Sebuah novel romansa fantasi, tentang seorang gadis dari golongan rakyat biasa yang memiliki kemampuan suci, setelahnya menjadi seorang Saintes dan menjadi Ratu Kekaisaran.
Novel itu sangat terkenal karena sifat licik dan tangguhnya sang protagonis menghadapi lawan-lawannya. Namun, siapa sangka, Alice, seorang aktris papan atas di dunia modern, meninggal dunia setelah kecelakaan yang menimpanya.
Dan kini Alice hidup kembali dalam dunia novel. Dia bernama Alice di sana dan menjadi sandera sebagai tawanan perang. Dia adalah pemeran sampingan yang akan dibunuh oleh sang protagonis.
Gila saja, ceritanya sudah ditentukan, dan kini Alice harus menentang takdirnya. Daripada jadi selir raja dan berakhir mati mengenaskan, lebih baik dia menggoda sang duke yang lebih kejam dari singa gurun itu. Akankah nasibnya berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Sosok Iris
Tok!
Tok!
Tok!
“Siapa?” Suara perempuan terdengar dari dalam kamar itu, dia tampak mengenakan baju putih dengan dada yang terpampang, hanya menutupi bagian ujungnya saja.
“N-Nona Saintes, saya ditunjuk kemari.” Suara terbata seorang pria terdengar bergetar.
“Ah ya, aku melupakan bagian ini. Masuklah, dan tutup kembali pintunya.” Wanita itu turun dari ranjangnya, menginjak permata-permata berharga itu.
Seorang pria tampan dengan rambut pirang pucat serta mata yang indah memasuki kamar itu, dia tampak mengenakan baju pendeta yang rapi.
“Lumayan, kau sudah berpengalaman, tampan?” tanya wanita itu, menaruh jemari lentiknya di atas dada pria itu lalu naik ke jakun yang tampak turun naik.
“Saya pernah melakukannya, Nona. Namun untuk urusan pengalaman, Anda dapat menilainya nanti.” Pria itu meletakkan kedua tangannya di pinggang ramping wanita di hadapannya yang tak lain adalah Iris, dia menempelkan tubuh mereka hingga tak ada jarak di antara keduanya.
“Lumayan menawan, menantang, dan berani. Puaskan aku malam ini, aku akan membiarkanmu mengambil apa pun dari kamarku, semampu yang kau bawa dengan kedua tanganmu.” Iris menarik pria itu ke atas ranjangnya, membiarkannya berbaring di atas tubuhnya yang dihiasi berlian.
Ya, itulah Iris Irahel. Sosok yang baru saja tiba dari daerah kumuh, yang memiliki kemampuan suci dan diangkat sebagai Saintes. Namun tanpa orang ketahui, begitulah kehidupannya di dalam Kuil Agung.
“Nona, kami berhasil menyelundupkan seorang pria ke dalam kamar Nona Iris. Apa selanjutnya?” Seorang kesatria berbaju hitam melapor saat matahari tengah sepertiga di langit siang.
“Biarkan dulu, kita juga tidak terlalu terburu-buru. Setidaknya saat ini saya sudah tahu siapa Iris sesungguhnya. Selebihnya, kita akan bertindak dan membongkar semua aib itu.” Alice menyeringai, dia yakin bila besok wanita itu akan hadir dalam pesta berburu.
Pesta berburu sangatlah tepat untuk mendapatkan pengakuan di kalangan sosialita, karena bukan hanya keanggunan, namun juga kemampuan. Iris tak mungkin melewatkan kesempatan sebagus ini untuk ‘cari muka’. Ya, apa lagi selain itu?
Alice membawa gaun dan juga celana sekaligus. Para pelayan di kediaman itu kebingungan menyaksikan Nyonya mereka tampak bergelut dengan benang dan jarum sejak pagi buta.
Bahkan Lucian sempat mengeluh karena saat sarapan pun Alice tampak fokus dengan sketsa-sketsa di tangannya yang tampak begitu rinci, seolah tak ingin meninggalkan kesalahan sedikit pun.
Namun memang pada dasarnya, Lucian paham akan kondisi Alice. Kini dirinya juga harus mencari sosok Putra Mahkota yang sesungguhnya, yang dibawa pergi oleh sang panglima perang.
Ini juga bukan perkara yang mudah bagi Lucian, ditambah kemampuan sang panglima dalam membuat persembunyian tidaklah mudah dilacak. Sekalinya ketemu, pasti tempat itu sudah kosong. Bahkan dalam satu minggu terakhir terdapat lebih dari lima tempat yang sudah menjadi tempat perlindungannya.
“Besok, bukankah pesta berburu itu?” Lucian masih betah berada di ceruk leher istrinya saat Alice tampak begitu senang melihat gaun di hadapannya.
“Benar, dan Anda harus ikut!” tekan Alice. Lucian mengangguk dan kembali menghirup aroma tubuh Alice yang baginya cukup memabukkan itu.
