Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 : Between Us
Sinar matahari pagi mengintip malu-malu lewat celah tirai, menyentuh kulit mereka yang masih saling berpelukan. Luna menggeliat kecil, matanya mengerjap malas, lalu mendesah pelan saat merasakan kehangatan tubuh Xavier yang masih membungkusnya erat dari belakang.
Lengan kekar Xavier melingkari pinggangnya, menarik Luna lebih dekat lagi hingga punggungnya menempel di dada telanjang pria itu.
"Selamat pagi, sleepyhead," bisik Xavier di telinganya, suara seraknya membuat bulu kuduk Luna berdiri.
Luna hanya menggumam, mengusap wajahnya ke bantal dengan malas, mencoba kembali tidur. Tapi Xavier punya niat lain.
Dengan gerakan nakal, Xavier menurunkan satu tangannya, mengelus lembut perut datar Luna, lalu turun lebih jauh, menyusuri selangkangannya dengan sentuhan lembut namun menggoda.
Luna terkesiap kecil, tubuhnya bereaksi spontan terhadap sentuhan itu.
"Xavier..." gumamnya, setengah menegur.
"Diam saja. Nikmati saja," bisik Xavier penuh godaan, sebelum ia mulai mengecup tengkuk Luna, meninggalkan jejak-jejak basah di sepanjang kulit sensitif itu.
Tangannya terus bergerak perlahan, membelai, menekan, mengusik bagian paling rapuh dari Luna. Gadis itu menggigit bibirnya kuat-kuat, berusaha menahan suara, tapi sia-sia. Desahan manja lolos juga dari bibirnya.
Tubuh Luna melunak dalam pelukan Xavier, menyerah pada permainan pagi itu.
Tak butuh waktu lama, Luna berbalik, mendorong tubuh Xavier hingga pria itu kini berbaring telentang. Dengan pipi memerah, Luna memanjat tubuh Xavier, menatapnya dengan tatapan mengantuk namun penuh gairah.
"Aku ingin membalas," katanya serak.
Xavier menyeringai, membiarkan Luna mengambil alih.
Dengan gerakan perlahan, Luna menunduk, mencium bibir Xavier dengan lembut. Tangannya menjelajahi dada bidang pria itu, turun ke perut berototnya, lalu lebih rendah lagi, hingga Xavier mendesah berat karena sentuhan itu.
Pagi itu menjadi milik mereka berdua. Tubuh mereka menyatu lagi, dalam gerakan yang lebih lambat, lebih dalam, dan jauh lebih intim dibandingkan semalam.
Mereka bercinta dengan pelan, menikmati setiap detik, setiap sentuhan, seolah dunia di luar sana tidak ada artinya.
Setelah semuanya usai, Luna berbaring di dada Xavier, mendengarkan detak jantungnya yang stabil, merasa nyaman dan... aman.
"Kalau setiap pagi sehangat ini, aku tak keberatan bangun lebih pagi," gumam Luna, membuat Xavier terkekeh dan mengecup puncak kepalanya penuh sayang.
Mereka pun kembali terlelap dalam pelukan satu sama lain, membiarkan pagi berlalu tanpa beban, tanpa kata-kata... hanya keheningan yang manis dan damai.
Akhirnya Luna tersadar dari kehangatan pelukan itu, mengingat kewajibannya yang sempat terlupakan. Ia mendadak bangkit dari tempat tidur, membuat selimut terlepas dari tubuhnya.
"Aduh! Aku harus ke galeri!" serunya panik.
Dalam buru-burunya, Luna hampir saja tergelincir karena pakaian yang berserakan di lantai. Kakinya terpeleset sedikit, membuat tubuhnya oleng.
"Luna, hati-hati!" seru Xavier sambil refleks melompat turun dari tempat tidur.
Dengan sigap, Xavier menangkap lengan Luna sebelum tubuh mungil itu jatuh membentur lantai. Nafas Luna memburu, matanya membelalak karena kaget.
"Aku bilang juga apa, jangan terlalu terburu-buru," gumam Xavier.
"Aku benar-benar terlambat, Xavier!" rengek Luna.
Xavier terkekeh pelan, menikmati wajah panik gadis itu.
"Kalau kau jatuh dan terluka, kau akan lebih terlambat lagi."
"Aku tahu!" sahut Luna cepat, sebelum berlari kecil menuju kamar mandi, masih tanpa sehelai benang pun.
