NovelToon NovelToon
Tumbuh Di Tanah Terlarang

Tumbuh Di Tanah Terlarang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Nikahmuda / Poligami / Duniahiburan / Matabatin
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Dewi Adra

Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.

Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.

Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TDT 16

Pagi mulai merangkak naik saat Aruna tiba di perkebunan. Embun masih membasahi dedaunan, dan aroma tanah basah bercampur sayuran segar menyeruak memenuhi udara. Suasana yang biasanya menenangkan, kini terasa ganjil di hati Aruna. Tapi ia tetap melangkah.

Dari kejauhan, ia melihat sosok Raka sedang jongkok, mencatat sesuatu di buku lapangannya. Kemeja kerjanya yang digulung sampai siku sudah sedikit kotor oleh tanah, tapi wajahnya serius, fokus. Sesaat, Aruna hanya memperhatikannya. Entah mengapa, melihat pria itu sibuk dengan tanaman memberi rasa nyaman yang tidak ia temukan di rumah.

“Mas Raka...” sapa Aruna pelan saat mendekat.

Raka menoleh, lalu tersenyum singkat. “Oh, pagi, Bu Aruna. Sudah lama sampai?”

Aruna menggeleng. “Baru aja. Gimana kondisi lahannya?”

Raka berdiri dan membuka buku catatannya. “Saya baru selesai ukur kelembaban tanah dan kondisi batangnya. Area utara memang mulai kena jamur, kemungkinan besar karena kelembapan yang tidak terkontrol. Saya sudah tandai bagian yang harus segera disemprot fungisida organik.”

Aruna mencoba fokus, tapi pikirannya melayang lagi. Raka berhenti menjelaskan saat menyadari pandangan wanita itu kosong.

“Bu Aruna?” panggilnya lembut.

“Hmm?” Aruna sedikit tersentak. “Maaf, tadi saya nggak fokus...”

Raka menutup buku catatannya, lalu menatap Aruna serius. “Ibu nggak apa-apa? Maaf kalau saya lancang... tapi hari ini Ibu kelihatan... beda.”

Aruna tersenyum tipis, lalu menunduk, menghindari tatapan itu. “Saya cuma lagi banyak pikiran, Raka. Masalah rumah...”

Raka tidak mendesak. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berkata dengan nada tenang, “Kalau Ibu butuh tempat untuk cerita... saya di sini. Walau mungkin bukan siapa-siapa, tapi saya bisa dengar.”

Ada keheningan singkat di antara mereka, sebelum akhirnya Aruna menjawab lirih, “Terima kasih, Mas Raka...”

Dan untuk pertama kalinya pagi itu, Aruna merasa dihargai.

Raka memperhatikan raut wajah Aruna yang seolah tak bisa menutupi kepedihan meski ia berusaha tersenyum. Mata itu... seperti sedang menahan sesuatu yang berat.

Tanpa banyak bicara, Raka menunjuk ke arah saung kecil yang berada di bawah pohon rindang, tak jauh dari tempat mereka berdiri.

“Ibu... kita duduk sebentar, yuk,” ajaknya pelan. “Kayaknya Ibu butuh istirahat sejenak.”

Aruna sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk. Mereka berjalan tanpa banyak kata, hanya suara langkah mereka di atas tanah basah dan desir angin yang menemani. Sampai di saung, Aruna duduk perlahan, merapikan rambutnya sambil menarik napas dalam.

Raka duduk di sisi lain, menjaga jarak namun tetap dalam jangkauan perhatian. Ia tidak langsung bertanya. Hanya diam, membiarkan waktu bicara lebih dulu.

“Mas Raka...” Aruna akhirnya bersuara, pelan, hampir seperti bisikan.

“Iya, Bu?”

“Kadang... aku sendiri nggak tahu apa aku masih ada artinya di dalam rumahku sendiri.”

Raka menoleh perlahan. Tapi ia tetap diam, memberi ruang agar Aruna bisa melanjutkan.

“Aku tahu... semua orang bilang pernikahan itu harus dijaga. Harus sabar. Tapi kalau yang dijaga itu justru yang terus melukai, apa masih bisa dibilang rumah?”

Ia tertawa kecil, pahit. “Maaf, Raka. Aku nggak seharusnya ngomong begini...”

“Tidak apa-apa, Bu Aruna,” jawab Raka tenang. “Saya nggak keberatan jadi tempat Ibu beristirahat sebentar. Seperti yang ibu bilang, kadang... seseorang cuma butuh didengar, bukan?”

Aruna mengangguk pelan. Dan untuk pertama kalinya sejak pagi itu, matanya mulai berkaca-kaca.

Raka duduk bersebelahan dengan Aruna di saung kayu yang menghadap ke hamparan kebun sayur. Angin sore berembus pelan, menyibak rambut Aruna yang tak ia rapikan. Matanya sembab, meski ia berusaha menyembunyikannya dengan senyum tipis yang tak utuh.

