Cerita yang memberikan inspirasi untuk wanita diluar sana, yang merasa dunia sedang sangat mengecewakannya.
Dia kehilangan support system,nama baik dan harapan.
Beruntungnya gadis bernama Britania Jasmine ini menjadikan kekecewaan terbesar dalam hidupnya sebagai cambukan untuk meng-upgrade dirinya menjadi wanita yang jauh lebih baik.
Meski dalam prosesnya tidak lah mudah, label janda yang melekat dalam dirinya membuatnya kesulitan untuk mendapat tempat dihati masyarakat. Banyak yang memandangnya sebelah mata, padahal prestasi yang ia raih jauh lebih banyak dan bisa di katakan dia sudah bisa menjadi gadis yang sempurna.
Label buruk itu terus saja mengacaukan mental dan hidupnya,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yazh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Bodyguard
Nathan berdiri di depan Britania, meletakkan kedua tangannya di kedua lengan Britania dengan lembut. Ia menatapnya dengan tatapan yang meyakinkan, seolah ingin Britania percaya penuh pada perasaannya.
"Kamu nggak sendirian, Bri... Kita mengalami hal sama, walaupun kamu jelas jauh lebih menderita. Aku enggak akan maksa kamu untuk cepat melupakannya... Tapi jangan menghindari aku kayak tadi, Bri. Aku nggak bisa kamu abaikan."
Britania terkekeh. Ada rasa lucu yang menggelitik saat mendengar ucapan Nathan yang terkesan putus asa, padahal ia adalah seorang CEO yang begitu berwibawa. Ternyata memiliki sisi melow seperti ini juga.
"Aku insecure banget, Nathan. Kamu tahu nggak satu hal yang ada dalam pikiranku? Nggak mungkin akan ada orang yang benar-benar jatuh cinta sama aku, apalagi setelah tahu masa laluku. Nggak ada yang bisa dibanggain dari aku, Nathan," Britania mengakui dengan suara yang nyaris berbisik. Siapa sih lelaki mapan sekelas Nathan bersedia menerima seorang janda dalam hidupnya. Apalagi Brii tidaklah lahir dari keluarga yang berkelas juga.
Nathan menggeleng frustrasi. Ia sudah tidak tahu lagi harus bagaimana meyakinkan perasaannya pada Britania. Ia meraih wajah Britania dengan lembut, menangkup dengan kedua tangannya. "Kamu itu sangat mudah dicintai, Bri... Kita tidak pernah tahu alasan kenapa semesta mempertemukan kita dengan seseorang? Untuk disatukan atau hanya untuk saling memberi pelajaran. Dan kita tidak pernah bisa memilih untuk jatuh cinta dengan siapa? Apa pedulinya siapa kamu? Yang penting, aku tahu aku jatuh cinta sama kamu, jatuh cinta secara dewasa, tanpa menuntut apapun selain balasan dari perasaan kamu Brii." Nathan berbisik, penuh ketulusan.
Britania, tidak ingin terlalu dalam merespons, ia mengalihkan perhatiannya dengan kembali bermain ombak dan berlarian di sekitar pantai. Ia butuh waktu untuk mencerna semua ucapan Nathan yang begitu intens. Otaknya harus kembali ke mode normal setelah diacak-acak oleh Nathan sejak tadi. Tidak boleh Brii ikut larut dalam segala pemikiran Natthan yang sialnya memang masuk akal. Nathan mengikutinya, terus memperhatikan, dan ia kembali meraih tangan Britania.
"Bri... Kamu belum jawab pertanyaan aku, ya? Jangan pernah menghindari aku lagi..."
Britania kembali tersenyum padanya, senyum yang sedikit canggung. "Bisa nggak biarin aku pemanasan dulu? Aku belum pernah merasakan jatuh cinta lagi setelah kejadian itu beberapa tahun lalu. Let it flow... I will be yours when I'm ready... give me time..." akhirnya ia menyerah. Pertahanannya tidak sekuat itu ternyata, menghadapi sejuta pesona dan ungkapan tulus dari Nathan.
