Neil sudah meninggal, suami yang terobsesi padaku, meninggal dalam senyuman... menyatakan perasaannya.
"Jika aku dapat mengulangi waktu, aku tidak akan membiarkanmu mati..." janjiku dalam tangis.
Bagaikan sebuah doa yang terdengar, kala tubuh kami terbakar bersama. Tiba-tiba aku kembali ke masa itu, masa SMU, 11 tahun lalu, dimana aku dan Neil tidak saling mengenal.
Tapi...ada yang aneh. Suamiku yang lembut entah berada dimana. Yang ada hanya remaja liar dan mengerikan.
"Kamu lumayan cantik...tapi sayangnya terlalu membosankan." Sebuah penolakan dari suamiku yang seharusnya lembut dan paling mencintaiku. Membuatku tertantang untuk menaklukkannya.
"Setan! Aku tau di bagian bawah perutmu, tepat sebelum benda pusakamu, ada tahilalat yang besar!" Teriakku padanya. Membuat dia merinding hingga, menghentikan langkahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KOHAPU, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Silent
Bagaimana rasa pasta (spaghetti) dicampur dengan sampah? Sudah pasti menyakitkan bukan?
Tiga ekor kadal yang mencoba untuk menyerang empat ekor buaya. Cheisia tersenyum mengepalkan tangannya usai menyiram Bianca menggunakan spaghetti.
Membunuhnya? Jika bisa Cheisia ingin melakukannya. Masih benar-benar teringat di benaknya sebelum waktu terulang, hal-hal yang dilakukan Bianca untuk menghalangi kebahagiaannya. Puncaknya bagaimana Neil terbunuh, lebih tepatnya bagaimana suaminya memutuskan untuk mati, hanya demi dirinya dibiarkan dirinya untuk hidup. Bagaimana Bianca mendesak Neil menuju jalan kematian.
"Cheisia!" Bentak Bianca terlihat marah besar.
"Apa!? Dasar anak adopsi, berani-beraninya memanggil namaku dengan nada tinggi. Begini, jika kamu tidak menyebutkan namaku tadi, dan tetap ambigu seperti teman-temanmu, maka aku tidak akan bergerak. Tapi terang-terangan menyebutkan namaku? Kamu mau mati?" Tanya Cheisia dengan aura membunuh tidak main-main.
Sebelum waktu terulang, dirinya terlalu baik dan lugu, apakah seperti malaikat? Mungkin. Tapi tidak saat ini, bagaikan sang malaikat kali ini berubah menjadi iblis. Sayap putihnya telah menghitam setelah melihat kematian satu-satunya orang yang dicintainya.
"Dasar wanita murahan!" Sari hendak memapar Cheisia. Tapi dengan cepat Risa menahannya.
"Ayahku adalah PNS, seorang kepala sekolah. Berani-beraninya kamu!" Teriak Sari, kala Risa menancapkan kukunya yang full perawatan, kala mencengkeram pergelangan tangan Sari.
"Kamu bahkan tidak pantas untuk mengenakan seragam sekolah kami. Dasar kampungan." Jessie masih duduk di kursinya, sembari tertawa. Wanita yang masih saja mengambil gambar dekorasi cafe ini sebagai bahan referensi cafe yang akan mereka buka.
"Aku akan mengatakan kejadian ini pada ibu dan ayah! Kamu tau akibatnya?" Ancam Bianca.
"Katakan saja..." Cheisia tersenyum dingin.
"Cheisia kamu tau ayahku adalah penegak hukum (polisi) bukan?" Kalimat ancaman yang selalu digunakan Jelita di sekolah.
"Kalau begitu mengadu lah. Karena aku pastikan, sekali aku mengetahui nama ayahmu, kehidupan keluarga kalian akan hancur." Tiba-tiba nada suara Tantra berubah dari lemah gemulai, menjadi terkesan mengintimidasi.
Cheisia, Risa dan Jessi menoleh bersamaan ke arah Tantra mengapa teman mereka yang moe-moe menjadi sangar? Tapi dengan waktu sepersekian detik Tantra kembali berubah."Hah...lelah... pulang yuk! Bill (tagihan)." Teriak Tantra dengan suara lembut memanggil pelayan.
Apa mereka tadi salah dengar? Entahlah.
"Cheisia! Aku akan mengingat ini! Kakak angkat yang kejam selalu membully anak adopsi." Sari menghempaskan tangannya yang dicengkeram Risa.
"Anj*ng bergaul dengan anj*ng, kucing bergaul dengan kucing. Wanita murahan bergaul dengan wanita murahan." Cemooh Cheisia.
Tidak tahan lagi, Bianca bangkit. Kalimat makian yang paling dibenci olehnya mengingat dirinya merupakan anak hasil perselingkuhan kedua orang tuanya.
"Dasar...." Kala inilah sifat asli Bianca keluar, dirinya hendak melempar wajah Cheisia menggunakan gelas kaca.
Namun.
Prang!
Neil menendang gelas, sebelum mengenai wajah Cheisia.
"Ka ... kapan kamu datang?" Tanya Cheisia gugup.
"Sudah dari 10 menit yang lalu, aku duduk di meja sebelah sana. Kalian terlalu fokus berdebat. Lain kali jangan berhadapan dengan hal berbahaya sendiri." Neil tersenyum lembut, mengusap pucuk kepala Cheisia.