“Ayo kita lakukan, istriku.” Lucian mulai bermain dengan tangannya, menyibakkan gaun tidur yang dipakai sang istri.
“Hanya satu kali, kita harus melakukan sesuatu besok!” peringat Alice sebelum menunaikan kewajibannya sebagai istri Lucian.
“Heem, baiklah.” Tak hentinya Lucian mengecup berbagai tempat sensitif yang kini sudah dihafalnya dalam tubuh sang istri.
Malam panas akhirnya tercipta, sedangkan pagi tiba dengan warna jingga yang menyala. Suara nyanyian burung terdengar merdu di dekat jendela, seolah membangunkan sang penghuni kasur yang tampak masih betah saling mengecup dan mengecap pagi itu.
“Sudah, Lucian! Kita kesiangan, sayang.” Alice memukul dada sang suami yang tak kunjung membiarkannya pergi pagi itu.
“Satu kali lagi. Saat di luar Anda selalu menarik jarak dan membulatkan mata Anda saat saya melakukan hal seperti ini.” Lucian menggerutu. Alice terkekeh dan mengecup kening sang suami sebelum akhirnya bangkit dari ranjang dan mengusap punggung suaminya yang belum mengenakan sehelai benang pun pagi itu.
“Sudah, ayo mandi!” ajak Alice beranjak menuju kamar mandi. Lucian menghela napas kasar dan mengikuti istrinya.
Gaun dan pakaian yang dikenakan Lucian nyatanya tak sesederhana yang dibayangkan oleh Lucian. Banyak bagian dari baju yang dikenakan Lucian ternyata berisi banyak senjata mematikan.
Contohnya saja di bagian baju, Lucian mengenakan kemeja merah marun yang tampak biasa saja, namun kenyataannya di baliknya tersembunyi banyak sekali racun mematikan. Lucian sampai was-was saat menggunakannya, namun karena Lucian sudah meminum obat penawar, alhasil apa pun yang terjadi pada kemeja itu tak akan berefek apa pun pada Lucian.
Selanjutnya adalah rompi yang dibuat khusus dari berbagai material yang bahkan Lucian sendiri tak mengetahuinya. Alice bilang itu sejenis rompi anti peluru yang dapat membuat panah tak akan mempan pada tubuh Lucian dan tidak akan menyakiti sedikit pun tubuh bagian intinya Lucian.
Selanjutnya adalah mantel resmi, tampak sangat rapi dengan ukuran yang hampir selutut. Di dalamnya tersembunyi ratusan jarum, senjata, dan bahkan bahan peledak yang dijelaskan satu demi satu cara penggunaannya oleh Alice. Sedangkan di bagian lain ada jubah besar yang sampai menyentuh mata kaki. Di baliknya ada katana, sejenis pedang yang begitu elastis dan fleksibel. Ada juga berbagai pelindung dan bisa juga digunakan sebagai perisai dadakan saat dilengkungkan.
Bukan hanya pakaian, aksesori, celana, bahkan sepatu juga diperbarui dengan berbagai senjata. Seperti belati saat menekan tumit dengan membebankan seluruh tubuh Lucian, ada juga jarum, hingga sepatu itu juga dapat mengeluarkan banyak senjata lainnya.
“Bagaimana, Lucian?” Alice tampak sangat percaya diri. Dia bahkan sangat bangga akan kemampuannya sendiri yang memukau.
“Ini memang luar biasa. Saya jadi ragu menggunakan barang berharga seperti ini.” Ucap Lucian, bukan hanya takut merusaknya, tapi juga takut bila senjata itu justru mencelakai dirinya.
“Yah, karena kemampuan berpedang Anda cukup baik, Anda tidak selengkap saya. Senjata saya bahkan super lengkap dan sangat keren.” Alice mengenakan gaunnya dengan anggun.
Dua orang pelayan yang membantu mengenakan gaun Alice bahkan tampak langsung kelelahan. Sedangkan Alice sendiri tampak amat tidak sabar untuk segera menarik banyak perhatian.
Mungkin setelah hari ini, ada gelar baru yang akan disandang Corvin selain Duke kejam tak berperasaan. Namun hal itu memang sudah melekat dari generasi sebelumnya, jadi ditambah satu julukan lagi nampaknya tidak cukup memberatkan juga.
Alice tersenyum sendiri, melangkah dari dalam kediaman Corvin bersama Lucian, menaiki kereta kuda yang akan membawa mereka pada pesta—ah, mungkin lebih tepat disebut perang dingin para bangsawan. Ya, istilah itu lebih cocok untuk perkumpulan bangsawan kali ini.
Karena sejatinya, perkumpulan bangsawan dibuat untuk memamerkan segala bentuk kemampuan mereka, segala bentuk kepemilikan mereka, dan segala bentuk kekuasaan mereka.
...KATA-KATA HARI INI...
..."Ketika yang lain sibuk tampil, ia sibuk menyiapkan jalan. Maka saat badai datang, dialah yang tetap berdiri.”...