Nathan membelalakan matanya dengan sorot berbinar jelas. "Oke... Aku akan memberi kamu waktu untuk siap mencintai aku. Tapi kali ini, biarin aku memiliki kamu. Aku sayang banget sama kamu Britania Sheiraphina."
Britania mengulurkan tangannya, seolah sedang menyepakati sebuah perjanjian. "Deals!" Palingan hanya sebulan dua bulan perasaannya, pikir Britania, masih mencoba meyakinkan diri sendiri. Ia hanya terlalu takut untuk berharap.
Nathan membalasnya, tapi bukan dengan jabatan tangan. Ia menarik dagu Britania, lalu mengecup bibirnya dengan lembut. "Manis..." ujarnya. Belum sempat Britania mengucapkan kalimat balasan, Nathan sudah mendaratkan bibirnya lagi. Kali ini bukan sekadar kecupan. Ia mulai menggerakkan bibirnya untuk melumat bibir atas dan bawah Britania. Refleks, tangan Britania melingkar di lehernya. Satu tangan Nathan gunakan untuk menarik pinggang Britania, merapatkan tubuh mereka.
Britania masih sangat amatir dalam hal ini, dalam hal berciuman. Ketika bibir Nathan asyik melumat bibir atas dan bawahnya, Britania tidak merespons apa pun. Ia hanya sibuk menikmati setiap sentuhan dan gerakan yang Nathan berikan. Ada debaran aneh yang menyenangkan di dadanya, dan ia menyadari ia menyukainya. Nathan sangat panda mengacak-acak kewarasannya.
Beberapa menit saling larut dalam perasaan membuncah, Britania sedikit menjauhkan wajahnya ketika napasnya mulai habis, tidak terlalu jauh. Bahkan ia masih bisa merasakan napas hangat Nathan menyapu wajahnya. Tangan Nathan kembali menyusuri lehernya dan menariknya untuk kembali lebih dekat. "Aku nggak bisa berhenti, Bri... Sepertinya aku bakal kecanduan..."
"Kamu mau lagi?" tanya Britania, suaranya serak. Ia bisa merasakan napas Nathan masih memburu. "Aku nggak ahli kayak ginian..." ucap Britania, terkekeh pelan, mencoba meredakan kegugupannya.
"Mau aku ajarin? Hmm?" Nathan menyeringai, matanya penuh goda.
Darah Britania berdesir hebat. Ia memberanikan diri meraih bibir Nathan lebih dulu, mengikuti apa yang Nathan lakukan padanya tadi. Britania bukanlah kisser yang handal. Bahkan, ia baru kali ini merasakan sensasi berciuman. Namun, ia orangnya mudah belajar.
***
Seperti agenda rutin tiap weekend, hari Sabtu jadwalnya Brii untuk gym dan kencan seharian dengan Chacha. Kalau hari Minggu, ia berkunjung ke rumah singgah. Rumah yang ditempati oleh tujuh anak, empat anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Mereka adalah anak-anak terlantar yang kebetulan bertemu dengannya sejak tiga tahun lalu. Sejak Brii mulai bertahan di kota ini dari 0. Secara tidak langsung, merekalah alasan Brii untuk tetap bertahan dengan baik.
Britania membantu biaya sekolah mereka dan juga biaya hidup mereka ketika dirinya sendiri sedang berjuang keras untuk bertahan hidup. Mereka adalah anak-anak berprestasi yang kurang beruntung karena ditelantarkan oleh orang tua mereka. Britania belajar banyak hal dari kehadiran mereka, terutama tentang ketangguhan dan semangat hidup. Mereka semua sudah tidak mempunyai orang tua. Kalaupun ada yang masih memilikinya, tetap saja mereka tidak tahu di mana keberadaannya.
Britania masih merasa beruntung karena masih memiliki orang tua, walaupun tidak pernah dekat dengan mereka.
