NovelToon NovelToon
Belenggu Ratu Mafia

Belenggu Ratu Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Romansa Fantasi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia / Fantasi Wanita / Dark Romance
Popularitas:205
Nilai: 5
Nama Author: Mr. Nanas

Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.

"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.

"Ya, Bos?"

Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.

"Lupakan steaknya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.

"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Memburu Hantu

Sumpah Leo menggantung di udara ruangan medis yang steril itu, lebih tajam dari pisau bedah, lebih dingin dari baja tahan karat. "Aku tidak akan berhenti sampai aku membawakannya jantung si penembak jitu itu sebagai hadiah untukmu."

Itu bukan lagi sumpah seorang ahli strategi yang menghitung untung-rugi. Itu adalah pernyataan seorang pemburu yang telah menemukan satu-satunya mangsa di dunianya. Kemenangan melawan Viktor Rostova terasa seperti prolog yang jauh dan tidak penting. Perang yang sesungguhnya, perang yang paling personal, baru saja dimulai.

Dalam beberapa jam berikutnya, Empress Tower berubah. Suasana kemenangan yang singkat telah lenyap, digantikan oleh efisiensi yang dingin dan terfokus dari sebuah sarang predator. Leo, dengan restu diam dari Isabella yang terbaring lemah, mengambil alih komando absolut. Wajahnya yang biasanya ekspresif kini menjadi topeng granit yang tenang, matanya yang hangat kini menjadi kepingan es yang menganalisis setiap data. Para anggota Legiun, yang telah menyaksikan transformasinya dari seorang chef menjadi komandan lapangan, kini melihat evolusi terakhirnya. Mereka tidak lagi hanya menghormatinya, mereka sedikit takut padanya. Alkemis yang bisa menciptakan keajaiban di dapur kini telah membuktikan bahwa ia juga bisa merancang mimpi buruk yang paling mengerikan.

Hari-hari pertama adalah sebuah siksaan dalam keheningan. Isabella memulai jalan pemulihannya yang panjang dan menyakitkan. Ratu yang terbiasa memerintah dengan gerakan tangan, kini harus berjuang hanya untuk duduk tegak di tempat tidur. Setiap napas terasa sakit, setiap gerakan adalah pengingat akan kerapuhannya. Frustrasi membakar di matanya, sebuah api yang terperangkap dalam sangkar tubuhnya yang lemah.

Dan di sisinya, selalu ada Leo.

Ia menjadi dunia Isabella. Pagi hari, ia adalah perawatnya. Dengan kesabaran yang tak terbatas, ia akan menyuapkan kaldu hangat ke bibir Isabella yang pucat, membersihkan lukanya dengan tangan yang sama mantapnya seperti saat ia mengiris sashimi, dan membacakan buku-buku filsafat atau puisi untuknya saat rasa sakit membuatnya tidak bisa tidur. Keintiman di antara mereka berubah bentuk. Itu bukan lagi gairah yang meledak-ledak, melainkan sebuah koneksi yang sunyi dan dalam. Itu adalah keintiman dari ketergantungan total, di mana Isabella harus menyerahkan harga dirinya dan membiarkan Leo merawatnya dalam kondisi paling rentan.

Leo, di sisi lain, menemukan sebuah tujuan baru dalam merawatnya. Setiap sendok sup yang ia berikan adalah sebuah tindakan pembangkangan terhadap peluru sniper itu. Setiap perban yang ia ganti adalah sumpahnya yang diperbarui. Merawat Isabella adalah caranya menebus rasa bersalahnya, caranya menjaga apinya tetap menyala sementara Ratu-nya memulihkan kekuatan.

Namun, begitu ia melangkah keluar dari kamar pemulihan itu dan masuk ke ruang perang, transformasinya begitu total hingga terasa mengerikan. Chef yang lembut itu lenyap tanpa jejak. Di hadapan Bianca, Marco, dan Pak Tirta, ia adalah Komandan Leo, seorang ahli taktik yang dingin dan tanpa ampun.

"Laporannya!" tuntutnya setiap pagi.

