NovelToon NovelToon
PULAU HANTU

PULAU HANTU

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Horror Thriller-Horror / Iblis / Keluarga / Tumbal
Popularitas:871
Nilai: 5
Nama Author: ilalangbuana

Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

upaya melarikan diri

Kabut mulai turun sejak pagi buta, tebal dan dingin seperti kapas lembap yang menyelimuti seluruh lembah.

Suara serangga dan burung yang biasanya terdengar samar kini lenyap, menyisakan keheningan yang tidak wajar.

Hanya bunyi napas berat para penyintas yang terdengar, terputus-putus oleh rasa lelah dan takut.

Pak Jono memandangi tebing-tebing tinggi yang mengurung mereka.

“Rahmat, kita nggak bisa di sini terus...tempat ini bikin aku gila!”

ucapnya pelan tapi tegas.

Tangannya yang penuh bekas luka bergetar, bukan hanya karena hawa dingin, tapi karena bayangan mimpi buruk yang terus menghantui.

Kapten Rahmat duduk di atas batu, wajahnya pucat, tatapannya kosong menembus kabut.

“Kita nggak akan ninggalin Gilang sendirian di sini. Kalau dia masih hidup, aku harus temuin dia.”

Pak Jono menghela napas panjang, suaranya meninggi.

“Kau lihat sendiri kemarin! Gilang....tubuh gilang dibawa ke altar itu. Aku bahkan nggak yakin dia masih....”

“Diam, Jono!”

potong Kapten Rahmat dengan nada tajam. Matanya menyala, seolah menolak kenyataan.

“Selama aku belum pastikan sekali lagi,kalau dia sudah mati, aku nggak akan pergi.”

Ketegangan di antara mereka membuat beberapa anggota suku yang ikut bersembunyi menatap cemas.

Mereka tahu, setiap menit yang terbuang berarti semakin besar risiko terjebak di lembah ini selamanya.

Pak Jono mendekat, menunduk sedikit agar suaranya hanya terdengar oleh Rahmat.

“Kalau kita tetap di sini, kita semua bakal mati. Kau pikir kabut ini normal? Kau nggak lihat sendiri semalam? Bayangan-bayangan itu....suara tangisan..

mereka bukan manusia, Rahmat.”

Kapten Rahmat menggenggam lututnya, rahangnya mengeras.

Lalu hening.

Detik-detik berjalan panjang seperti satu jam. Akhirnya, ia menghela napas berat, menyerah pada kenyataan.

“Baik....kita keluar dari sini. Tapi kalau kita ketemu Gilang di jalan, kita bawa dia.”

Pak Jono hanya mengangguk. Kesepakatan yang rapuh, tapi setidaknya mereka kini sepakat melangkah.

Mereka mulai mendaki jalur setapak yang ditemukan oleh salah satu lelaki suku, jalur itu menanjak mengikuti aliran anak sungai yang menghilang di balik kabut.

Awalnya jalannya lebar, namun semakin ke atas, tanah menjadi licin dan bebatuan tertutup lumut.

Kabut semakin tebal.

Saking pekatnya, jarak pandang mereka hanya beberapa meter.

Setiap bayangan terasa seperti sosok yang mengintai, membuat semua orang waspada. Beberapa kali Pak Jono merasa seperti ada langkah kaki lain di belakang mereka, tapi setiap ia menoleh, hanya ada kabut yang menggantung.

“Jangan berpencar!”

perintah Kapten Rahmat, suaranya bergetar sedikit.

“Ikuti tali ini, jangan sampai lepas.”

Mereka mengikatkan tali rotan panjang yang dipegang masing-masing, sebuah cara agar tak terpisah di tengah kabut. Suara hujan rintik mulai terdengar, membasahi pakaian tipis mereka.

Tiba-tiba, suara aneh terdengar dari sisi kiri jalur suara bisikan, seperti seseorang memanggil nama mereka, pelan tapi jelas.

“Jono...Jo..no...!”

Pak Jono berhenti sejenak, menatap ke arah suara itu. Dari balik kabut, samar terlihat sosok Gilang, basah kuyup, melambaikan tangan. “Gil...”

Namun Rahmat langsung menarik lengannya. “Bukan dia!”

teriaknya pelan tapi tegas.

