Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.
Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11
“Aku butuh keluar dari Jakarta,” gumam Ardan pagi itu sambil menutup laptopnya.
Raisa yang sedang duduk di meja makan langsung menoleh. “Hah? Maksudnya…?”
“Kita pergi sebentar. Udara di sini terlalu kotor buat pikiran.”
Raisa mengerutkan alis. “Om ngajak aku… liburan?”
Ardan mengangguk santai. “Anggap saja begitu. Tas kecil saja. Kita berangkat siang ini.”
“Om… ini tuh kayak… kabur dari masalah.”
Ardan menatapnya sebentar. “Bukan kabur. Istirahat. Kadang manusia perlu berhenti sebentar biar bisa lanjut.”
Raisa terdiam. Sederhana, tapi masuk akal.
"Tapi mama aku?"
"Kamu tenang saja, aku yang akan hubungi mama kamu"
Dua jam kemudian mereka sudah berada di mobil Ardan, melaju di jalan tol. Ardan yang menyetir, sementara Raisa duduk di kursi penumpang sambil menatap pemandangan.
“Om nggak takut orang lihat kita berdua pergi gini?” Raisa akhirnya bertanya.
“Kalau mereka lihat, biar saja. Selama aku tahu kita nggak salah.”
Raisa menggigit bibir. Kalau Ardan setenang ini, kenapa hatiku justru makin nggak tenang?
Mereka berhenti di sebuah villa kecil di Puncak. Udara dingin menyambut, pepohonan hijau mengelilingi tempat itu.
“Om… ini enak banget tempatnya,” Raisa memeluk dirinya sendiri, menggigil.
Ardan memberikan jaketnya. “Pakai ini.”
Raisa menerima, tapi wajahnya merah. Jaket itu masih hangat dengan aroma tubuh Ardan.
Sore itu mereka duduk di balkon villa, memandangi matahari terbenam. Suasana hening, tapi nyaman.
“Raisa.”
“Hmm?”
“Terima kasih.”
Raisa menoleh, bingung. “Buat apa?”
“Buat tetap di sini.”
Raisa tertawa kecil. “Om ngomong kayak aku punya pilihan lain.”
Ardan menggeleng. “Kamu selalu punya pilihan. Tapi kamu tetap di sini. Itu… lebih dari cukup.”
Raisa menunduk cepat, merasakan wajahnya panas. “Om, jangan ngomong gitu.”
“Kenapa?”
“Karena… bikin aku salah paham.”
Ardan menoleh, tatapannya serius. “Kalau kamu salah paham… mungkin karena itu bukan salah paham.”
Raisa membeku. Kata-kata itu menghantam tepat di dadanya.
Ia buru-buru berdiri. “Aku… masuk dulu. Dingin.”
Ardan menatapnya lama sebelum mengangguk. “Oke.”
Di kamar, Raisa menutup wajah dengan bantal. “Astaga… Om itu kenapa sih?!”
Kata-kata Ardan terus terngiang di kepalanya. Kalau kamu salah paham… mungkin karena itu bukan salah paham.
Apa maksudnya?!
Malamnya, mereka makan malam bersama di ruang makan villa. Obrolannya ringan—tentang makanan, film, bahkan masa kecil.
“Dulu… aku kira jadi dewasa itu gampang,” kata Raisa sambil menatap piringnya. “Ternyata susah banget.”
Ardan tersenyum. “Jadi dewasa itu artinya tahu kapan harus bertahan, dan kapan harus mengaku lelah.”
Raisa mendongak. “Om… kayaknya udah ngalamin banyak banget, ya?”
Ardan terdiam sebentar, lalu berkata pelan, “Lebih dari yang kamu bayangkan.”
Raisa memperhatikan Ardan. Di balik ketenangannya, ada banyak cerita yang ia sembunyikan.
“Om.”
“Ya?”
“Kalau… aku bukan siapa-siapa, kenapa Om sejauh ini buat aku?”
Ardan menatapnya dalam. “Karena kamu… bikin aku merasa hidup lagi.”
Raisa terdiam. Nafasnya tercekat. Apa yang barusan ia dengar?
Ardan kemudian berdiri. “Kamu istirahat, ya. Besok kita jalan-jalan ke kebun teh.”
Ia meninggalkan Raisa yang masih mematung di kursinya, wajah merah, jantung berdebar kencang.
Sendirian di kamar, Raisa bergumam, “Om Ardan… apa sih maksud semua omonganmu?”
Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu jawabannya: Ardan sudah lebih dari sekadar pelindung baginya.
Dan itu menakutkan—sekaligus membuatnya tak ingin berhenti merasa.
*
Udara pagi di Puncak menusuk kulit, tapi terasa segar. Embun masih menempel di dedaunan ketika Raisa melangkah keluar villa. Ia mengenakan sweater oversized dan celana panjang, rambutnya diikat seadanya.
Ia mendongak, menghirup dalam-dalam udara dingin yang terasa menenangkan. Kalau hidup bisa sesederhana ini, mungkin aku nggak perlu takut pada apa pun, pikirnya.
