Kinanti, seorang dokter anak yang cerdas dan lembut, percaya bahwa pernikahannya dengan David, dokter umum yang telah mendampinginya sejak masa koass itu akan berjalan langgeng. Namun, kepercayaan itu hancur perlahan ketika David dikirim ke daerah bencana longsor di kaki Gunung Semeru.
Di sana, David justru menjalin hubungan dengan Naura, adik ipar Kinanti, dokter umum baru yang awalnya hanya mencari bimbingan. Tanpa disadari, hubungan profesional berubah menjadi perselingkuhan yang membara, dan kebohongan mereka terus terjaga hingga Naura dinyatakan hamil.
Namun, Kinanti bukan wanita lemah. Ia akhirnya mencium aroma perselingkuhan itu. Ia menyimpan semua bukti dan luka dalam diam, hingga pada titik ia memilih bangkit, bukan menangis.
Di saat badai melanda rumah tangganya datanglah sosok dr. Rangga Mahardika, pemilik rumah sakit tempat Kinanti bekerja. Pribadi matang dan bijak itu telah lama memperhatikannya. Akankah Kinanti memilih bertahan dari pernikahan atau melepas pernikahan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isti arisandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Bekas cupang di leher.
Malam masih pekat. Angin dari jendela kamar berhembus pelan, menyentuh tirai putih yang bergoyang, Kinanti terbangun karena suara tangisan lirih bayi mungil mereka. Matanya perlahan membuka, tubuhnya masih lemas, namun nalurinya sebagai ibu langsung terjaga. Ia menoleh ke arah ranjang bayi, kosong.
Panik, Kinanti segera bangkit, hanya untuk menemukan pemandangan yang membuat dadanya sesak.
David duduk di sofa, memeluk erat Mauren yang menangis dalam pelukannya. Wajah pria itu tampak suram, mata basahnya memandangi bayi kecil itu dengan sorot yang tak bisa dijelaskan. Antara cinta, beban, dan penyesalan yang mendalam.
“Mas...?” suara Kinanti lirih, nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat David mendongak.
David buru-buru menyeka air matanya, meski sia-sia—Kinanti sudah melihatnya.
“Sayang,” ucap David, bangkit berdiri sambil menggendong Mauren. “Baru aku mau bangunin kamu.”
Kinanti mengambil alih bayinya dengan lembut lalu menatap suaminya penuh tanya. “Mas kenapa?”
David tak langsung menjawab. Ia menunduk, menatap lantai seakan ada jawaban di sana. Namun yang sebenarnya ada hanyalah kekacauan dalam benaknya. Kenyataan yang ia ciptakan sendiri, dan kini menghimpit dadanya setiap kali ia menatap wajah Kinanti.
Kinanti mengamati dengan seksama. Sorot mata David berbeda. Ada lelah, ada sesal, ada sesuatu yang ditahannya keras-keras.
“Mas... ada yang kamu sembunyikan dari aku?” tanya Kinanti pelan.
David menggeleng cepat, terlalu cepat. “Enggak, Sayang. Aku cuma... kepikiran kerjaan. Besok ada presentasi besar, aku gak boleh bolos, sementara kondisi tekanan darah kamu belum stabil.”
Kinanti tahu itu bohong. Ia bisa merasakannya. Tapi untuk malam ini, ia memilih menahan diri. Ia takut jika pertanyaannya justru membuka luka yang belum siap ia hadapi.
Kalau hanya akan ada rapat dengan atasan, kenapa harus seperti itu, kenapa harus menitikkan airmata.
“Aku... semalam bermimpi,” ucap Kinanti tiba-tiba teringat dengan mimpinya.
David menoleh. “Mimpi apa, Sayang?”
Kinanti menghela napas. “Kamu memetik bunga yang sangat indah... Bunga itu kamu genggam dengan senyuman. Aku kira bunga itu untukku, tapi ternyata kamu berikan bunga itu ke Naura. Padahal aku ada di sebelah kamu Mas.”
David membeku. Mertua yang baru masuk pun sama, dia bisa mendengar ucapan Kinanti dan perasaan seorang ibu dan anak itu pasti terikat kuat.
David yang anti keramas dimalam hari pun menjadi tanda tanya besar untuk ibu David.
Kalimat itu bukan sekadar mimpi. Seolah semesta sedang memberi isyarat melalui mimpi istrinya. Dan David, meski tak mengucap sepatah kata pun, tahu benar bahwa bunga itu adalah kesucian pernikahan, dan ia telah menodai bersama Naura.
“Sayang,” ucap David dengan suara serak, “itu cuma bunga tidur. Mungkin kamu sedang lelah, jadi terbawa ke mimpi.”
Kinanti tersenyum kecil, pahit. “Mungkin, Mas...”
Tapi hatinya tahu, mimpi itu terlalu nyata. Terlalu seperti kenyataan.
David menatap istrinya lama. Ia ingin berkata jujur. Ingin menangis di pangkuannya, memohon ampun, dan berkata bahwa semua ini adalah kesalahan yang tak pernah ia rencanakan.