Dan setiap pagi, jawabannya sama. "Nihil, Leo," kata Bianca, lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan betapa sedikitnya ia tidur. "Hantu ini lebih bersih dari hantu sungguhan. Tidak ada jejak digital, tidak ada catatan keuangan, tidak ada komunikasi yang bisa disadap. Seolah-olah dia tidak ada."

"Dia ada," balas Leo dingin. "Dia meninggalkan lubang di dada Ratu kita. Itu jejak yang lebih dari cukup. Cari lagi."

Rasa frustrasi mulai menggerogoti tim. Legiun yang baru saja ditempa dan siap bertempur, kini dipaksa untuk diam, menunggu satu nama. Ketegangan memenuhi Empress Tower. Mereka telah memenangkan perang, tetapi kini mereka kalah dalam perburuan melawan bayangan.

Tiga minggu berlalu. Isabella kini sudah bisa duduk di kursi roda, berkeliling di dalam penthouse dengan bantuan Leo. Kekuatan fisiknya kembali perlahan, tetapi api di matanya pulih lebih cepat. Ia muak menjadi pasien. Ia muak melihat Leo menanggung seluruh beban sendirian. Ia muak menjadi ratu yang hanya bisa menonton dari sela-sela.

Suatu sore, saat dewan perang mereka kembali menemui jalan buntu, Isabella akhirnya angkat bicara. Suaranya masih sedikit lemah, tetapi mengandung baja yang familiar.

"Kalian semua bodoh," katanya, membuat semua orang di ruangan itu menoleh padanya.

"Isabella..." mulai Leo, khawatir ia terlalu lelah.

"Diam, Leo," potongnya. "Aku mungkin belum bisa memegang pistol, tapi otakku masih berfungsi." Ia menatap Bianca. "Kau mencari hantu di dunia maya, Bianca. Itu kesalahanmu. Hantu tidak hidup di antara kabel dan data. Hantu hidup di antara bisikan, di antara rumor, di antara kesepakatan-kesepakatan yang dibuat di ruang-ruang gelap."

Ia kemudian menatap Leo. "Dan kau, kau mencoba memburunya dengan logika dan strategi. Kau tidak bisa menyusun strategi melawan sesuatu yang tidak punya bentuk. Kita harus memaksanya untuk menunjukkan wujudnya."

"Bagaimana?" tanya Marco.

Isabella tersenyum, senyum pertamanya yang penuh intrik sejak ia tertembak. "Kita masih punya satu kartu truf yang belum kita mainkan dengan benar. Kita punya Viktor Rostova."

"Viktor tidak akan bicara," kata Pak Tirta. "Aku sudah mencoba."

"Kau mencoba mematahkan semangatnya," kata Isabella. "Aku akan mencoba memainkan egonya. Bawa aku padanya."

Meskipun Leo dan Dr. Aris memprotes, keputusan Isabella sudah final. Dengan Leo mendorong kursi rodanya dan Marco berjalan di belakang sebagai pengawal, Isabella turun ke sel tahanan di mana Viktor mendekam.

Viktor tampak mengenaskan. Jenggotnya mulai tumbuh tidak terawat, matanya yang dulu penuh arogansi kini kusam, tetapi ada kilat kebencian saat melihat Isabella masuk, bahkan dalam kondisinya yang lemah.

"Lihatlah dirimu, Ratu," cibirnya. "Duduk di kursi roda. Sepertinya peluru Jäger lebih efektif daripada seluruh pasukanmu."

Isabella memberi isyarat pada Leo untuk berhenti tepat di depan Viktor. Ia menatap lawannya yang kalah itu, matanya dingin. "Benar, aku terluka, Viktor. Tapi aku masih hidup. Aku masih Ratu. Kerajaanku masih berdiri. Sedangkan kau?" Ia melihat sekeliling sel yang sempit itu. "Kau punya apa? Empat dinding dan penyesalan."

"Aku akan keluar dari sini," geram Viktor.

"Tidak, kau tidak akan," kata Isabella. "Aku akan membunuhmu. Itu sudah pasti. Pertanyaannya bukanlah 'apakah' kau akan mati, tapi 'bagaimana' kau akan dikenang."