“Aku dan Bagas... sudah hampir dua puluh tahun menikah,” ucap Aruna pelan, hampir seperti berbisik pada dirinya sendiri. “Sampai sekarang kami belum dikaruniai anak. Mungkin... itu juga awal mula jarak kami tumbuh. Awalnya kami baik-baik saja. Sepuluh tahun pertama, kami bisa bicara tentang apa saja. Tapi setelah dia menekuni kariernya lebih serius, rasanya... aku makin nggak terlihat.”

Raka menoleh pelan, menatap Aruna dengan tatapan yang lebih dalam.

“Tadi pagi kami sempat bertengkar, dia hampir menamparku,” lanjutnya, suaranya lebih rendah. “Bukan tentang hal besar. Aku cuma... ingin dia mendengarkan. Keluhanku. Rasaku. Tapi dia malah mengabaikannya. Seperti... semuanya cuma lebay di matanya.”

Ia memejam sejenak, menarik napas berat.

“Kadang aku bertanya dalam hati... apakah aku terlalu berharap? Tapi apa salahnya, kalau aku cuma ingin didengar oleh orang yang kusebut suamiku?”

Raka mengepal tangannya sebentar di atas pahanya, lalu melemaskannya. Ada gejolak dalam dirinya. Ia ingin bicara dengan lebih tegas, mengekspresikan kekesalan atas sikap Bagas. Tapi ia tahu itu bukan tempatnya. Bukan perannya.

Namun tetap saja, nada suaranya berubah sedikit lebih tegas saat akhirnya ia berkata, “Seharusnya Pak Bagas harus bisa menghargai Ibu... itu bukan salah ibu.”

Aruna menoleh padanya. Pandangannya kosong, seolah masih tenggelam dalam luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh.

Raka menatap lurus ke depan. Suaranya lebih lembut kini. “Kadang orang terlalu sibuk dengan ambisinya... sampai lupa siapa yang selama ini berdiri paling dekat, paling sabar.

Saya nggak tahu harus bilang apa biar luka itu reda, tapi... saya mendengar. Saya mengerti. Dan ibu nggak salah hanya karena ingin diperhatikan. Itu sangat wajar sebagai seorang yang sering ditinggalkan.”

Aruna menunduk. Butiran kecil air mata mengalir, tapi ia biarkan saja kali ini. Tak perlu ditahan lagi. Karena akhirnya... ada yang mau mendengar.

Melihat raut wajah Aruna yang masih menyimpan sisa tangis, Raka menghela napas pelan. Ia menunduk sebentar, lalu berbicara hati-hati.

“Ibu tidak mau pulang dulu? Istirahat sebentar di rumah... sepertinya Ibu butuh waktu untuk menenangkan diri.”

Aruna menggeleng pelan. “Tidak, Raka. Justru saya ingin di sini. Melihat kebun ini... hamparan hijaunya, anginnya... entah kenapa membuat pikiran saya sedikit lebih tenang.”

Ia menatap deretan tanaman yang tumbuh subur di kejauhan. Angin siang membelai wajahnya yang kini tampak sedikit lebih rileks.

“Saya juga memang berniat ke kebun hari ini. Beberapa hari ini saya cuma mengandalkan laporanmu, Raka. Sekarang saya ingin melihat sendiri. Rindu juga rasanya.”

Raka mengangguk dengan penuh pengertian.

Aruna menarik napas dalam, lalu membuka keranjang piknik kecil yang ia bawa. “Tadi pagi saya sempat menyiapkan sedikit makanan. Memang hanya sisa masakan kemarin, tapi masih layak untuk dimakan. Saya juga bawa piring dan gelas. Siapa tahu kita bisa makan siang di sini nanti.”

Raka menatapnya dengan senyum tipis, tulus. “Wah... makan siang di tengah kebun, ditemani semilir angin. Kedengarannya menyenangkan sekali, Bu.”

Aruna tersenyum kecil, wajahnya sedikit menghangat. “Cuma makan sederhana, kok. Tapi hari ini... saya memang ingin sesuatu yang berbeda. Biar hati juga ikut berubah.”

Raka menunduk sebentar, lalu menatap Aruna dengan pandangan yang penuh simpati. Ia tahu, perempuan di hadapannya sedang berusaha keras berdiri, bahkan ketika dunia dalam dirinya sedang runtuh perlahan.

