancuran air hangat lama sekali setibanya dirumah.
Aku tidak pernah mengingat mimpi dan tidak pernah menganggap penting jika iya. Jadi cukup konyol kalau mimpi yang satu ini malah terus teringat.
Aku pernah membaca buku mengenai ini. Mungkin lantaran yakin tidak akan pernah mengalami. Manusia memang makhluk menakjubkan buat aku.
Aku tau simbolismenya ; melayang adalah bentuk lain terbang, berarti seks. Dan pisau itu...
Bangun, Dante!
Pasti cuma mimpi. Tidak berarti apa pun.
Ponselku berdering. Aku kaget setengah mati.
"Mau sarapan di Chaplin? Aku traktir." Sapa Nadia di seberang sana.
"Ini sabtu lagi, tidak mungkin dapat meja." Jawabku malas.
"Aku ke sana duluan. Memesan tempat. Sampai ketemu di sana." Sahut Nadia.
Restoran Chaplin di pantai Shadowfall City yang sering aku datangi dengan keluargaku, kami selalu makan di sana. Terutama di acara khusus.
Entah kenapa Nadia berpikir bahwa hari ini terhitung khusus.
Aku pun mandi, berganti pakaian kasual terbaik dan berkendara ke Pantai Shadowfall City. Tidak lama kemudian aku sudah berdesak ria dengan pengunjung Chaplin.
Sesuai janji, Nadia sukses mendapatkan meja pojok. Sedang bercakap-cakap dengan pelayan, seorang wanita yang bahkan aku kenal.
"Rose, sayangku!" Ujarku sok akrab.
"Dante." Jawab rose lalu kembali ke dapur.
"Sepertinya dia suka padaku." Kataku pada Nadia.
"Harusnya begitu. Bagaimana kencanmu semalam?"
"Menyenangkan. Mestinya kamu juga." Jawabku.
"Ckckck," decah Nadia.
"Kamu tidak mungkin menghabiskan waktu tiap malam menguntit jejak Pembunuh dengan pakaian dalam, Nad. Kamu juga butuh kehidupan sosial sendiri."
"Aku butuh transfer. Ke Bagian Pembunuhan. Setelah itu baru kita bicara soal lain." Geramnya padaku.
"Iya, iya. Aku mengerti. Lagi pula bagus juga ya kalau anak-anakmu nanti berbangga hati, 'Ibuku di Bagian Pembunuhan!'"
"Dante, jangan bercanda terus, dong!"
"Itu pikiran wajar, Nad. Apa salah ingin punya keponakan? Kenapa tidak, hayo?"
Nadia mendesah panjang. "Aku pikir ibu sudah wafat. Omongan kamu persis seperti ibu."
"Aku sedang jadi mediator. Penyambung lidah beliau." Sahutku.