Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 16
Pagi mulai merangkak naik saat Aruna tiba di perkebunan. Embun masih membasahi dedaunan, dan aroma tanah basah bercampur sayuran segar menyeruak memenuhi udara. Suasana yang biasanya menenangkan, kini terasa ganjil di hati Aruna. Tapi ia tetap melangkah.
Dari kejauhan, ia melihat sosok Raka sedang jongkok, mencatat sesuatu di buku lapangannya. Kemeja kerjanya yang digulung sampai siku sudah sedikit kotor oleh tanah, tapi wajahnya serius, fokus. Sesaat, Aruna hanya memperhatikannya. Entah mengapa, melihat pria itu sibuk dengan tanaman memberi rasa nyaman yang tidak ia temukan di rumah.
“Mas Raka...” sapa Aruna pelan saat mendekat.
Raka menoleh, lalu tersenyum singkat. “Oh, pagi, Bu Aruna. Sudah lama sampai?”
Aruna menggeleng. “Baru aja. Gimana kondisi lahannya?”
Raka berdiri dan membuka buku catatannya. “Saya baru selesai ukur kelembaban tanah dan kondisi batangnya. Area utara memang mulai kena jamur, kemungkinan besar karena kelembapan yang tidak terkontrol. Saya sudah tandai bagian yang harus segera disemprot fungisida organik.”
Aruna mencoba fokus, tapi pikirannya melayang lagi. Raka berhenti menjelaskan saat menyadari pandangan wanita itu kosong.
“Bu Aruna?” panggilnya lembut.
“Hmm?” Aruna sedikit tersentak. “Maaf, tadi saya nggak fokus...”
Raka menutup buku catatannya, lalu menatap Aruna serius. “Ibu nggak apa-apa? Maaf kalau saya lancang... tapi hari ini Ibu kelihatan... beda.”
Aruna tersenyum tipis, lalu menunduk, menghindari tatapan itu. “Saya cuma lagi banyak pikiran, Raka. Masalah rumah...”
Raka tidak mendesak. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berkata dengan nada tenang, “Kalau Ibu butuh tempat untuk cerita... saya di sini. Walau mungkin bukan siapa-siapa, tapi saya bisa dengar.”
Ada keheningan singkat di antara mereka, sebelum akhirnya Aruna menjawab lirih, “Terima kasih, Mas Raka...”
Dan untuk pertama kalinya pagi itu, Aruna merasa dihargai.
Raka memperhatikan raut wajah Aruna yang seolah tak bisa menutupi kepedihan meski ia berusaha tersenyum. Mata itu... seperti sedang menahan sesuatu yang berat.
Tanpa banyak bicara, Raka menunjuk ke arah saung kecil yang berada di bawah pohon rindang, tak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Ibu... kita duduk sebentar, yuk,” ajaknya pelan. “Kayaknya Ibu butuh istirahat sejenak.”
Aruna sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk. Mereka berjalan tanpa banyak kata, hanya suara langkah mereka di atas tanah basah dan desir angin yang menemani. Sampai di saung, Aruna duduk perlahan, merapikan rambutnya sambil menarik napas dalam.
Raka duduk di sisi lain, menjaga jarak namun tetap dalam jangkauan perhatian. Ia tidak langsung bertanya. Hanya diam, membiarkan waktu bicara lebih dulu.
“Mas Raka...” Aruna akhirnya bersuara, pelan, hampir seperti bisikan.
“Iya, Bu?”
“Kadang... aku sendiri nggak tahu apa aku masih ada artinya di dalam rumahku sendiri.”
Raka menoleh perlahan. Tapi ia tetap diam, memberi ruang agar Aruna bisa melanjutkan.
“Aku tahu... semua orang bilang pernikahan itu harus dijaga. Harus sabar. Tapi kalau yang dijaga itu justru yang terus melukai, apa masih bisa dibilang rumah?”
Ia tertawa kecil, pahit. “Maaf, Raka. Aku nggak seharusnya ngomong begini...”
“Tidak apa-apa, Bu Aruna,” jawab Raka tenang. “Saya nggak keberatan jadi tempat Ibu beristirahat sebentar. Seperti yang ibu bilang, kadang... seseorang cuma butuh didengar, bukan?”
Aruna mengangguk pelan. Dan untuk pertama kalinya sejak pagi itu, matanya mulai berkaca-kaca.
