NovelToon NovelToon
Jodoh Tak Terduga D & D

Jodoh Tak Terduga D & D

Status: tamat
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Tamat
Popularitas:8.3k
Nilai: 5
Nama Author: inda

Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16

Hari itu, udara pagi tampak biasa saja. Tapi hati Dewi berdebar lebih dari biasanya. Bukan karena takut, tapi karena tahu bahwa langkah yang akan ia ambil berikutnya akan dilihat banyak mata dan dinilai tanpa ampun.

Media Metro Bisnis secara terbuka mengundang Dewi dan Dewa untuk hadir dalam sesi diskusi publik berjudul:

"Bisnis Mandiri atau Warisan Terselubung? Polemik Usaha Pasangan Muda di Tengah Bayang-bayang Nama Besar"

Undangan itu jelas provokatif. Tapi justru karena itulah, Dewi tidak ingin diam.

---

Dewa duduk di meja makan, memegang undangan cetak berlogo media itu. Dewi berdiri di hadapannya, bersedekap.

“Menurutmu?”

“Jebakan,” jawab Dewa singkat.

“Tapi bisa jadi panggung yang tepat,” sahut Dewi tak kalah cepat.

Dewa menatapnya. “Kau yakin bisa menghadapi mereka?”

“Aku sudah menghadapi perjodohan, tekanan keluarga, dan perempuan seperti Nadine. Satu meja panel dengan pewawancara bias? Kecil.”

Dewa tertawa kecil. “Baiklah. Kita ke sana. Tapi aku akan duduk di sampingmu, bukan di belakang.”

Dewi menunduk, tersenyum. “Itu yang kubutuhkan.”

---

Dua hari kemudian...

Studio mini tempat acara berlangsung tampak ramai. Beberapa tamu undangan, wartawan, serta audiens dari komunitas UMKM yang mengenal Dewi dan Dewa juga hadir.

Di antara bangku penonton, muncul sosok yang mencuri perhatian Dewa.

Seorang wanita, mengenakan setelan jas abu lembut, rambut disanggul rapi, dan membawa map berlogo firma hukum.

Citra Amelia.

Mantan teman kampus Dewa. Dulu calon pengacara muda berbakat. Sekarang? Ia duduk sebagai perwakilan hukum yang diundang media... dan akan menjadi panelis yang “menggali” kebenaran di balik usaha Dewi dan Dewa.

Dewa menegang sejenak. Dewi menangkap perubahan ekspresi itu.

“Kau kenal dia?” tanya Dewi.

“Citra. Teman lama,” jawab Dewa, pelan.

“Teman... atau lebih?”

Dewa melirik Dewi, lalu menjawab jujur, “Pernah dekat. Tapi tak pernah jadi apa-apa.”

Dewi tidak bertanya lagi. Ia menoleh ke depan. Fokus.

Acara dimulai.

Moderator memperkenalkan para panelis: jurnalis senior, pengamat bisnis, satu pengusaha waralaba, dan... Citra Amelia, kini bergelar Master of Law dari universitas top di Eropa.

Dewi dan Dewa duduk di sisi panggung, sorotan lampu tepat di wajah mereka.

Pertanyaan mulai dilontarkan. Beberapa cukup netral, tapi ada yang sengaja memojokkan:

“Benarkah usaha Anda berdiri dengan dana dari keluarga Wicaksono?”

“Apa motivasi utama membangun bisnis: cinta atau pelarian?”

“Bagaimana menjawab tuduhan bahwa Dewi menggunakan nama Dewa untuk melambungkan popularitas usaha?”

Dewi menjawab dengan tenang.

“Usaha ini lahir dari ketulusan. Dari keputusan dua orang dewasa yang menolak dikendalikan oleh keluarga dan gelar.”

“Dana awal kami berasal dari penjualan aset pribadi, dan memang ada kesalahan administratif yang sudah kami luruskan secara hukum.”

“Kalau usaha kami berhasil, itu karena kerja keras, bukan karena nama belakang.”

Citra membuka suara. Nadanya tenang, tapi tajam.

“Sebagai pengacara, saya hanya akan berbicara dengan data. Tapi sebagai pribadi... saya mengenal Dewa. Dan saya tahu, dia bukan tipe pria yang bisa dibohongi oleh siapapun.”

Dewi menatapnya, lalu menjawab lugas. “Saya tidak perlu membohongi siapa pun untuk berada di sisi Dewa. Karena saya tidak pernah memaksanya untuk memilih saya.”

Citra diam sejenak, lalu menutup catatannya.

“Kalau begitu, mari kita lihat. Waktu yang akan membuktikan: apakah ini cinta... atau strategi.”

---

Setelah acara selesai...

Citra menghampiri mereka di lorong belakang studio.

“Dewi,” katanya ramah, “kau cukup tenang di atas panggung. Itu mengesankan.”

“Terima kasih. Tapi aku tak sedang tampil. Aku hanya menyampaikan kebenaran.”

Citra tersenyum simpul. “Dewa, lama tak bertemu.”

