NovelToon NovelToon
Kutukan Seraphyne

Kutukan Seraphyne

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Cintapertama / Reinkarnasi / Iblis / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:653
Nilai: 5
Nama Author: Iasna

Dua abad lalu, Seraphyne membuat satu permintaan pada Batu Api yaitu menyelamatkan orang yang ia cintai. Permintaan itu dikabulkan dengan bayaran tak terduga—keabadian yang terikat pada kutukan dan darah.

Kini, Seraphyne hidup di balik kabut pegunungan, tersembunyi dari dunia yang terus berubah. Ia menyaksikan kerajaan runtuh, kekasih yang tak lagi mengenalnya, dan sejarah yang melupakannya. Batu itu masih bersinar merah dalam genggamannya, membisikkan harapan kepada siapa pun yang cukup putus asa untuk mencarinya.

Kerajaan-kerajaan jatuh demi kekuatan Batu Api. Para bangsawan memohon, mencuri, membunuh demi satu keinginan.
Namun tak satu pun dari mereka siap membayar harga sebenarnya. Seraphyne tak ingin menjadi dewi. Tapi dunia telah menjadikannya iblis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iasna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15: Darah yang Sama

Malam turun tenang di atas istana, memantulkan cahaya purnama yang sendu melalui jendela besar kamar Alvaren. Lelaki itu duduk diam di kursi kayu gelap, jemarinya yang kuat namun letih menggenggam batu kecil berwarna pucat keperakan—batu bulan.

Alvaren menghela napas panjang. “Kenapa semua ini terasa seperti lingkaran tak berujung...”

Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Pintu terbuka, dan masuklah sosok yang tidak pernah kehilangan wibawanya meski rambutnya telah memutih.

“Ibu,” Alvaren bangkit, sedikit terkejut. “Mengapa malam-malam begini…?”

“Karena ibumu tahu, kau tidak tidur.” Suara Ibu Suri Elvarya terdengar tenang namun dalam. Ia melangkah masuk, mengenakan jubah biru tua dengan benang emas di tepinya.

Ibu Suri menarik napas sebelum duduk di kursi seberang. “Kau dan Eldrin bertengkar hebat. Istana bergetar oleh kata-kata kalian. Banyak mata dan telinga yang mencatat. Tapi aku tidak datang untuk menegurmu. Aku datang sebagai ibu. Untuk bicara dengan putraku.”

Alvaren menggenggam batu bulan lebih erat. “Aku tidak bisa diam saat Ephyra diperlakukan seperti itu. Dia bukan ancaman. Tapi Eldrin, dia dibutakan oleh Thalean. Dan aku tidak bisa hanya berdiri melihat semua ini.”

Ibu Suri mengangguk perlahan, seperti telah menduga jawaban itu. “Darah yang sama, tak selalu berarti pandangan yang sama, Alvaren. Kau dan Eldrin dibesarkan dengan beban yang berbeda. Dia, dari kecil, tahu bahwa takdirnya adalah tahta. Kau… penjaga, perisai.”

Ia menatap Alvaren dalam-dalam. “Kau adalah api yang melindungi. Eldrin adalah cahaya yang memimpin. Tapi jika api dan cahaya saling membakar, maka yang tersisa hanyalah bayangan.”

Alvaren terdiam.

“Aku tahu Eldrin terkadang keras kepala, dan kau lebih sering memilih diam daripada menyulut api. Tapi akhir-akhir ini, kau mulai berubah. Kau mudah terpancing, terutama saat menyangkut tabib Ephyra.”

Alvaren menunduk. “Aku hanya… merasa dia tak pantas diperlakukan seperti itu. Dia melakukan semua pekerjaannya, bahkan saat tubuhnya sendiri tak sanggup berdiri.”

Ibu Suri memandanginya dengan penuh rasa iba. “Kau peduli padanya.”

Alvaren tak menjawab. Tapi diamnya adalah pengakuan yang paling jujur.

“Aku juga memperhatikan Ephyra,” lanjut Elvarya. “Dia bukan wanita biasa. Tenangnya, kekuatannya, seakan menyimpan sesuatu yang jauh lebih besar dari apa yang ia tunjukkan.”

Ia menoleh. “Tapi yang perlu kau ingat, Alvaren, bahwa tidak semua pertarungan bisa kau menangkan dengan pedang atau amarah. Jika kau benar-benar ingin melindunginya, lindungilah dia dengan cara yang bijak. Jangan sampai kau malah jadi senjata yang digunakan musuh untuk menjatuhkannya.”

Alvaren mengerutkan dahi. “Ibu… apa kau berpikir raja salah?”

Elvarya menghela napas. “Raja… adikmu… dia mudah dibutakan oleh orang yang manis bicara seperti Thalean. Dan jika benar bahwa ada permainan kotor di balik ramuan yang membuat sang putri sakit… maka Ephyra mungkin bukan satu-satunya target.”

Mata Alvaren melebar. “Kau yakin Thalean…”

“Aku tidak bicara soal keyakinan,” potong Elvarya lembut. “Aku bicara soal firasat seorang ibu yang sudah terlalu lama melihat manusia bermain di balik tirai kekuasaan.”