Tapi keberaniannya tenggelam karena kini, Naura tak lagi gadis polos yang bisa dengan mudah ditinggalkan.
Setelah malam itu, setelah batas itu dilewati, Naura tak seperti sebelumnya.
Naura menuntut. Naura mengancam dengan tangis. Naura mencintainya dengan cara yang salah, tapi begitu membara. Ia tahu, dalam pikirannya yang kacau, Naura tak akan tinggal diam jika David menjauhinya begitu saja. Tidak setelah tubuhnya diserahkan. Tidak setelah air mata dan cinta diberi sepenuh hati.
David memejamkan mata. Seandainya ia bisa memutar waktu.
“Mas...” suara Kinanti mengagetkannya.
“Aku cuma minta satu,” lanjut Kinanti pelan.
“Kalau kamu memang merasa ada yang berubah... bilang. Jangan diam. Jangan buat aku menebak-nebak dan luka sendirian.” Kinanti berusaha menebak isi hati suaminya.
“Maksud kamu apa?” David berusaha tetap tenang.
“Perempuan bisa merasakan, Mas. Kalau suaminya sudah berubah, hatinya tahu. Tapi aku masih percaya... kamu bisa kembali. Kalau pun kamu tersesat sebentar, pulanglah. Aku dan Mauren menunggumu.”
David menatap Kinanti, matanya basah lagi.
“Aku minta maaf, aku minta maaf jika akhir ini sikapku berubah, aku hanya banyak pekerjaan saja, Beib." bisiknya.
Kinanti terdiam.
Kata itu, yang biasanya begitu sederhana, kini terasa berat. Terlalu berat. Karena ia tahu, di balik kata ‘maaf’ itu ada dosa besar yang mungkin belum ia dengar sepenuhnya.
Kinanti mendekap Mauren erat-erat, mencoba meredakan gelisah di dadanya.
David mengalihkan pandang. Ia tidak sanggup menatap mata istrinya lebih lama.
“Malam ini aku tidur di sofa ya, Sayang. Biar kamu bisa istirahat penuh.”
Kinanti hanya mengangguk pelan. Tak sanggup berkata apa-apa.
***
Pagi menyambut dengan tenang. Suara adzan telah berkumandang pelan dari kejauhan, menggema lewat sela-sela jendela kamar rumah sakit. Kinanti perlahan membuka mata. Di sampingnya, Mauren masih terlelap dalam dekapan David. Bayi kecil mereka tampak tenang, wajah mungilnya mirip sekali dengan sang ayah—begitu damai, begitu manis.
Setelah mencium kening putrinya, Kinanti bangkit perlahan. Ia mengambil perlengkapan mandi dan masuk ke kamar kecil, membasuh tubuhnya dengan air hangat.
Hari ini dia sudah diperbolehkan pulang, begitulah yang disampaikan dokter semalam. Tapi semua tetap menunggu persetujuan final pagi ini. Dan akan ada dokter umum yang akan memeriksa ulang memastikan semuanya telah baik-baik saja.
Selesai mandi, ia kembali ke ranjang. Suster tengah memandikan Mauren di tempat khusus bayi. Wajah bayi itu kini semakin cerah, bersih, dan benar-benar memancarkan aura seorang putri kecil yang dinanti selama sembilan bulan penuh perjuangan.
Tiba-tiba pintu diketuk, lalu terbuka. Seorang wanita muda berseragam putih masuk dengan map di tangan dan senyum manis menghiasi wajahnya.
"Assalamualaikum... pagi, Mbak Kinan," sapa Naura, dokter muda yang sedang praktek di rumah sakit itu. Wajahnya segar, riasan tipis menghiasi pipinya. "Aku tadi sekalian visite ke pasien, mampir ke sini juga sekalian lihat kondisi Mbak."
"Waalaikumsalam, silakan, Naura," jawab Kinanti ramah.
Naura berjalan mendekat, membuka mapnya. “Dari hasil lab dan pengamatan semalam, semua sudah membaik. Tekanan darah normal, suhu tubuh stabil, dan tidak ada perdarahan lanjutan. InsyaAllah Mbak Kinan sudah bisa pulang siang ini, tinggal tunggu infus habis ya…”
Kinanti mengangguk pelan. Tapi matanya tanpa sadar tertuju pada satu titik di tubuh Naura.
Leher bagian kiri.
Ada bercak kemerahan di sana. Tidak besar, tapi cukup mencolok di kulit cerah Naura. Dan… terlalu familiar bentuknya. Sebagai dokter, Kinanti tahu itu bukan iritasi atau alergi. Itu seperti... love bite.
Hatinya tercekat.
Setelah Naura pergi Kinanti bertanya pada David.
"Mas..." Kinanti menoleh ke arah David, berusaha tenang. “Semalam apa Kinanti bertemu dengan Yusuf?”
David yang sedang menggendong Mauren tersenyum hangat. “Iya, Sayang. Kenapa?”
“Cuma nanya aja.” Kinanti mengangguk pelan, lalu kembali menatap pintu yang kembali tertutup.
Hatinya tak tenang.