Dewa mengangguk. “Kau sudah sejauh ini, Citra.”

“Dan kamu... ternyata menemukan caramu sendiri.”

Ia lalu menatap Dewi. “Jaga dia. Dunia bisa sangat kejam untuk pria seperti Dewa.”

Dewi mengangguk. “Aku tahu. Dan aku tidak akan mundur.”

---

Di perjalanan pulang...

Dewa diam cukup lama sebelum akhirnya berkata, “Kau luar biasa tadi.”

Dewi meliriknya. “Aku tidak merasa luar biasa.”

“Tapi kau tetap berdiri. Kau tidak gemetar. Dan kau membuatku ingin melindungimu, tapi juga bangga karena tahu kau bisa berdiri sendiri.”

Dewi tersenyum.

“Kita saling belajar, kan?”

“Ya,” jawab Dewa lirih. “Dan hari ini, aku belajar satu hal penting.”

“Apa itu?”

“Kalau cinta tidak harus selalu jadi tameng. Kadang... cinta justru jadi senjata paling tajam untuk membela harga diri.”

---

Pagi itu hujan turun perlahan, membasahi kaca studio “Kala Kita” yang mulai sepi. Biasanya, Dewi akan duduk di ruang kerja kecil di belakang, merapikan rencana pemasaran atau mencatat ide-ide baru. Tapi pagi ini berbeda.

Ia menemukan Dewa berdiri membelakangi jendela, dengan map hitam di tangannya dan wajah yang sulit dibaca.

“Kau kelihatan seperti mau kabur lagi,” ucap Dewi sambil meletakkan dua cangkir kopi di atas meja.

Dewa berbalik, tersenyum tipis. “Bukan kabur. Tapi mungkin... pergi sebentar.”

Dewi mengernyit. “Apa maksudmu?”

Dewa menyerahkan map hitam itu padanya. “Tawaran dari jaringan desain internasional di Jepang. Salah satu teman lama merekomendasikan aku untuk jadi Creative Director di Tokyo.”

Dewi membuka map itu. Tawaran itu bukan main-main. Gaji besar, fasilitas lengkap, dan kesempatan bekerja dengan brand dunia.

“Tapi…” Dewa melanjutkan, “syaratnya jelas. Aku harus tinggal di sana selama tiga tahun penuh. Tanpa ikatan kontrak sampingan. Tanpa urusan pribadi di Indonesia.”

Dewi menunduk. Suaranya pelan, tapi tajam, “Termasuk aku?”

Dewa terdiam.

---

Beberapa jam setelah itu, Dewi duduk sendiri di meja dapur kecil, cangkir kopinya sudah dingin.

Naya datang, membawa seplastik pastel dan tahu isi.

“Wajahmu kaya tahu basi, Dew. Kenapa?”

Dewi menghela napas panjang. “Dewa dapat tawaran kerja di Jepang. Gede. Tapi kalau dia ambil itu, dia harus lepas dari semua di sini. Termasuk... aku.”

Naya terdiam sejenak. “Kamu udah tanya dia, mau ambil atau nggak?”

“Belum. Tapi aku tahu Dewa. Dia selalu menomorsatukan tanggung jawab. Aku cuma takut kali ini... dia akan menomorsatukan aku.”

Naya menatap Dewi, lalu berkata pelan, “Kadang cinta bukan tentang menahan seseorang tetap tinggal. Tapi cukup percaya untuk membiarkannya pergi... kalau itu memang impiannya.”

---

Sore itu, Dewi dan Dewa duduk di bangku kayu depan studio, di bawah langit kelabu yang mulai mengering dari hujan.

Dewi membuka pembicaraan lebih dulu.

“Kau tahu... aku bangga padamu, Dewa.”

Dewa menoleh, alisnya terangkat sedikit.

“Bukan karena nama Wicaksonomu. Tapi karena kamu tidak pernah menjadikan itu alasan untuk meremehkan orang lain. Kamu kerja keras, kamu jujur... dan kamu pantas dapat lebih.”

Dewa diam.

“Dan jika itu berarti kamu harus pergi ke Jepang... aku tidak akan menahanmu.”

“Kau yakin?” Dewa bertanya, suaranya rendah.

“Aku akan menangis, iya. Tapi aku juga akan berdoa kamu berhasil. Karena aku mencintaimu, bukan untuk menjagamu di dekatku... tapi untuk melihatmu terbang, bahkan kalau itu bukan di sampingku.”

Dewa menatap langit. “Aku juga bangga padamu, Dewi. Tapi aku tidak akan ambil tawaran itu.”

Dewi menoleh cepat. “Kenapa?”

“Karena aku baru saja menemukan apa artinya membangun dari nol. Aku baru tahu rasanya berdiri bukan di atas nama besar, tapi atas kerja keras. Dan yang paling penting…”

Ia menatap mata Dewi, tegas.

“Aku sudah berjanji pada diriku sendiri... kali ini aku tidak akan lari dari apa yang membuat hidupku berarti.”

Dewi menatapnya lama, lalu menunduk, menahan haru.