Raka duduk bersebelahan dengan Aruna di saung kayu yang menghadap ke hamparan kebun sayur. Angin sore berembus pelan, menyibak rambut Aruna yang tak ia rapikan. Matanya sembab, meski ia berusaha menyembunyikannya dengan senyum tipis yang tak utuh.
“Aku dan Bagas... sudah hampir dua puluh tahun menikah,” ucap Aruna pelan, hampir seperti berbisik pada dirinya sendiri. “Sampai sekarang kami belum dikaruniai anak. Mungkin... itu juga awal mula jarak kami tumbuh. Awalnya kami baik-baik saja. Sepuluh tahun pertama, kami bisa bicara tentang apa saja. Tapi setelah dia menekuni kariernya lebih serius, rasanya... aku makin nggak terlihat.”
Raka menoleh pelan, menatap Aruna dengan tatapan yang lebih dalam.
“Tadi pagi kami sempat bertengkar, dia hampir menamparku,” lanjutnya, suaranya lebih rendah. “Bukan tentang hal besar. Aku cuma... ingin dia mendengarkan. Keluhanku. Rasaku. Tapi dia malah mengabaikannya. Seperti... semuanya cuma lebay di matanya.”
Ia memejam sejenak, menarik napas berat.
“Kadang aku bertanya dalam hati... apakah aku terlalu berharap? Tapi apa salahnya, kalau aku cuma ingin didengar oleh orang yang kusebut suamiku?”
Raka mengepal tangannya sebentar di atas pahanya, lalu melemaskannya. Ada gejolak dalam dirinya. Ia ingin bicara dengan lebih tegas, mengekspresikan kekesalan atas sikap Bagas. Tapi ia tahu itu bukan tempatnya. Bukan perannya.
Namun tetap saja, nada suaranya berubah sedikit lebih tegas saat akhirnya ia berkata, “Seharusnya Pak Bagas harus bisa menghargai Ibu... itu bukan salah ibu.”
Aruna menoleh padanya. Pandangannya kosong, seolah masih tenggelam dalam luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh.
Raka menatap lurus ke depan. Suaranya lebih lembut kini. “Kadang orang terlalu sibuk dengan ambisinya... sampai lupa siapa yang selama ini berdiri paling dekat, paling sabar.
Saya nggak tahu harus bilang apa biar luka itu reda, tapi... saya mendengar. Saya mengerti. Dan ibu nggak salah hanya karena ingin diperhatikan. Itu sangat wajar sebagai seorang yang sering ditinggalkan.”
Aruna menunduk. Butiran kecil air mata mengalir, tapi ia biarkan saja kali ini. Tak perlu ditahan lagi. Karena akhirnya... ada yang mau mendengar.
Melihat raut wajah Aruna yang masih menyimpan sisa tangis, Raka menghela napas pelan. Ia menunduk sebentar, lalu berbicara hati-hati.
“Ibu tidak mau pulang dulu? Istirahat sebentar di rumah... sepertinya Ibu butuh waktu untuk menenangkan diri.”
Aruna menggeleng pelan. “Tidak, Raka. Justru saya ingin di sini. Melihat kebun ini... hamparan hijaunya, anginnya... entah kenapa membuat pikiran saya sedikit lebih tenang.”
Ia menatap deretan tanaman yang tumbuh subur di kejauhan. Angin siang membelai wajahnya yang kini tampak sedikit lebih rileks.
“Saya juga memang berniat ke kebun hari ini. Beberapa hari ini saya cuma mengandalkan laporanmu, Raka. Sekarang saya ingin melihat sendiri. Rindu juga rasanya.”
Raka mengangguk dengan penuh pengertian.
Aruna menarik napas dalam, lalu membuka keranjang piknik kecil yang ia bawa. “Tadi pagi saya sempat menyiapkan sedikit makanan. Memang hanya sisa masakan kemarin, tapi masih layak untuk dimakan. Saya juga bawa piring dan gelas. Siapa tahu kita bisa makan siang di sini nanti.”
Raka menatapnya dengan senyum tipis, tulus. “Wah... makan siang di tengah kebun, ditemani semilir angin. Kedengarannya menyenangkan sekali, Bu.”
Aruna tersenyum kecil, wajahnya sedikit menghangat. “Cuma makan sederhana, kok. Tapi hari ini... saya memang ingin sesuatu yang berbeda. Biar hati juga ikut berubah.”
Raka menunduk sebentar, lalu menatap Aruna dengan pandangan yang penuh simpati. Ia tahu, perempuan di hadapannya sedang berusaha keras berdiri, bahkan ketika dunia dalam dirinya sedang runtuh perlahan.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor