Bayinya tak selamat, suaminya tega berkhianat, bahkan ia diusir dan dikirim ke rumah sakit jiwa oleh Ibu mertua.
Namun takdir membawa Sahira ke jalan yang tak terduga. Ia menjadi Ibu Susu untuk bayi seorang mafia berhati dingin. Di sana, Sahira bertemu Zandereo Raymond, Bos Mafia beristri yang mulai tertarik kepadanya.
Di tengah dendam yang membara, mampukah Sahira bangkit dan membalas sakit hatinya? Atau akankah ia terjebak dalam pesona pria yang seharusnya tak ia cintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16 Memang Tidak Berguna
Sahira membuka matanya cepat saat pintu kamarnya diketuk. Di sana, berdiri Nyonya Mauren.
“Nyonya, ada apa?” tanya Sahira, berusaha keras agar Mauren tidak menyadari bekas air mata di wajahnya. “Apa asinya kurang?”
Mauren menggeleng. “Saya mau ajak kau periksa anakmu, Sahira. Tadi Papanya Zander telepon Dokter. Sekarang Dokternya ada di kamar cucuku,” jelas Mauren, jemarinya bermain lembut dengan tangan mungil Baby Zaena yang ada di dada Sahira.
Sahira terkejut. Kenapa Nenek Baby Zee sendiri yang datang memanggilnya, bukan pelayan lain?
“Terima kasih, Nyonya. Tapi anakku baik-baik saja,” tolak Sahira dengan halus.
“Sahira, kemarin kau terluka, anakmu juga hampir dilukai. Saya tidak bisa tidur tenang kalau anakmu tidak diperiksa juga.” Mauren sedikit memaksa.
Sahira menunduk, batinnya bergejolak. Jika aku ke sana, aku pasti akan bertemu Balchia atau Zander lagi. Ia ragu.
“Ba-baiklah, Nyonya. Saya akan ke sana nanti. Tapi saya harus beres-beres kamar dulu,” Sahira terpaksa mengiyakan, daripada Mauren marah.
Mauren tersenyum, mengusap pipi Baby Zaena dengan lembut sebelum pergi.
Setelah selesai membersihkan kamar dan mengganti popok bayi, seseorang kembali mengetuk pintu. Sahira sedikit takut, tapi pembantu yang datang kali ini tampak baik dan ceria.
“Mbak Sahira, Tuan Raymond memanggilmu,” ucap pembantu itu dengan senyum manis.
Tuan Raymond? Hati Sahira mencelos, ketakutan kembali merayap.
Mau tak mau, Sahira mengikuti pembantu itu. Di tengah jalan, mereka berpapasan dengan Zander dan Balchia yang hendak menuju kamar Baby Zee. Zander menatap Sahira, tapi Sahira dengan cepat menunduk dan buru-buru mengejar pembantu di depannya.
Zander mengulurkan tangan, ingin menahan Sahira, tapi tangannya malah dirangkul Balchia. “Zan, ayo ke kamar anak kita. Ibu sama Ayah pasti sudah menunggu di sana.” Dengan paksa, Balchia menarik Zander pergi.
Dalam perjalanan menuju ruang Raymond, Sahira mencoba menenangkan diri. Ia sudah lepas dari Rames, tapi kini ia tak sengaja bertemu cinta masa lalunya, dan sekarang harus berhadapan dengan Raymond, pria yang paling menakutkan.
“Kira-kira untuk apa Tuan Raymond memanggil saya?” tanya Sahira kepada pembantu itu.
“Saya juga tidak tahu, Mbak,” jawabnya.
Sahira makin gelisah dan takut.
“Permisi, Tuan,” pembantu itu mengetuk pintu. Raymond yang duduk di sofa menoleh, tatapan matanya tajam dan suaranya berat.
“Masuklah!”
Pembantu dan Sahira masuk. Sahira hendak duduk, tapi Raymond langsung membentaknya. “Hai, siapa suruh kau duduk?”
“Ma-maaf, Tuan,” ucap Sahira, kembali berdiri tegak di dekat pembantu, sambil berbisik menenangkan Baby Zaena.
“Cih, belum lama bekerja sudah kurang ajar.” Raymond mendengus kesal.
“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak akan ulangi lagi,” ucap Sahira sabar.
Lalu perhatian Sahira terpaku pada sebuah amplop di atas meja. Situasi ini serasa dejavu, mengingatkannya pada Balchia. 'Apa dia mau menyogokku juga agar aku pergi dari sini?'
“Ambil itu, tapi kau harus bekerja untukku,” ucap Raymond, menyilangkan tangan di dada, seperti seorang raja.
“Maksudnya, Tuan?” Sahira tidak mengerti.
Raymond menghela napas. Ia meminta Sahira untuk memberinya saran bagaimana cara membuat Zander menyayangi anaknya, atau lebih jauh lagi, membantu Zander mencintai Balchia.
“Maaf, Saya tidak bisa,” tolak Sahira, menunduk cemas. Ia tak mau lagi terlibat dengan Zander.