“Bodoh,” bisiknya.

Dewa mengerutkan dahi. “Apa?”

Dewi mendongak, matanya berkaca. “Kamu bodoh. Tapi terima kasih. Karena kamu memilih untuk jadi bodoh... bersamaku.”

Dewa tertawa pelan. “Sama-sama, wanita paling keras kepala yang pernah kutemui.”

---

Malam itu, Dewi menulis:

Hari ini, aku bicara di depan umum.

Bukan untuk menjelaskan siapa aku.

Tapi untuk menunjukkan... aku tidak pernah takut jadi diri sendiri.

Dan aku tidak perlu jadi perempuan yang sempurna, selama aku jadi perempuan yang berani.

Terkadang, cinta bukan tentang berkorban.

Tapi tentang memilih.

Dan ketika seseorang memilih untuk tetap... padahal ia punya semua alasan untuk pergi...

Maka kamu tahu, itu bukan sekadar cinta.

Itu rumah.

Bersambung

1
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒌𝒆𝒓𝒆𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏 𝑻𝒉𝒐𝒓 𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂𝒎𝒖 𝒏𝒈𝒆𝒏𝒂 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒆𝒕 𝒌𝒆 𝒉𝒂𝒕𝒊 👍👍👍👏👏👏😍😍😍😘😘😘
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒏𝒈𝒆𝒏𝒂 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒆𝒕 𝒏𝒊𝒉 👍👍👏👏
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝑨𝒏𝒅𝒊𝒆𝒏 𝒎𝒖𝒔𝒖𝒉 𝒅𝒍𝒎 𝒔𝒆𝒍𝒊𝒎𝒖𝒕 😤😤
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝑵𝒂𝒅𝒊𝒓𝒂 𝒈𝒂𝒌 𝒌𝒂𝒍𝒐𝒌
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓𝒏𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒅𝒂𝒉 𝒋𝒈 👏👏👏
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒔𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒄𝒂𝒓𝒊 𝒍𝒂𝒘𝒂𝒏 😏😏
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒕𝒆𝒓𝒏𝒚𝒂𝒕𝒂 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒊𝒕𝒖
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒂𝒅𝒂 𝒎𝒂𝒔𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒂𝒑𝒂 𝒔𝒂𝒎𝒂 𝑮𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈 🤔🤔
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒃𝒍𝒎 𝒏𝒊𝒌𝒂𝒉 𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒑 𝒌𝒐𝒌 𝑫𝒆𝒘𝒊 𝒃𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒏𝒚𝒂 𝑫𝒆𝒘𝒂 𝒔𝒖𝒂𝒎𝒊𝒌𝒖 🤔🤔
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒐𝒓𝒕𝒖𝒏𝒚𝒂 𝑫𝒆𝒘𝒊 𝒎𝒂𝒏𝒂 𝒌𝒐𝒌 𝒈𝒂𝒌 𝒏𝒆𝒏𝒈𝒐𝒌 𝑫𝒆𝒘𝒊 𝒔𝒊𝒉 🤔🤔
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒈𝒐𝒐𝒅 𝒋𝒐𝒃 𝑫𝒆𝒘𝒊 👍👍👏👏
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒔𝒚𝒖𝒌𝒖𝒓𝒍𝒂𝒉 𝑫𝒆𝒘𝒂 𝒕𝒐𝒍𝒂𝒌
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒋𝒏𝒈𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒆𝒓𝒂𝒉
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒂𝒅𝒂 𝒚𝒂 𝒊𝒃𝒖 𝒌𝒂𝒏𝒅𝒖𝒏𝒈 𝒋𝒂𝒉𝒂𝒕 𝒔𝒂𝒎𝒂 𝒂𝒏𝒂𝒌𝒏𝒚𝒂 😏😏
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒌𝒆𝒏𝒂𝒑𝒂 𝑫𝒆𝒘𝒂 𝒈𝒂𝒌 𝒏𝒈𝒐𝒎𝒐𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒔 𝒂𝒅𝒂 𝒘𝒂𝒓𝒕𝒂𝒘𝒂𝒏 𝒚𝒂 😏😏 𝒌𝒐𝒌 𝒄𝒖𝒎𝒂 𝑫𝒆𝒘𝒊 𝒂𝒋𝒂 𝒉𝒓𝒔𝒏𝒚𝒂 𝒌𝒂𝒏 𝑫𝒆𝒘𝒂 𝒋𝒈 𝒏𝒐𝒏𝒈𝒐𝒍
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒔𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔 𝑫𝒆𝒘𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝑫𝒆𝒘𝒊 😍😍
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒎𝒂𝒏𝒕𝒂𝒑 𝑫𝒆𝒘𝒊 𝒌𝒆𝒓𝒆𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏 👍👍👍
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝑵𝒂𝒅𝒊𝒏𝒆 𝒍𝒊𝒄𝒊𝒌 𝒋𝒈 𝒚𝒂 😏😏
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝑳𝑫𝑹 𝒅𝒐𝒏𝒌 😅😅
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒔𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒑𝒂𝒉𝒂𝒎 𝒏𝒊𝒉
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!