Membuat gadis itu tertegun, inilah suaminya. Willem Alexander Niel Andreas, seseorang yang selalu ada untuknya, tidak akan pernah berpaling darinya.
"Ayo pergi! Ibuku sudah menunggu." Lanjut Neil menarik tangannya. Jantung Cheisia berdebar kencang, menatap ke arah punggung orang yang dicintainya. Tangan dingin, tapi tetap terasa lebar dan memberi rasa nyaman.
"Aku titip masalah ini pada kalian! Kakanda sudah menjemputku!" Teriak Cheisia pada ketiga temannya melangkah pergi bersama Neil.
Sedangkan Bianca begitu gugup melihat ke arah pecahan kaca di lantai. Apa yang sudah dilakukannya? Bagaimana jika Sela dan Dirgantara mengetahui dirinya bermaksud melukai wajah Cheisia?
"Panggil security! Kita akan melaporkan ini sebagai tindakan penyerangan." Tantra terlihat begitu kesal saat ini.
"Kita lihat bagaimana orang tua murid bernama Jelita ini, akan mengurus putrinya sendiri." Ucap Risa, membaca baik-baik nama yang terdapat di seragam Jelita. Mengingat orang tua Jelita merupakan seorang anggota kepolisian.
"Ayo pergi!" Bianca menarik tangan kedua temannya.
Namun dengan cepat pula dua orang security, bersama seorang waiter, menghentikan mereka."Kalian merusak properti, ditambah memesan tanpa membayar."
"Jangan lupa tindakan penyerangan." Risa tersenyum setelah menghubungi pihak kepolisian.
Kala inilah akan terlihat, bagaimana kekuatan kalangan atas dalam menyelesaikan masalah.
"Cheisia yang duluan menyiramku dengan spaghetti." Cecar Bianca.
"Tapi, kamu mencoba membunuhnya." Tantra tersenyum, diikuti dengan senyuman mengintimidasi kedua temannya.
*
Tangannya ditarik dengan cepat meninggalkan tempat itu. Tidak terlihat senyuman sedikitpun dari raut wajah Neil. Tapi anehnya bukan tempat parkir bawah tanah tujuan mereka.
Cheisia ditarik ke dalam salah satu bilik toilet pria."Neil!" Cheisia berusaha meronta. Bagaimana bisa seorang wanita dibawa ke bilik toilet pria.
Tapi tunggu dulu? Apa mereka akan membuat anak di bilik toilet?
Kala pintu bilik toilet yang sempit tertutup, Neil memojokkannya.
"Neil, ki...kita keluar ya? Ibumu pasti sudah menunggu kita." Ucap Cheisia gugup.
"Sttt...kamu ingin keberadaanmu diketahui di tempat ini? Jika ingin bicaralah lagi." Bisik Neil, dengan jarak beberapa centimeter dari wajahnya.
Hembusan napas dengan bau mint yang segar. Bentuk bibir yang begitu indah. Apa Neil benar-benar akan melakukannya di tempat ini? Entahlah...
Cheisia memejamkan matanya, bersiap akan diserang oleh pria dingin ini.
Tapi.
"Kenapa tutup mata? Hei! Bodoh! Jika ada yang mengganggumu katakan padaku. Jangan sampai wajahmu yang jelek bertambah jelek, karena bekas luka." Neil tersenyum, benar-benar membuat Cheisia kesal setengah mati.
Tapi dirinya tidak dapat bicara, tidak ingin orang yang berada di bilik sebelah mengetahui keberadaannya saat ini. Betapa memalukannya jika ketahuan memasuki kamar mandi pria.
"Neil jahat!" Batin Cheisia.
"Jangan-jangan kamu tutup mata karena mengira aku akan menciummu. Jujur saja, berciuman denganmu itu menjijikan. Dibayar berapa pun aku tidak akan mau." Neil tersenyum menghina, di tempat inilah Cheisia tidak akan berani menjawab kata-katanya.
"Dasar setan!" Kembali Cheisia hanya dapat berusaha tersenyum, memendam rasa kesalnya pada Kakanda.
Neil menghela napas kasar."Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan ini, tapi kamu sama sekali bukan tipeku. Karena itu setelah ini berakhir, setelah kesembuhan ibuku. Jangan pernah berharap aku akan mencintaimu."
Jarak yang begitu dekat, wajah rupawan dari pemuda yang dulunya begitu mencintainya.
"Kamu fikir hanya dengan ini aku akan menyerah!? Aku akan mengupas perasaanmu yang sebenarnya! Kemudian membuat anak yang banyak denganmu!" Teriak Cheisia penuh kemarahan dalam hatinya.
"Aku tidak akan pernah mencintaimu---" Kalimat Neil terhenti.
Wanita yang tiba-tiba saja berjinjit mencium bibir sang pemuda, agar berhenti bicara.
Tangan Neil pada awalnya bergerak hendak mendorong. Tapi anehnya matanya terpejam perlahan, bagaikan menyambut apa yang dilakukan wanita ini. Bagaikan tidak ada perlawanan, tangan yang kini berada di pinggang Cheisia.
"Kamu masih akan dapat mencintaiku. Neil..." Cheisia tersenyum, namun air matanya mengalir. Betapa tulus suaminya, dirinya lebih mengetahui segalanya.