Viktor menatapnya dengan bingung.

"Saat ini," lanjut Isabella, suaranya seperti bisikan sutra, "ceritamu akan berakhir di sini. Mati di sel tikus yang lembab, dilupakan oleh dunia. Namamu akan menjadi catatan kaki dalam sejarahku. 'Viktor Rostova, seorang preman bodoh yang mencoba melawan Keluarga Rosales dan gagal total'."

Ia melihat ego Viktor terluka oleh kata-katanya. "Atau..." ia mencondongkan tubuhnya sedikit, "...ada cara lain. Kau bisa dikenang sebagai seorang tiran yang licik, yang bahkan di saat-saat terakhirnya, masih bisa menyebabkan kekacauan. Seorang legenda yang apinya baru padam setelah membakar salah satu pembunuh bayaran terbaik di dunia."

Viktor terdiam, otaknya yang licik mulai bekerja.

"Beri aku cara untuk menemukan Jäger," kata Isabella. "Beri aku satu petunjuk, satu kelemahan, satu ritual yang bisa kami eksploitasi. Sebagai imbalannya, aku akan memberimu kematian yang bersih dan cepat. Dan aku akan memastikan cerita yang bocor ke dunia bawah tanah adalah cerita tentang bagaimana kau mengkhianati pembunuh bayaranmu, menyeretnya ke neraka bersamamu. Sebuah tindakan terakhir yang epik dari seorang Viktor Rostova."

Itu adalah tawaran yang brilian. Tawaran yang tidak menyentuh keserakahan atau rasa takutnya, tetapi langsung ke jantung dari egonya yang sangat besar. Dihadapkan pada pilihan antara dilupakan sebagai seorang pecundang atau dikenang sebagai seorang pengkhianat legendaris, Viktor memilih yang kedua.

Ia tertawa, tawa yang kering dan getir. "Kau benar-benar putri ayahmu, Isabella." Ia menatap Leo, lalu kembali ke Isabella. "Kau tidak akan pernah menemukan Jäger dengan cara biasa. Dia tidak peduli dengan uang lebih dari yang diperlukan. Dia seorang purist. Seorang seniman."

"Setiap seniman punya kelemahan," desak Isabella.

"Benar," kata Viktor. "Kelemahannya adalah ritual. Sebuah obsesi. Ada sejenis Scotch whisky yang sangat langka, Macallan keluaran tahun 1926, edisi terbatas yang hanya ada beberapa lusin botol di dunia. Jäger terobsesi untuk mengoleksi semuanya. Dia menganggapnya sebagai piala dari setiap 'mahakarya' yang ia selesaikan."

"Di mana kami bisa menemukannya?" tanya Leo.

Viktor tersenyum sinis. "Itu bagian yang menyenangkan. Kau tidak bisa menemukannya di toko. Botol seperti itu hanya berpindah tangan di satu tempat, sebuah rumah lelang bawah tanah yang sangat eksklusif di Makau. Tempat para miliarder, syekh, dan para kriminal top dunia berkumpul untuk membeli mainan yang tidak bisa dibeli dengan uang biasa. 'The Gilded Cage', namanya."

"Dia adalah seorang seniman," cibir Viktor lagi, menikmati peran barunya. "Dan setiap seniman punya galeri favoritnya. Cari botolnya, maka kau akan menemukan jejak hantu itu."

Informasi itu mengubah segalanya. Perburuan yang menemui jalan buntu kini memiliki sebuah tujuan: Makau.

Bianca langsung bekerja. Dengan kata kunci "The Gilded Cage" dan "Macallan 1926", ia menyusuri lapisan-lapisan terdalam dari dark web. Dan ia menemukannya. Sebuah lelang rahasia akan diadakan dalam waktu sepuluh hari. Dan benar saja, item puncaknya adalah satu botol Macallan 1926 yang belum pernah dibuka.

Dewan perang berkumpul di sekeliling tempat tidur Isabella, yang kini berfungsi sebagai meja strategi mereka.

"Ini jebakan," kata Marco langsung. "Viktor mungkin mengarang semua ini."