1
ovi eliani
thor blm up ya
ovi eliani
mantap, lebih baik di cintai laki 2 yg tulus sepertih raka, dr pada mencintai bagas yg tak tau arah kehidupan.
xia~xiaoling
masya'allah thor..tata bahasanya mendalam menyentuh ngena banget d hati..thor km org yg puitis..pinter bikin sajak..
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor
Dee: Masya Allah, makasih banyak ya Kakak 🌸🙏 Komentarmu bikin semangatku nulis makin menyala. Aku senang banget kalau tulisanku bisa menyentuh hati pembaca. Doain semoga ke depannya aku bisa terus konsisten berkarya dan bikin karya yang lebih baik lagi. Terima kasih sudah membaca dan mendukung 🙏💖
Kalau tertarik silakan baca karya2ku yg lain...
total 1 replies
R 💤
Hallo Thor, aku mampir 👋🏻👋🏻👋🏻
Dee: Hai Kakak... 😄
Terima kasih sudah mampir dan baca Tumbuh di Tanah Terlarang! 👣🌿
Semoga ceritanya berkesan ya. Jangan lupa tinggalkan bintang dan komentar kalau suka 💬✨
Kalau kamu tertarik, boleh juga intip karya-karya aku yang lain...

Salam hangat dari author,
DeeMar 🖋️
total 1 replies
R 💤
Aruna lagi puber kedua gak sih, hehe
Dee: Haha bisa jadi~ makasih udah nangkep vibe-nya Aruna 😄 Jangan bosan sama tingkah dia ya!
total 1 replies
ovi eliani
aduhhhh aku bacanya kurang semangat thor, sesuatu yg sdh retak mungkin dapat di satukan tapi masih terlihat garis nya, itu yg di radakan aruna, jadi ikutan lelah bacanya
ovi eliani
wah drama tarik ulur ini, yg ada nanti akan lebih menyakitkan lg tinggalkan masa lalu aruna raih masa depam nooo raka udah nunggu. cicil kopernya sama raka satu satu jadi klo udah selesai cepat berangkat...
Daniah A Rahardian: Aruna plis, koper udah dicicil, hati Raka juga udah dicicil buat kamu 😭 tinggal kamu aja tuh yang ngaret terus! Gaskeun!
total 1 replies
ovi eliani
mau up lg song seru nih
Daniah A Rahardian
wow.. pedas sekali omonganmu Bagas😱
ovi eliani
aku bacanya gemes, karena hati ku tidak seluas aruna ngalah muluh, jd lah wanita yg tegas aruna, untuk apa rumah tangga di jalani tp tidak ada kebahagian di dalam pernikahan, sdh hampir 20 tahun ber rumah tangga apa tidak ingin kehadiran buah hati, hanya pernikahan dingin dan hampa , ayolah bikin cerita yg bikin greget up berikutnya ada ketegasan dan keputusqn aruna buqt bagas mungkin sebuah ancaman yg membuqt bagas berpikir, hanyq semua sarqn thor terima kasih
Dee: Itulah seni menulis membangkitkan rasa kesal, gemas, bahkan marah. Kalau ceritanya datar-datar saja, ujung-ujungnya pembaca sudah bisa menebak akan berakhir bahagia. Tapi dalam cerita ini, semuanya masih penuh teka-teki😊
total 1 replies
Daniah A Rahardian
Sabar itu ada batasnya, Mas Bagas......
ovi eliani
baru tau bagas , rumput tetanga pada hijau, makanya jgn masuk hutan terus, sekali2 lihat rumput tetanga, semangat aruna panas in aja terus bagas biar tau rasa. untuk raka slow men...klo jodoh ngak kemana, semangatbthor up lg dong kurqng bacanya
Daniah A Rahardian
Mulai panas.... perlu AC nih...😄👍
ovi eliani
jgn pernah membuat hati seorang istri menjadi lelah karena lelahnya wanita adalah suatu kehancuran semangat thor
Dee: Terima kasih atas komentarnya, Kak Ovi. Ungkapan yang sangat dalam dan penuh makna. Saya setuju bahwa kelelahan seorang wanita, apalagi seorang istri, dapat berdampak besar pada semangat dan keharmonisan. Semoga cerita ini dapat terus memberikan pesan dan refleksi yang berarti.
total 1 replies
ros
ceritanya menarik 👍
Dee: Terima kasih Kakak, yg selalu setia ngikutin cerita aku, semoga terhibur ya...
Jangan lupa komen dan likenya 💖🙏🏻
total 1 replies
ovi eliani
nah mulai tumbuh benih benih ngak taulah , up doble thor karena bacanya kurang terus semangat thor terima kasih.
Daniah A Rahardian
Fix, kisah ini cocok jadi sinetron jam 7 ‘Cinta Terlarang Tapi Bikin Nagih’."
Dee: iya, bisa... bisa😄
total 1 replies
ovi eliani
ceritanya ringan menarik untuk dibaca
ovi eliani
cie cie istri orang senangnya, semangat raka pilih yg terbaik buat mu , tp statusnya jgn istri orang juga , jawabannya ku tunggu janda mu. semoga entar sore atau malam up lg, senang banget bacanya semangat thor..
Dee: Ditunggu ya... aku usahain bisa up tiao hari, tadi nonton bola dulu hhee...
total 1 replies
ovi eliani
belum up thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!