Original Story by Aoxue.
On Going pasti Tamat.
Ekslusif terkontrak di NovelToon, dilarang plagiat!
Di tengah hujan yang deras, seorang penulis yang nyaris menyerah pada mimpinya kehilangan naskah terakhirnya—naskah yang sangat penting dari semangat yang tersisa.
Tapi tak disangka, naskah itu justru membawanya pada pertemuan tak terduga dengan seorang gadis misterius berparas cantik, yang entah bagaimana mampu menghidupkan kembali api dalam dirinya untuk menulis.
Namun, saat hujan reda, gadis itu menghilang tanpa jejak. Siapa dia sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aoxue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 - Hujan
Sudah berhari-hari lamanya sejak Liliana memanjatkan harapannya pada hujan. Namun, langit masih saja cerah tanpa satu tetes pun yang jatuh ke bumi.
Musim panas terasa begitu panjang dan kering, seolah dunia pun menolak memberikan kesempatan kedua untuk bertemu dengan Sean.
Liliana menghabiskan waktunya di kamar, menatap langit dari balik jendela besar kediaman Shinomiya.
Senyumnya perlahan memudar hari demi hari, setiap suara hujan palsu dari film, dari ponsel, atau suara dedaunan tertiup angin hanya memperparah kerinduannya.
Melihat keadaan itu, kepala keluarga Shinomiya menghela napas dalam-dalam.
Dengan suara pelan namun tegas, ia memerintahkan salah satu pelayan terpercaya, "Ajak Liliana ke kota, biarkan dia berjalan-jalan, siapa tahu dunia luar bisa menghibur hatinya."
Pelayan itu segera mendekati kamar Liliana dan dengan sopan mengetuk pintu, lalu mengajaknya keluar.
Awalnya Liliana ragu, wajahnya masih diliputi kesedihan. Namun, setelah beberapa saat, ia berdiri perlahan dan berkata,
"Mungkin aku memang butuh menghirup udara luar, siapa tahu mungkin saja takdir lain sedang menunggu di luar sana."
Dia mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda, rambutnya dibiarkan tergerai, dan langkahnya sedikit berat saat melewati gerbang depan.
Mobil keluarga pun membawa mereka menuju pusat kota.
Sepanjang perjalanan, Liliana menatap keluar jendela, bangunan-bangunan yang asing namun terasa akrab, lampu-lampu jalan yang mengingatkannya pada dunia Sean dan dia tidak tahu apa yang akan dia temui tapi ada harapan kecil di hatinya.
Siapa tahu, jika dia terus berjalan dia bisa bertemu dengan Sean sekali lagi.
...----------------...
Sudah satu bulan lamanya sejak hujan terakhir kali membasahi kota, dan bagi Sean, bulan itu terasa seperti satu tahun penuh kesepian.
Jendela kamarnya selalu tertutup tirai, lampu kamar dibiarkan redup, dan aroma kopi basi yang tak disentuh pun sudah menjadi hal biasa di meja belajarnya.
Dia duduk di ranjang, memandangi layar laptop yang terbuka namun kosong, tak satu kata pun berhasil dia tulis lagi sejak Liliana menghilang.
Elio, yang kini sering menginap di apartemen Sean, melakukan apa pun yang bisa dia lakukan untuk menyemangati temannya.
Kadang membawa makanan cepat saji, kadang memutar film komedi keras-keras, bahkan sesekali dengan konyol menyanyikan lagu-lagu lawas yang biasanya membuat Sean tertawa.
Namun tidak kali ini, "Sean, gue tahu lu masih mikirin dia," kata Elio pelan suatu malam, saat mereka duduk bersandar di dinding, memandangi langit-langit.
Sean hanya diam, tangannya meremas ujung selimut dan matanya menatap kosong ke langit-langit.
"Gue ngerasa dia nggak bener-bener pergi," gumamnya, suara serak. "Gue ngerasa dia masih ada di luar sana, tapi kenapa dunia ini diem aja?"
Elio menunduk, ikut larut dalam rasa frustrasi yang Sean rasakan.
Sementara itu, di antara lingkaran pertemanan Sean, rumor-rumor mulai muncul.
Beberapa dari mereka diam-diam beranggapan bahwa sosok "Liliana" mungkin hanya hasil imajinasi Sean dan bahkan ada yang mencurigai bahwa Sean menciptakan cerita itu sebagai pelarian emosional karena kehilangan seseorang.
Namun tidak satu pun dari mereka berani mengatakannya langsung. Mereka hanya terus datang, mengajak ngobrol, tertawa bersama Sean, seolah segalanya baik-baik saja karena di balik rasa ragu mereka, mereka tahu satu hal, Sean benar-benar mencintai seseorang.
Seseorang yang bahkan mungkin tidak berasal dari dunia ini.
Sore itu, pintu apartemen Sean diketuk dengan lembut namun berkali-kali. Elio, yang saat itu sedang menuang kopi, melirik ke arah pintu dan kemudian menoleh ke arah Sean yang masih terduduk di sofa, termenung seperti biasanya.
"Sean, itu pintu," ujar Elio pelan.
Sean tak menjawab, hanya menggerakkan matanya ke arah pintu tanpa niat untuk berdiri.
Elio akhirnya berdiri dan membuka pintu.
"Oh, Aoxue?" ucap Elio, sedikit terkejut.
Di hadapannya berdiri Aoxue, editor Sean, mengenakan pakaian sederhana dengan tangan membawa dua kantong makanan. Wajahnya terlihat lelah, tapi tetap menyimpan kekhawatiran yang tulus.
"Apa dia baik-baik saja?" tanya Aoxue langsung.
"Sejauh ini tidak ada yang berubah," jawab Elio singkat, kemudian memberi jalan.
Aoxue masuk, meletakkan makanan di meja makan kecil, aromanya memenuhi ruangan, makanan rumahan khas yang tampak dibuat dengan penuh perhatian.
"Sean?" panggil Aoxue dengan suara lembut.
Sean menoleh perlahan, seperti baru menyadari kehadirannya,tatapan mereka bertemu sejenak, namun Sean tidak berkata apa-apa.
"Aku tidak meneleponmu karena kupikir kamu butuh waktu," katanya sambil membuka kotak makanan. "Tapi, film adaptasi novelnya sedang dalam tahap produksi, semua orang menanyakan apakah kamu punya spin-off? Cerita tambahan? Atau sekuel?"
Sean masih diam, "Atau, setidaknya tulis sesuatu, Sean. Apa pun itu, kamu penulis, kan?"
Aoxue berusaha tersenyum.
Beberapa detik berlalu sebelum Sean menjawab lirih, "Aku kehilangan inspirasiku, Aoxue, aku kehilangan dia."
Kalimat itu membuat ruangan menjadi hening.
Aoxue menarik napas dalam, berusaha menyembunyikan perasaannya sendiri yang ikut terluka. Dia bukan hanya editornya. Dia pernah menyimpan perasaan. Namun saat ini, dia hanya bisa duduk di sisi seorang pria yang hatinya dimiliki oleh orang yang mungkin tidak akan pernah dia pahami.
"Kalau begitu, tulislah tentang dia," bisiknya akhirnya.
"Meski kamu tak bisa menemuinya, tulislah, agar dia tahu kamu masih mencintainya."
Sean mengangkat kepalanya perlahan, untuk pertama kalinya dalam sebulan, ada sedikit cahaya di matanya seberkas kecil, namun nyata.
"Kau menyelamatkanku lewat kata-katamu, sekarang, selesaikan ceritamu, jangan berhenti!"
—Liliana