Selama ini, Rambo mengutuk diri dalam kehidupan nikah paksa yang terjadi antaranya bersama Erin 3 bulan belakang. Sayang, tak ada ruang untuk Erin dalam kehidupan Rambo yang masih memendam cinta lama.
Hingga semua berubah ketika waktu mempertemukannya kembali dengan sang pujaan hati di masa lalu, Marwah.
Dipertemukan kembali dalam keadaan yang sama-sama telah menikah, Rambo yang tak bisa menahan rasa cintanya pada Marwah, akhirnya terjebak dalam konflik terlarang dalam kehidupan rumah tangganya. Dengan ancaman yang semakin banyak, terutama pada Marwah yang sering mendapat kekerasan dari suaminya, juga Erin yang tak mau melepaskan Rambo, mampukah Rambo melindungi wanita yang dicintainya... Atau haruskah ia menerima hidup bersama Erin selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16 - Perempuan Iblis
Semak-semak di halaman samping dapur bergoyang dengan gerakan liar, dan tiba-tiba Erin yang berantakan berdiri di hadapan Marwah. Sebagaimana manusia yang frustasi, Erin kali ini menatap Marwah dengan sorot yang berbeda, menakutkan seperti iblis di mimpi buruk. Gestur tubuhnya mengesalkan, tapi sulit dikatakan jahat.
"Ada hal yang perlu ku sampaikan padamu, orang kepercayaanku."
"Ya, bu?" jawab Marwah, sedikit gugup.
"Semalam aku ribut dengan Rambo. Majikan kesayanganmu itu, mau menceraikan aku dalam waktu dekat." Erin tersenyum sambil mendengus, dan sial, rasanya senyuman itu bukan hal yang bagus. Jarang sekali ia harus memadukan tawa dengan tangis dalam waktu yang sama. "Kau harus mencegahnya!"
Berulang kali Marwah meyakinkan diri pada pendengarannya, mungkinkah telinganya telah salah menerima suara? tidak. Tidak mungkin, sungguh barusan Erin, majikannya itu mengatakan bahwa Rambo akan menceraikannya dan ia meminta Marwah untuk mencegah keinginan Rambo itu.
"Maaf Bu, tapi aku---"
"Kamu bakal lebih didengar olehnya. Aku benar kan?" Erin berbisik frustasi, "Aku sudah tahu loh. Kamu memasuki daerah kekuasaanku."
Marwah terdiam, debaran kuat dalam dadanya membuncah lebih kuat dari deburan ombak waktu sore. Dia membeku.
"Iblis, kamu adalah itu." Lanjutnya, walaupun kebenaran itu tidak terlalu tepat. "Kenapa diam begitu? Kaget dengan kata-kataku?" Erin kembali tertawa, dan sungguh menyebalkan untuk mengatakan bahwa senyum itu jauh lebih menyeramkan dibanding dengan sebutan 'iblis' barusan.
Marwah masih diam, berusaha keras untuk menahan getaran dalam tubuhnya.
"Dari awal kamu datang, aku sudah tahu kok. Aku sudah katakan dari awal sejak Rambo marah besar padaku, sebelum kamu kerja di sini, aku tahu sudah ada orang lain di antara kami, aku sadar suamiku berubah. Terutama saat dia bawa kamu ke sini, aku tahu.... aku tahu kalian bukan orang yang asing, asal kamu tahu, aku bukan hanya andalkan insting tapi andai kamu memiliki kecerdasan yang sama denganku, kamu pun pasti tahu kalau aku sudah curiga dari awal."
Mata merah Erin yang gelap terkunci pada sosok Marwah, selagi melanjutkan kata-katanya. "Saat aku pulang marah-marah karena Rambo tidak datang menjemput ku, kamu sudah ketakutan, kamu pikir aku tahu tentang kalian waktu itu. Tapi itu semua masih ku tahan, sampai akhirnya aku sengaja suruh kamu sambut suamiku pulang semalam, buatkan dia kopi, air panas----aku tahu semua itu Marwah. Semua obrolan kalian semalam, dia peluk kamu waktu di dapur, sampai makan puding jatuh dari tangan kamu---aku lihat! Tapi suamiku masih enggan jujur, dia masih melindungi kamu!"