“Jangan lihat! Terus jalan!”

Pak Jono terpaku.

Sosok itu sudah menghilang. Hanya kabut yang menutup pandangan.

Perjalanan semakin berat.

Beberapa kali mereka berhenti untuk mengatur napas.

salah satu lelaki suku yang berjalan di depan mengeluh lapar dan ingin mencari sesuatu untuk dimakan.

Kapten Rahmat melarangnya keras, tapi orang itu tetap nekat berjalan sedikit ke samping jalur.

Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Ia tak kembali.

“Dia kemana?”

tanya Pak Jono cemas.

Kapten Rahmat memutuskan mengirim satu orang lagi untuk mencari.

Namun, keheningan kembali menyelimuti. Satu jam kemudian, dua orang itu tak kunjung kembali, dan yang mereka temukan hanyalah jejak kaki mereka di tanah basah.

jejak itu berhenti di depan sebuah batu besar yang dipenuhi pahatan aneh, seperti wajah manusia yang menyeringai.

“Ini....bukan tempat biasa,”

gumam Pak Jono, tenggorokannya kering.

Saat mereka mencoba memutar arah untuk mencari jalur lain, mereka terkejut,jalur yang tadi mereka lalui sudah tidak sama. Pohon-pohon berubah bentuk, akar-akar besar seolah bergeser menutup jalan.

Pak Jono mulai sadar, mereka terjebak dalam lingkaran yang sama, berjalan memutar tanpa henti.

“Rahmat....kita ini kayak dipermainkan,” ucapnya lirih.

Kapten Rahmat menatap sekeliling, napasnya mulai memburu.

“Kita istirahat sebentar. Malam ini kita tidur bergantian, besok kita coba arah lain.”

Namun, tak ada yang berani benar-benar tidur nyenyak. Dari kejauhan, terdengar suara langkah....tapi langkah itu tak pernah mendekat atau menjauh.

Seolah sesuatu sedang menunggu waktu yang tepat untuk menunjukkan dirinya.

Malam merayap perlahan, membawa hawa yang semakin dingin.

Kabut yang semula menggantung di bawah tebing kini turun menyelimuti perkemahan kecil mereka.

Api unggun yang mereka buat dari ranting basah nyaris tak memberi hangat.

Asapnya malah membuat mata perih.

Pak Jono duduk bersandar pada batu besar, matanya menerawang.

Kapten Rahmat sibuk mengasah sebilah pisau tumpul dengan batu, gerakannya monoton, seperti orang yang hanya butuh sesuatu untuk tetap fokus.

“Tidurlah, Jono. Aku yang jaga,"

ucap Rahmat tanpa menoleh.

“Aku nggak bisa tidur,”

jawab Pak Jono pelan.

“Setiap aku pejamkan mata, aku dengar suara mereka. Aldi, Seno....Gilang...”

Rahmat berhenti mengasah pisau. Diam beberapa detik, lalu berbisik,

“Aku juga dengar.”

Mereka saling pandang.Tak ada kata yang bisa menghapus rasa takut itu.

Sekitar tengah malam, kabut semakin tebal, begitu pekat sampai api unggun pun tampak seperti cahaya lilin yang terbungkus kain. Lalu, suara itu datang.

Bukan hanya bisikan kali ini,tetapi nyanyian rendah, seirama, dari banyak suara.

Pak Jono menelan ludah.

“Kau dengar?”

Rahmat mengangguk.

“Jangan bergerak. Jangan jawab.”

Namun, salah satu lelaki suku yang tersisa tak mampu menahan rasa penasarannya.

Ia berdiri, berjalan perlahan ke arah suara itu. Pak Jono mencoba menahannya, tapi telat. Dalam kabut, sosok lelaki itu menghilang seperti tertelan bayangan.

Sesaat kemudian, suara jeritan tajam menggema, lalu terputus mendadak.

Semua orang terdiam. Tak ada yang berani bicara. Hanya detak jantung yang terdengar di telinga masing-masing.

Pagi berikutnya, mereka mencoba lagi mendaki keluar.

Namun anehnya, jalur yang mereka ambil kemarin seolah berubah.