Suara langkah dari belakang membuat Raisa menoleh. Ardan muncul dengan setelan kasual: kaus hitam dan jaket abu-abu. Rambutnya agak berantakan, membuatnya terlihat… berbeda. Lebih muda.
“Kamu bangun pagi juga,” katanya sambil menyodorkan secangkir teh hangat.
Raisa menerimanya. “Om bangun duluan, ya?”
“Tidurmu gelisah. Aku nggak mau kamu sendirian waktu bangun.”
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak menuju kebun teh di belakang villa. Suasananya tenang. Hanya ada suara burung dan angin yang menggerakkan pucuk-pucuk daun.
“Om,” Raisa memecah keheningan.
“Hm?”
“Kenapa Om selalu ada setiap aku jatuh? Dari awal kita kenal… kayaknya Om nggak pernah sekalipun ninggalin aku.”
Ardan menatapnya sebentar sebelum kembali memandang jalan. “Karena aku tahu rasanya jatuh dan nggak ada siapa-siapa.”
Raisa menggigit bibir. “Om pernah… sendirian?”
Ardan mengangguk. “Pernah. Lama. Dan kamu… mengingatkanku kalau ternyata masih ada alasan untuk tetap berdiri.”
Raisa terdiam. Kata-kata itu menancap di dadanya. Aku mengingatkan dia untuk tetap berdiri? Aku sepenting itu?
Ia berhenti berjalan. “Om.”
Ardan ikut berhenti, menoleh. “Ya?”
“Kalau aku… ternyata mulai merasa sesuatu yang nggak seharusnya, Om marah nggak?”
Ardan menatapnya lama. “Kalau itu berarti kamu jujur sama dirimu sendiri, kenapa aku harus marah?”
Wajah Raisa panas. “Om… suka banget ngomong hal-hal yang bikin orang nggak bisa tidur, ya.”
Ardan tersenyum tipis. “Kalau itu bikin kamu mikir… mungkin perlu.”
Mereka melanjutkan berjalan, tapi hati Raisa berdebar tak karuan. Apa barusan Ardan mengisyaratkan sesuatu? Atau itu cuma pikirannya sendiri yang kelewat berharap?
Saat kembali ke villa, Raisa melihat ponselnya berdering. Dina menelpon.
“Rai! Kamu di Puncak, kan?!”
Raisa mengerutkan alis. “Hah? Kok kamu tahu?”
“Kamu viral, Ra. Ada foto kamu sama Om Ardan di villa. Caption-nya ‘liburan romantis’. Ini heboh banget!”
Raisa membeku. “Apa?!”
Ia buru-buru membuka media sosial. Benar saja—beberapa akun gosip mengunggah foto dirinya bersama Ardan, sedang berjalan di kebun teh tadi.
“Ternyata benar kabar kedekatan pengusaha Ardan Putra dengan mahasiswi cantik ini. Liburan bareng di Puncak! Jadi serius?”
Komentar mengalir deras.
“Fix, sugar baby.”
“Cewek ini modal cantik doang.”
“Om Ardan nggak malu apa?”
Raisa menjatuhkan ponsel. Nafasnya berat. “Om… ini… gimana?!”
Ardan mengambil ponsel, membaca postingan itu sebentar. Ia tidak bereaksi.
“Om!” Raisa hampir menangis. “Aku nggak kuat lihat beginian terus!”
Ardan mendekat, memegang bahunya. “Raisa. Tatap aku.”
Raisa mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca.
“Kalau kamu terus hidup untuk apa kata orang, kamu nggak akan pernah selesai. Sekarang tanya ke dirimu: apa kamu mau terus sembunyi, atau berdiri di sampingku?”
Raisa terdiam. “Berdiri… di samping Om?”
“Kalau kamu mau, aku akan pastikan mereka nggak bisa ganggu kamu lagi. Tapi itu berarti… kamu akan masuk ke hidupku sepenuhnya. Termasuk menghadapi keluargaku, dunia kerjaku, dan semua tekanan di sekitarku. Itu keputusan besar, Raisa.”
Raisa menatap Ardan lama. Hatinya berdegup keras. Dunia Ardan terdengar menakutkan. Tapi… ia ingin ada di sana.
“Aku… butuh waktu mikir,” jawabnya pelan.
Ardan mengangguk. “Kamu punya semua waktu yang kamu butuh. Tapi apapun keputusanmu, aku di sini.”
Malam itu Raisa tidak bisa tidur. Ia memandangi langit-langit villa, mengingat setiap kata Ardan. “Berdiri di sampingku.”
Hatinya berteriak, Aku mau. Tapi kepalanya ketakutan.
Di ruangan lain, Ardan duduk di depan laptop, menghubungi seseorang.
“Siapkan konferensi pers,” katanya. “Kalau Raisa setuju… kita hentikan gosip ini dengan cara kita.”
Mereka berdua tahu—keputusan ini akan mengubah segalanya.
Dan besok, mungkin tak ada jalan kembali.