"Mungkin," kata Leo. "Tapi ini satu-satunya jejak yang kita punya. Dan ini sesuai dengan profil psikologis Jäger yang dibuat Pak Tirta: seorang narsisis yang perfeksionis."

"Jadi kita akan menyerbu rumah lelang itu?" tanya Marco.

"Tidak," kata Leo. "Kita akan bermain di permainannya. Jäger adalah seorang kolektor, seorang perfeksionis. Jika seseorang mencoba merebut piala yang sudah ia incar, egonya tidak akan membiarkannya. Ia akan ingin tahu siapa saingannya. Ia akan menyelidiki. Dan saat ia keluar dari bayang-bayang untuk melihat lebih dekat... kita menangkapnya."

Rencananya sederhana dalam kejeniusannya. Leo dan Isabella akan pergi ke Makau. Mereka akan menyamar sebagai pasangan miliarder Eropa yang baru kaya raya, "Mr. and Mrs. Vanderholt". Mereka akan menghadiri lelang itu dengan satu tujuan: memenangkan botol Macallan itu, berapapun harganya. Mereka akan membuat keributan, menarik perhatian, dan memaksa sang hantu untuk menunjukkan dirinya.

Rencana itu disetujui. Dan itu memberikan Isabella tujuan baru yang membakar. Bukan lagi hanya untuk pulih, tetapi untuk menjadi cukup kuat untuk menjalankan misi ini. Hari-harinya kini dipenuhi dengan sesi fisioterapi yang menyakitkan, latihan beban ringan, dan latihan menembak di fasilitas bawah tanah, di mana ia dengan sabar membangun kembali kekuatannya di bawah pengawasan Pak Tirta. Setiap kemajuan didorong oleh api pembalasan dendam.

Leo menyaksikan transformasinya dengan kekaguman. Wanita yang beberapa minggu lalu tidak bisa duduk tegak, kini sudah bisa berjalan dengan sedikit bantuan, matanya kembali berkilat dengan kekuatan seorang Ratu. Keintiman mereka selama masa pemulihannya telah membangun fondasi yang kokoh, dan kini, di atas fondasi itu, gairah mulai tumbuh kembali, lebih kuat dan lebih dalam dari sebelumnya.

Malam sebelum mereka berangkat ke Makau. Isabella telah menyelesaikan sesi latihan terakhirnya. Ia berdiri di tengah ruang latihan, napasnya sedikit terengah, keringat membasahi pelipisnya. Bekas luka di dadanya, yang kini sudah sembuh menjadi garis tipis berwarna merah muda, adalah pengingat permanen akan apa yang telah mereka lalui.

Leo mendekatinya, membawakan sebotol air.

"Aku siap," kata Isabella, suaranya kini kembali kuat.

"Aku tahu," jawab Leo.

Mereka saling menatap dalam keheningan. Semua ketegangan, semua penantian, semua hasrat yang telah mereka pendam selama berminggu-minggu, kini mencapai titik puncaknya. Tidak ada lagi ranjang rumah sakit yang memisahkan mereka. Tidak ada lagi kelemahan. Hanya ada dua orang yang telah melalui neraka bersama dan keluar menjadi satu kesatuan.

Isabella mengambil botol air itu, meneguknya sedikit, lalu meletakkannya. Ia melangkah maju dan melingkarkan lengannya di leher Leo. "Kau telah menjagaku. Kau telah merawatku. Kau telah membawaku kembali dari kematian, sexy chef," bisiknya, suaranya adalah dengkuran rendah yang membuat seluruh tubuh Leo meremang. "Malam ini, biarkan aku berterima kasih."

Ia menariknya ke dalam ciuman. Ciuman itu berbeda. Tidak ada keputusasaan, tidak ada perayaan. Itu adalah sebuah klaim. Sebuah penegasan kembali atas kekuatan dan hasratnya. Ia adalah Sang Ratu, yang telah pulih dan kini mengambil kembali apa yang menjadi miliknya: kerajaannya, pembalasannya, dan pria-nya.