Xavier hanya menggeleng, mengagumi pemandangan yang baru saja ia lihat sebelum membenahi sedikit kekacauan di kamar. Ia memunguti pakaian mereka yang berserakan, menyeringai kecil saat menemukan bra Luna terjepit di bawah bantal.
Beberapa saat kemudian, Luna keluar dari kamar mandi, tergesa-gesa sambil mengenakan pakaian. Rambutnya masih basah, meneteskan air ke bahunya.
"Kenapa kau tidak membangunkanku lebih awal?" protes Luna sambil mencari tasnya yang entah di mana.
Xavier bersandar santai di dinding, melipat tangan di dada, menikmati tingkah gadis itu.
"Aku mencoba membangunkanmu..." jawab Xavier pura-pura polos, "Tapi kita malah sibuk melakukan hal lain."
Luna melemparkan tatapan kesal bercampur malu ke arah Xavier, membuat pria itu terkekeh puas.
"Kau menyebalkan," gerutu Luna sambil memasukkan semua barangnya ke dalam tas dengan gerakan tergesa-gesa.
Xavier mendekat, meraih dagu Luna, lalu mencium keningnya sekilas. "Hati-hati di jalan. Jangan membuatku khawatir."
Luna hanya mengangguk buru-buru, lalu berlari keluar dari apartemen, meninggalkan aroma sabun mandi dan kehangatan pagi yang belum sepenuhnya hilang.
Xavier berdiri di ambang pintu, menatap kepergian Luna dengan senyum tipis di wajahnya, sebelum kembali masuk dan menutup pintu perlahan.
*
Luna tiba di galeri dengan napas terengah-engah, sepatunya berdecak di lantai marmer putih yang mengilap. Ia bahkan belum sempat menyentuh sarapan, perutnya sudah protes dengan bunyi lirih yang memalukan. Tapi semua itu tak dihiraukannya.
Begitu memasuki ruangan utama, ia langsung disambut dengan keramaian. Beberapa tamu sudah berdatangan lebih awal.
"Astaga, Luna! Kenapa terlambat?!" teriak Zora, sambil berlari kecil menghampiri.
"Aku... ada sedikit kendala," jawab Luna sambil mengatur napas.
Zora menatap Luna dari atas sampai bawah, memperhatikan rambutnya yang masih agak lembap dan pipinya yang bersemu merah. Zora mengerutkan kening curiga, namun memilih tidak bertanya lebih jauh.
"Ayo cepat! Para kolektor sudah mulai berdatangan. Beberapa dari mereka ingin bertemu langsung dengan senimannya," kata Zora sambil menarik tangan Luna ke arah belakang, tempat ia bisa berganti pakaian yang lebih formal.
Dalam lima belas menit, Luna sudah tampil lebih rapi, mengenakan gaun putih sederhana dengan rambut dikuncir setengah. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya.
Saat berjalan menyusuri ruangan, matanya menangkap sosok seorang pria berjas gelap yang berdiri sendirian di depan salah satu lukisan favoritnya. Pria itu tampan, dengan aura misterius yang kuat. Ia tampak begitu fokus memperhatikan detail lukisan, seolah bisa membaca cerita tersembunyi di balik setiap goresan kuas.
"Siapa dia?" bisik Luna pada Zora.
Zora berdeham pelan. "Dia klien baru, katanya tertarik membeli beberapa karya. Namanya Vincent Nathanael. Kaya, berpengaruh, dan katanya... single."
Luna hanya mengangguk malas, tidak terlalu tertarik pada deskripsi itu. Fokusnya sekarang adalah pameran, bukan kehidupan pribadi.
Namun saat Vincent berbalik dan tatapan mereka bertemu, Luna merasakan sesuatu yang aneh. Wajahnya seperti familiar.
Vincent melangkah mendekat, senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Lukisanmu... luar biasa," ucapnya, suara baritonnya terdengar dalam dan menggetarkan.
"Terima kasih," sahut Luna sopan.
"Aku ingin berbicara lebih banyak tentang karya-karyamu... mungkin sambil ngopi setelah pameran selesai?" tawar Vincent santai.
Luna sempat terdiam. Ia menimbang dalam hati.
"Aku pikir itu ide bagus," jawab Luna akhirnya, menjaga senyumnya tetap profesional.
Di sudut ruangan, Zora memberi kode jempol dengan semangat.
Luna hanya menghela napas panjang. Hari ini tampaknya akan jadi panjang... dan menarik.
To Be Continued >>>
semangaaattt ya thor
Aku dukung 🥰