Pohon yang mereka ikat dengan potongan kain sebagai penanda tak lagi berada di tempat yang sama. Pak Jono mulai merasa seolah hutan ini bergerak.

Mereka berjalan berjam-jam, tetapi ujungnya kembali tiba di batu besar yang sama,batu dengan pahatan wajah menyeringai. Kini pahatan itu tampak basah, seperti baru saja ‘diberi makan’.

Rahmat menendang batu itu frustasi. “Sialan!”

Pak Jono menatap batu itu lama, lalu berkata,

“Tempat ini nggak mau kita pergi.”

Saat mereka beristirahat, salah satu dari dua lelaki suku yang tersisa izin buang air.

Lima belas menit berlalu, ia tak kembali. Kapten Rahmat mengangkat senjata tajamnya dan mengajak satu orang lagi mencari.

Tapi yang mereka temukan hanya sisa kain yang robek di semak, dan bercak darah di tanah.

Tak ada tubuh.

Tak ada jejak ke mana ia dibawa.

Pak Jono mulai merasakan tekanan di dadanya.

Jumlah mereka kini tinggal lima orang: dirinya, Rahmat, dan tiga penduduk suku.

Di sela perjalanan yang membuat napas mereka berat, Rahmat tiba-tiba berhenti.

Ia menatap Pak Jono lama, lalu berkata lirih,

“Aku nggak pernah cerita ini ke kamu.”

Pak Jono menoleh, menunggu.

“Malam sebelum Gilang dibawa ke altar, dia datang ke aku. Dia bilang...kalau sesuatu terjadi padanya, jangan buang nyawa untuk menyelamatkan dia. Dia bilang dia sudah capek, Jono. Capek lari....capek sembunyi...dia lebih baik mati cepat daripada mati perlahan.”

Pak Jono terdiam. Kata-kata itu menghantam keras. Ia tak pernah membayangkan Gilang yang keras kepala akan menyerah.

Kabut malam itu lebih pekat dari biasanya. Api unggun tak bisa dinyalakan, kayu yang mereka temukan terlalu basah.

Mereka duduk berdekatan, mendengar suara hujan menetes dari dedaunan besar di atas.

Pak Jono mulai merasa kantuk, tapi terbangun saat menyadari Rahmat duduk diam, menatap ke satu arah di kabut.

“Apa itu?"

tanya Jono.

Rahmat tak menjawab, hanya menunjuk. Samar terlihat sosok Gilang berdiri di ujung pandangan.

Ia tersenyum, senyum yang aneh, terlalu lebar,lalu memanggil pelan,

“Ayo pulang...!”

Rahmat berdiri, hampir saja melangkah, tapi Jono menariknya keras.

“Itu bukan Gilang!”

bisiknya.

Sosok itu perlahan memudar, digantikan oleh suara tangisan yang mengitari mereka dari segala arah.

Menjelang subuh, Rahmat dan Jono duduk di bawah pohon besar.

Hujan berhenti, tapi kabut masih menyelimuti.

“Jono...kalau kita nggak keluar dari sini, sampaikan sama anakku...bilang ayahnya nggak menyerah,"

ucap Rahmat dengan suara serak.

Jono menatapnya lama.

“Jangan bicara begitu. Kita pasti keluar sama-sama!”

Rahmat menunduk, menghela napas panjang.

“Kadang, aku rasa pulang itu cuma mimpi, Jon..”

Pak Jono tak menjawab. Ia hanya menatap ke kabut, berharap di balik sana ada jalur keluar...meski hatinya mulai meragukan.

1
juwita
kasihan pak jono demi keluarga jd terdampar di pulau hantu. smoga bisa cpt kembali ke keluarganya
juwita
cerita nya bagus mengisahkan perjuangan se org ayah buat anak dn istrinya biar bisa hidup terjamin. rela berjauhan dgn bahaya menantang maut demi keluarga di jalani semoga perjuangannya g sia sia. happy ending
Ananda Emira
semakin seru
Killspree
Memukau dari awal hingga akhir
♞ ;3
Jalan ceritanya keren, endingnya bikin nagih!
ilalangbuana: terima kasih atas masukannya,!!
admin masih dalam tahap belajar.. semoga kedepannya karya ku bisa lebih baik lagi dalam penulisannya ataupun alur ceritanya☺
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!