“Kenapa? Kau tak suka uangku?” Raymond bingung. Semua orang yang bekerja di rumah itu menginginkan uangnya, tapi Sahira berbeda.
“Itu… jangankan membuat rumah tangga cucu Anda bahagia, rumah tangga saya saja sudah hancur. Saya bukan orang yang mampu memperbaiki hubungan orang lain, Tuan.”
Raymond mengangguk, baru tahu Sahira seorang janda. “Kamu memang tidak berguna. Pantas suamimu pergi.”
Kata-kata tajam itu menusuk hati Sahira. Mau Balchia atau Raymond, keduanya sama-sama kejam.
“Ya sudah, keluar sana!” usir Raymond.
Raymond bangkit, hendak ke tempat tidurnya, tapi tiba-tiba ia terjatuh berlutut, batuk-batuk. Tongkatnya terlempar jauh.
“Tuan?!” Sahira menyerahkan Baby Zaena kepada pembantu, lalu dengan cepat mendekati Raymond.
“Anda baik-baik saja, Tuan?” tanya Sahira, memberinya segelas air. Ia membantu Raymond berdiri dan mengambil tongkatnya di bawah tempat tidur.
Tindakan Sahira yang cekatan itu membuat Raymond terkesima. Ia pikir Sahira akan mengabaikannya, tapi wanita itu justru membantunya. Sahira begitu baik, meskipun sudah dicaci maki.
“Hm, saya baik-baik saja, terima kasih,” ucap Raymond, suaranya dingin, namun ada nada tulus di dalamnya.
Degh.
Sahira tersentak. Meskipun kalimat itu sederhana, ia merasa senang. Ia membungkuk hormat, lalu keluar bersama pembantu itu menuju kamar Baby Zee.
“Mbak, sepertinya Tuan besar mulai menerima Anda bekerja di sini,” kata pembantu itu. “Tuan besar sangat jarang berterima kasih. Anda sangat beruntung.”
Sahira mengangguk, merasa masa depannya mungkin akan cerah. Namun, senyum di wajahnya memudar begitu matanya bertemu pandang dengan Zander.
Cepat-cepat, Sahira menunduk agar Balchia di samping Zander tidak mengamuk. Tapi Balchia justru berlari mendekatinya.
“Sahira, kau dari mana saja? Kenapa lama sekali? Dokternya sudah pergi, lho. Kasihan anakmu tidak sempat diperiksa,” ucapnya dengan senyum palsu. “Tapi kamu tidak usah sedih, minggu depan Dokternya datang lagi.”
Daren dan Mauren yang melihatnya saling bertatapan, senang akan perubahan menantu mereka.
“Oh ya, Ma, Pa, hari ini Zander akhirnya mau menemaniku ke rumah sakit. Iya kan, sayang?” Balchia beralih ke Zander, bersikap manja, berharap Sahira cemburu. Tapi Sahira hanya membuang muka.
“Ya, cuma kali ini,” jawab Zander, matanya tetap tertuju pada Sahira.
“Zan, Chia, Mama senang sekali melihat kalian akur. Besok-besok kalian berdua harus lebih lekat lagi ya, seperti kami,” canda Mauren sambil menepuk pundak Daren.
“Ya sudah, kita pergi dulu, Ma. Ayo suamiku!” ajak Balchia, menarik Zander.
Sahira semakin menunduk, sementara Zander merasakan sakit di hatinya karena Sahira tak mau melihatnya.
“Duh, Ma. Punggung Papa pegal-pegal nih, Mama pijitin Papa coba,” rengek Daren manja. Mauren tertawa kecil, lalu mengajak suaminya ke kamar.
Sahira, kini sendirian, menatap Baby Zee. Ia duduk di sebelahnya. “Kau beruntung sekali, anak manis. Ibu dan Ayahmu saling mencintai. Tak seperti Ayah Baby Zaena yang tak mencintai ibunya sendiri,” lirih Sahira, menatap sendu putri kecilnya.
“Zan, kau mau ke mana?” tanya Balchia, terkejut melihat Zander berbalik.
“Aku lupa ambil HP di kamar. Kau tunggu dulu di sini.” Zander berlari ke kamarnya, tapi ponselnya tidak ada. Ia pun bergegas ke kamar Baby Zee dan menemukannya.
Namun, ia terpaku. Sahira terlelap di samping Baby Zee yang sedang menyusu. Mata Zander terpaku pada belahan dada Sahira. Ia mendekat, menatap lekat-lekat wajah cantik Sahira yang tenang. Zander membungkuk, mendaratkan kecupan lembut di kening Sahira. Tanpa ia sadari, seorang pembantu yang kebetulan lewat di depan pintu melihatnya. Pembantu itu segera pergi sebelum Zander menyadarinya.
_______
Like, komen, Vote, subscribe 🌹
nanti tuh cebong berenang ria di rahim istri mu kamu ga percaya zan
Duda di t inggal mati rupa ny... 😁😁😁
makaberhati2 lah Sahira
fasar hokang jaya