"Aku----" Marwah berhenti dan membiarkan kalimatnya menggantung. Karena sejujurnya ia sendiri tak tahu harus bicara dan bagaimana untuk situasi seperti ini.
"Kau selingkuhan. Perusak rumah tangga orang?!" Jelas Erin menyela, ia melangkah mundur, satu langkah pelan setiap kalinya. "Kau terlalu berani Marwah."
Erin mengayunkan tangannya tinggi-tinggi dan Marwah kecil memejamkan paksa matanya, bersiap menerima pukulan mentah. Namun, kali ini Erin mengurungkan niatnya.
"Seharusnya aku singkirkan kamu, pergi menjauh dari kehidupan kami," kata Erin sambil menurunkan lagi tangannya dan merundukkan tubuh untuk duduk di kursi makan. "Itu akan menjadi tindakan terhormat. Tapi, aku belum akan mengusir mu dari sini, suamiku sudah terlanjur benci dan mau meninggalkan aku. Kalian bersembunyi, bermain di belakangku tetapi bertingkah seakan akulah yang paling salah di sini. Karena itu, akan ku turuti permainan kalian... "
Mendadak hening beberapa saat. Baik Marwah atau Erin keduanya sudah berderai air mata.
"Suamiku nampaknya sangat mencintai kamu," seru Erin lagi. Suaranya merobek udara pagi seperti gelas pecah. "Dan aku begitu sakit hati karena itu. Kamu tahu Marwah? Apa yang terjadi jika kami sungguh bercerai? Aku tak mau tinggal diam, aku tak mau cuma jadi korban perselingkuhan kalian. Aku pasti akan beberkan tentang ini, akan ku rusak karir kepolisian Rambo sampai dia dipecat dari kesatuan. Akan ku permalukan dia di publik, akan ku lakukan segalanya untuk balas kalian."
Ada banyak kejutan dalam hidup ini, semua itu bisa datang dari gerbang manapun masing-masing menuju berbagai jenis ekspresi. Tapi jejak kejutan yang melingkupi setiap orang berlaku sebagai ujian atau karunia Tuhan, mencegah manusia hidup bebas dan bertindak semaunya. Begitupun dengan Marwah saat ini, setelah mendapat kejutan itu, ia tak punya pilihan lain selain kembali ke tempatnya berasal.
"Bu, aku mohon jangan lakukan itu. Bapak tidak salah... aku janji akan akhiri hubungan kami, biar aku yang pergi dari sini bu! aku mohon jangan lakukan itu padanya." Marwah bersimpuh, memohon, merintih di kaki majikannya. Persis seperti yang dilakukan Erin pada suaminya semalam.
Jelas ini lah yang diinginkan Erin, dia tahu betul bahwa Rambo dan Marwah saling mencintai. Maka tentu mereka juga akan saling melindungi satu sama lain, kesempatan inilah yang perlu ia manfaatkan dengan baik. Erin bergumam keras, kemudian mempertimbangkan langkah yang akan diambilnya lagi. Jika memang harus dilakukan, apa yang akan dia realisasikan?
"Kamu sangat mencintai dia, kan? Baiklah. Aku bisa menutupi perbuatan bejat dan menjijikkan yang sudah kalian lakukan, aku juga tak akan usir kamu dari sini. Aku biarkan kamu tinggal dekat dengan suamiku. Tapi bukankah ini sungguh tak adil untukku Marwah?" Erin merunduk, dan meraih wajah Marwah.
"Karena itu aku ingin kamu balas budi untuk semua yang ku korbankan. Aku butuh bantuan kamu untuk katakan pada Rambo; Jangan ceraikan aku---"
Marwah menghabiskan satu menit untuk menyusuri semua ini, membiarkan taring Erin mencekik dan menuntun jalan hidupnya. Tak ada penglihatan lagi, tak ada pertimbangan apa pun lagi. Rambo terlalu banyak berkorban karena mencintainya, maka saat ini Marwah pun berpikir demikian. Membiarkan desakan Erin dengan dorongan yang tak mampu dihalaunya.
Setelah terperangkap jaring Erin, Marwah sudah tak berdaya dan tidak punya kekuatan lagi untuk melarikan diri.
"Dia hanya akan mendengarkan kamu---Maka katakan padanya; Jangan ceraikan aku!" Erin mengulangi kata-katanya.