Ibu suri berdiri, membiarkan putra sulungnya berpikir sejenak. Pintu tertutup dengan pelan, meninggalkan Alvaren dalam kesunyian. Ia kembali menatap batu bulan itu, dan untuk pertama kalinya, terasa seolah cahaya lembutnya menyentuh sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kenangan.

...****************...

Seraphyne berjalan lemah saat keluar dari kamar Putri Athelya. Hampir separuh energi batu api dia gunakan untuk mengobati Putri Athelya dan setelah ini dia tahu apa yang akan terjadi pada tubuhnya.

Keringat sudah membasahi dahinya tapi di lorong itu hanya ada dia sendiri karena memang sudah tengah malam.

"Aku sudah memperingatkanmu, Seraphyne."

Seraphyne menghentikan langkahnya saat kembali mendengar suara itu. Suara dari batu api purba.

"Kau akan hancur karena batu api di dalam tubuhmu."

"Bukankah ini yang kau inginkan?" gumamnya pelan. Tubuhnya ambruk di tanah saat kakinya mulai melemah.

"Sudah dua ratus tahun dan kau terlalu banyak menggunakan energi batu api, tidak seperti batu-batu lain. Cepat atau lambat batu api akan menghancurkan tubuhmu, Seraphyne. Jika kau tidak berhenti sekarang, maka semuanya akan sia-sia."

Seraphyne hanya diam. Pandangannya bahkan sudah berkunang-kunang tapi apa yang berada di atas hanya pandai mengoceh, mencegahnya dengan kata-kata tapi tak pernah memberikan solusi nyata.

Dari kejauhan dia melihat Alvaren berlari ke arahnya. Dia sudah menarik perhatian Alvaren.

"Apa yang terjadi padamu? Apa mereka menyiksamu di penjara bawah tanah?" tanyanya sambil membawa tubuh ringkih Seraphyne ke pelukannya.

Panas. Itu yang pertama ia rasakan saat menyentuh kulit Seraphyne. Dia tahu apa yang terjadi dan tanpa bertanya lagi dia segera membawa Seraphyne ke balai pengobatan.

"Mareen, Rae!" teriaknya begitu tiba di balai pengobatan.

Mareen dan Rae berjalan tergesa-gesa. Saat melihat Seraphyne di gendongan Alvaren, mereka langsung menyiapkan air es.

Alvaren menatap wajah Seraphyne yang tampak kelelahan. Entah apa yang terjadi padanya di penjara bawah tanah, tapi satu yang Alvaren ketahui. Dia menyesal karena tidak cepat mengeluarkan Seraphyne dari sana.

"Air sudah siap, panglima," ucap Rae.

Alvaren segera menuju ke belakang dan menurunkan Seraphyne ke kolam yang berisi air es. Uap mengepul di sekitar tubuh Seraphyne membuat Alvaren menghela napasnya. Wanita itu kembali tak sadarkan diri.

Mareen melirik Rae seolah mengisyaratkan gadis itu untuk masuk kembali. Setelah Rae masuk, Mareen berjalan mendekati Alvaren.

"Panglima, sebenarnya ada yang ingin aku katakan tentang Ephyra." ucap Mareen yang membuat Alvaren langsung menatapnya.

Mareen tahu Seraphyne tidak akan suka jika dia berkata seperti ini, tapi dia tidak punya pilihan lain.

"Sebenarnya Ephyra adalah Seraphyne, pemilik batu api yang sudah hidup selama dua ratus tahun."

Ada sedikit keterkejutan di wajah Alvaren, tapi kemudian dia kembali menatap Seraphyne. "Aku sudah menduganya,"

"Panglima tahu bagaimana kisah Seraphyne, bukan? Yang ingin aku katakan adalah, sebenarnya panglima merupakan reinkarnasi raja dua ratus tahun lalu, kekasih Seraphyne."

Alvaren tertegun. "Benarkah yang kau katakan, Mareen?"

"Aku sering mendengar percakapan kalian saat di Desa Narathor. Mimpi yang panglima lihat bukanlah sekadar bunga tidur, itu adalah ingatan dari masa lalu panglima. Aku tidak tahan lagi melihat bagaimana Seraphyne terluka karena orang yang dia cintai sama sekali tidak mengingatnya. Lalu di kehidupan ini pun dia sengaja membiarkan panglima untuk tidak mengingatnya karena dia takut takdir akan menyeret penglima kembali." mata Mareen sudah berkaca-kaca saat menatap Seraphyne yang masih tidak sadarkan diri.

"Sepertinya aku tahu harus kemana. Mareen, tolong jaga Ephyra sementara. Jangan biarkan dia mengobati orang sampai keadaannya benar-benar pulih. Aku harus mencari tahu ingatanku sendiri."

Mareen hanya mengangguk, tidak mencegah Alvaren. Sampai Alvaren menghilang di balik pintu, Mareen kembali menatap Seraphyne.

"Aku harap kisahmu bahagia kali ini, Seraphyne."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!