Weekend kali ini, Brii tidak datang sendiri, tidak juga ditemani Chacha, tapi ditemani Nathan. Pagi-pagi pria itu sudah menjemputnya untuk pergi ke supermarket, berbelanja kebutuhan untuk anak-anak rumah singgah.
"Depan belok kanan, ya... udah dekat..." ucap Britania saat mobil yang mereka naiki memasuki sebuah area pemukiman warga.
"Sudah tahu, sayanggg..." jawab Nathan, sambil menyeringai.
"Eh, tahu dari mana? Sok tahu, ih..." cibir Britania, pura-pura kesal.
Nathan tersenyum miring setelah berhasil menepikan mobilnya tepat di depan rumah yang dimaksud Britania.
"Kak Briiiii... teman-teman, Kak Britania datanggggg..." teriak Cherry. Gadis kecil yang masih duduk di bangku kelas tiga SD itu berlari ke arah Britania bersama dua anak seumurannya, disusul yang lainnya.
Devanda dan Zetta keluar paling akhir. Mereka juga yang paling besar di sana, sekarang sudah kelas dua SMA. Ada satu lagi, Rayyan. Dia pasti belum pulang dari kerjaan sampingannya sebagai bodyguard seorang gadis, putri dari pengusaha terkaya di ibu kota.
"Hei... kalian semua sehat?" tanya Britania, menundukkan badan untuk menyejajarkan tubuhnya dengan mereka.
"Sehat, Kakkk... Loh, itu ada Kak Nathan juga?" Pertanyaan yang terlontar dari salah satu dari mereka membuat Britania mengernyitkan kening. Ia kaget dan tidak mengerti.
"Kamu kenal?" Britania membalikkan badan menghadap Nathan.
Nathan menyunggingkan senyum lebarnya. "Kenal mereka minggu lalu, aku ngikutin kamu pergi eh berakhir di sini, jadi sekalian kenalan sama mereka... ya kan, teman-teman?" Mereka menyambut Nathan antusias. Semua plastik besar yang berisi banyak makanan dan stok kebutuhan mereka segera Nathan bawa masuk, dibantu oleh para krucil dan Zetta, gadis yang paling besar.
Berbeda dengan Devanda yang justru menatap tidak suka pada Nathan. Ia menghampiri Britania. "Kak, gue mau ngomong..." ucapnya dingin.
Britania mengajaknya duduk di atas kap mobil. "Kenapa, Dave, hmm?"
"Cowok itu suka sama lo, ya?" Pertanyaan Devanda yang tanpa basa basi membuat Britania tertawa kecil, lengkap dengaan ekspresinya yang terlihat khawatir. Devanda paling perasa di antara kedua temannya meskipun ia laki-laki, dan ia memang yang paling tahu cerita Britania dari awal.
"Katanya sih, iya, Dave. Aku juga belum yakin. Dia itu bos aku di perusahaan. Anaknya Pak Wiranto. Kamu nggak suka, ya?"
Devanda menyugar rambutnya dengan frustrasi. "Dia bos lo, Kak. Gue enggak mau dia semena-mena sama lo. Orang kaya biasanya gitu, kan? Lo cantik, pintar, perfect... Dia pasti cuma ngincer lo buat jadi mainan dia. Dan lagi, selama ini lo selalu jaga jarak sama laki-laki, kenapa tiba-tiba tadi bisa sama dia ke sini?"
Bukan cuma Devanda yang tidak yakin, Britania sendiri yang sedang menjalani pun tidak yakin dengan semua ini. Ia hanya mencoba untuk sesekali memberi ruang pada dirinya sendiri, untuk bisa seperti perempuan lain pada umumnya yang seusianya dengan memiliki perasaan normal, lepas dari yang namanya trauma.
"Dave, kamu tenang aja. Semua itu masih di bawah kendali aku, kok. Enggak akan ada yang berani mainin aku selama masih ada kamu sama Rayyan. Iya, kan?" Cowok setengah dewasa itu terkekeh.
"Iya... Dan kalau memang terjadi sesuatu hal buruk sama lo karena dia, pastikan ngomong sama gue atau Rayyan. Dia enggak akan selamat..."
"Siap! Udah yuk... makan. Aku bawa mi gacoan kesukaan kamu, lengkap sama udang rambutannya."
"Kak Bri..." Tangan Devanda mencekal Britania untuk turun dari atas kap mobil. "Sorry, ya? Gue bukan ngelarang lo bahagia sama laki-laki itu. Gue cuma nggak mau ada bajingan yang bakalan bikin lo nangis. Lo terlalu baik buat disakiti, Kak. Kalaupun ada laki-laki yang deketin lo, itu harus melewati seleksi ketat dari gue sama bang Ray. Gue..."
"Iyaaa... Aku tahu kok maksud kamu. Makasih, ya, udah khawatir sama aku," Britania memeluk tubuh Devanda yang sedikit lebih tinggi darinya. Lelaki itu balas memeluknya erat. Mereka sudah sangat dekat, lebih dari keluarga walaupun tidak ada ikatan darah. Devanda memang sangat protektif padanya dan saudara perempuan yang lainnya.
Di dalam rumah, riuh suara anak-anak bercanda dengan Nathan. Semuanya makan bersama, termasuk Britania yang ikut lahap juga memakan mi sepiring berdua dengan Nathan. Nathan sampai mengarahkan tangannya untuk membersihkan sisa-sisa bumbu di sudut bibir Britania. Hal itu sontak membuat Devanda memberikan tatapan mautnya.
Suasana makin canggung kala Rayyan juga sudah pulang dari kerjanya. Tatapan Rayyan ke Nathan lebih seram dari Devanda. Sorot tajam matanya siap menghunus siapa saja yang ada di depannya, terutama Nathan. Memang hanya mereka berdua yang belum bisa menerima Nathan di sini, lainnya malah menyambutnya dengan senang hati.
"Kak Bri... Gue beliin cokelat banyak, nih. Gue habis gajian, tahu..." seru Rayyan yang baru masuk rumah langsung menuju ke arah Britania. Mengabaikan keberadaan Nathan.
"Makasih, Ray..." Britania menerima sekotak cokelat darinya, namun ia bisa melihat Rayyan masih menatap Nathan dengan tatapan menantang. Apalagi Rayyan memang seorang bodyguard, auranya semakin kuat.
Kali ini Nathan pun membalas tatapan Rayyan. Tidak seperti saat menghadapi Devanda tadi, ia tidak mengalah. Suasana jadi mencekam hanya gara-gara mereka berdua masih adu pandang dengan sinis.
"Mmm... Aku masih ada urusan, nih. Balik duluan, ya. Kalian habisin aja makanannya," pamit Britania. Ia berusaha memperbaiki situasi di dalam rumah. Kalau terus dibiarkan, pasti bisa terjadi adu jotos antara Nathan dan Rayyan. Ya, Rayyan dan Devanda melakukan itu semata-mata hanya karena mengkhawatirkannya, mereka ingin melindungi Brii kesayangan mereka.
"Hufth... Aku menghadapi mereka berdua kenapa jadi seperti menghadapi calon mertua saja, haha..." gumam Nathan seraya tertawa renyah kala sudah mulai melajukan mobilnya keluar dari area rumah singgah.
"Maafin mereka, ya, sikapnya memang begitu. Mereka tidak akan membiarkan aku ataupun anak-anak cewek di sana itu sampai disakiti. Namanya juga anak SMA, emosi mereka masih sangat labil. Dan lagi, mereka sangat sayang sama aku. Mereka hanya khawatir kamu bakal nyakitin aku..." jelas Britania pada Nathan. Ia tidak ingin mereka salah paham berkelanjutan.
Yay! Terimakasih atas support kalian. Terus ikuti ceritaku yaa, jangan lupa komen dan likenya.