Gairah meledak di antara mereka, sebuah api yang telah lama dipendam. Ia menuntunnya kembali ke kamarnya, ke tempat tidur di mana ia pernah terbaring tak berdaya. Kini, tempat tidur itu akan menjadi panggung penaklukan ulangnya. Adegan cinta mereka malam itu adalah sebuah badai yang dahsyat dan sensual. Isabella, yang telah lama menjadi penerima perawatan, kini menjadi inisiator yang dominan dan penuh gairah. Ia ingin merasakan kembali kehidupan dengan setiap sel di tubuhnya, dan ia ingin melakukannya bersama Leo.

Ia menjelajahi tubuh Leo dengan tangan dan bibirnya, memuja setiap otot dan bekas luka, seolah sedang membaca kembali kisah perjalanan mereka. Leo, pada gilirannya, menyerah pada serangannya yang penuh gairah, menikmati kembalinya sang Ratu yang berapi-api. Gairah mereka adalah sebuah tarian yang liar, di mana dominasi dan penyerahan diri saling berbaur hingga tak bisa dibedakan. Setiap sentuhan adalah percikan listrik, setiap bisikan adalah bahan bakar. "Panas" dari adegan ini bukan hanya tentang fisik, tetapi tentang ledakan emosi yang luar biasa dari dua orang yang hampir kehilangan satu sama lain dan kini bersatu kembali dengan kekuatan penuh. Itu adalah penegasan kembali ikatan mereka yang paling mendasar, sebuah penyegelan sumpah mereka sebelum mereka melangkah ke medan perang berikutnya.

Saat mereka terbaring dalam pelukan satu sama lain setelahnya, terengah-engah dan bersimbah keringat, mereka bukan lagi pasien dan perawat, bukan lagi Ratu dan Jenderalnya. Mereka adalah dua bagian dari satu jiwa, yang telah ditempa, dihancurkan, dan disatukan kembali oleh api.

Keesokan harinya, mereka siap. Transformasi mereka sempurna. Saat mereka berjalan menuju helikopter pribadi di atap Empress Tower, mereka adalah orang yang sama sekali berbeda. Isabella, dalam balutan gaun desainer yang elegan dan kacamata hitam besar, memancarkan aura kekayaan dan kekuasaan Eropa. Leo, dalam setelan jas yang dibuat khusus, tampak seperti pengawal pribadinya yang dingin dan mematikan, matanya tersembunyi di balik kacamata hitam, tidak menunjukkan emosi apa pun.

Pak Tirta, Marco, dan Bianca mengantar mereka.

"Semua aset sudah di tempat di Makau," lapor Bianca. "Identitas baru kalian tidak akan bisa ditembus. Tim pendukung sudah siaga di sana, menyamar sebagai turis."

"Jaga benteng ini," kata Isabella pada Marco dan Pak Tirta. "Dan jaga Viktor. Aku ingin dia masih hidup saat kami kembali."

Mereka melangkah masuk ke dalam helikopter. Saat pintu akan ditutup, Isabella menatap Leo, yang berdiri tegak di sampingnya, wajahnya tanpa ekspresi. Ia merapikan dasi Leo, sebuah gerakan kecil yang intim di tengah persiapan perang mereka. Matanya bertemu dengan mata Leo di pantulan jendela helikopter.

Ia tersenyum, senyum seekor serigala betina yang akan berburu. Suaranya adalah bisikan rendah yang penuh dengan janji berbahaya.

"Siap untuk berburu hantu di kota dosa, sexy chef?"

Leo tidak membalas senyumannya. Matanya yang dingin tertuju pada cakrawala di depan, pada kota Makau yang menunggu mereka.

"Aku tidak datang untuk berburu," jawabnya, suaranya adalah janji pembalasan yang tenang dan mengerikan. "Aku datang untuk mengambil pembayaran. Dengan bunga."

Pintu helikopter menutup, dan mesinnya menderu, mengangkat mereka ke langit, membawa mereka pergi dari Jakarta menuju jantung dari jebakan yang telah mereka siapkan. Perburuan telah resmi dimulai.

1
Letitia
Jangan berhenti menulis, ceritamu bagus banget!
thalexy
Dialognya seperti bicara dengan teman sejati.
Alphonse Elric
Mesti dibaca ulang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!