Novel ini udah revisinya kalau masih ada kesalahan kata harap maklum🤗
Bismillahirohmanirohim.
Jihan gadis yang sudah dikhianati oleh sahabat sekaligus orang yang sangat dia cintai di hari-hari yang masih berduka di keluarganya.
Bahkan setelah pernikahan sahabat dan mantanya, Jihan sering mendapatkan sindiran dari orang-orang sekitar.
Sampai dia memutuskan pergi dari kampungnya untuk mecari kerja di kota.
Siapa sangka dia akan bertemu dengan seorang anak perempuan jenius yang akan dia asuh.
penasaran sama ceritanya yuk kepoin kisah Jihan, hanya di Noveltoon!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilmara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#Mie ayam
Bismillahirohmanirohim.
"Assalamualaikum." Salam Radit.
"Wa'alaikumsalam." Jawab nenek Rifa dan kakek Amran.
Radit baru saja pulang dari pergi bersama Elsa, melihat status wa adiknya tadi Radit buru-buru pulang.
Sampai di rumah ternyata kedua orang tuanya sedang mengobrol diteras rumah. Buru-buru Radit menyalami kedua orang tuanya.
"Habis dari mana saja Radit?" tanya kakek Amran.
"Dari luar, Pa."
Radit ikut duduk disalah satu kursi yang ada di teras, rasanya ingin sekali Radit segera menghampiri ketiga orang yang ada di taman balai saat ini.
"Nafisa di mana Ma, Pa? Radit ingin mengajaknya jalan-jalan."
Padahal Radit sudah tau dimana anaknya sekarang, dia hanya basa-basi saja pada kedua orang tuanya. Sejenak kakek Amran dan nenek Rifa saling pandang.
Tumben sekali pikir kedunya, anak mereka ini belum salin baju, belum apa-apa sudah menanyakan keberadaan Nafisa, bisanya juga dia akan selalu acuh saja.
Nenek Rifa maupun kakek Amran tidak langsung menjawab pertanyaan Radit. Nenek Rifa malah memperhatikan putranya dari atas sampai bawah lalu dari bawah sampai atas lagi.
Nenek Rifa memincangkan matanya menatap sang putra, dia seperti mencium bau-bau yang kurang menyenangkan dari putranya ini tapi tidak tau apa.
"Nggak gitu juga kali Ma ngeliatinnya."
"Kamu tumben Radit jam segini nanyain Nafisa." Balas nenek Rifa yang mendapat anggukan dari kakek Amran.
"Kan Radit sudah bilang Ma, mau ngajak Nafisa jalan-jalan."
Radit menghela nafas sejenak, wajar jika orag taunya melihat dirinya aneh seperti ini menanyakan Nafisa, sudah lama dia seakan menjadi orang asing untuk Nafisa.
Walaupun Radit aslinya sangat menyayangi putrinya itu, sikap dingin yang Nafisa tunjukan pada dirinya membuat Radit tidak tau harus berbuat apa pada Nafisa.
Radit benar-benar kalah dari Nafisa, dia tidak tau bagaimana cara menghadapi anaknya sendiri. Yang bisa Radit lakukan hanya satu menjauh dari Nafisa.
Sayangnya Radit tidak berpikir untuk ke depannya, semakin dia menjauhi sang anak, maka sudah dipastikan hubungan keduanya akan semakin rengang.
Radit menyadari hal tersebut, tapi entah kenapa direktur utama Amran Mining itu sepertinya otaknya sedikit miring. Membiarkan saja hubungannya dengan sang anak menjadi sangat rengang seperti sekarang ini. Jika bertemu keduanya seperti orang asing saja. Padahal mereka anak dan ayah.
Kakek Amran masih berada disana mendengarkan anak dan istrinya mengoborl, beliau sambil membaca koran.
"Jawab saja dimana Nafisa Ma." Ujar Radit sedikit memaksa.
"Di taman balai, sudah sana susul. Mulai sekarang ambil kembali hati anak kamu Radit, mau bagaimanapun Nafisa tetap anak kamu. Dia butuh kasih sayang kamu."
"Jangan kayak kamu sekarang ini, seperti orang asing saja untuk Nafisa." Nasihat nenek Rifa.
"Mama tau sendirikan kalau Nafisa yang memasang dinding pembatas buat Radit."
"Makanya jadi orang introspeksi diri Radit! Sudah jadi bapak-bapak tidak dapat membedakan yang mana yang benar dan yang mana yang salah."
"Sudah sono pergi!" usir nenek Rifa.
"Iya ma, Radit pergi dulu, Assalamualaikum."
"Wa'aliakumsalam." Jawab nenek Rifa cuek.
"Waalaikumsalam." Jawab kakek Amran pula, sambil menggelengkan kepalanya heran.
Radit segera menuju taman, tentu saja dia tidak jalan kaki pastinya, Radit mengendarai mobilnya pelan.
Untungnya di taman bali tempatnya luas dan disana juga sudah ada parkir motor dan mobil.
Sampai di taman Radit langsung mencari keberadaan anaknya, adiknya dan pengasuh sang anak. Tak jauh dari tempatnya berdiri Radit melihat orang-orang yang dia cari tengah menikmati mie ayam yang dijual oleh pedagang kaki lima.
"Mereka makan dipinggir jalan!" Radit yang melihatnya sampai syok.
Pasalnya setau Radit, Nafisa selalu makan-makan yang sehat. Mungkin Radit mengira makanan yang dijual oleh pedagang kaki lima kurang sehat atau bahkan tidak sehat, padahal tidak begitu juga aslinya.
Buru-buru Radit menghampiri mereka.
Hhhmm.
Radit sudah berdiri di belakang Nafisa, mendengar suara deheman dari seorang ketiganya langsung menoleh.
"Ay-ah Ra-dit." Ucap Jihan kagok.
Jihan sampai tak bisa lagi meneruskan makannya, dia takut Radit marah sudah membiarkan Nafisa dan Ayu makan di pinggir Jalan.
Jantung Jihan sudah berdegup tak karuan, dia takut sekali dimarah oleh Radit, ditambah tatapan tajam yang Radit lemparkan untuk dirinya semakin membuat Jihan tak bisa berkutik.
Jihan sampai tersedak ludahnya sendiri, dia juga mengerjap-ngerjapakan kedua matanya saking syoknya ada Radit didekat mereka.
'Ya Allah, bagaimana ini? bagaimana kalau ayah Radit marah, kenapa tadi aku membiarkan Nafisa dan kak Ayu makan disini sih.' Runtuhnya pada diri sendiri.
Jihan rasanya sudah sangat takut, takut kena marah Radit, yang lebih parahnya lagi dia takut dipecat tentunya.
Berenda dengan Jihan yang sudah sangat ketakutan, Nafisa dan Ayu malah santai saja. keduanya bahkan seakan tidak menanggap kehadiran Radit. Radit saja sampai tercengang diabaikan begitu saja oleh anak dan adiknya.
'Ya Allah Nafisa, Ayu, mereka berdua masih santai saja.' Keluh Jihan lagi.
Ya benar sekali, Jihan hanya bisa bicara pada dirinya sendiri, hanya itulah yang dapat Jihan lakukan.
Merasa diabaikan Radit akhirnya mengeluarkan suara. "Siapa yang membolehkan kalian makan disini?" tanya Radit.
Radit menatap mereka satu persatu.
Deg!
Nafisa ternyata membalas tatapan dingin dirinya.
"Apa masalahnya kalau kita makan disini? Lagi pula apa peduli? Tidakkan, yasudah tak usah ikut campur."
Jder!
Perkataan Nafisa sungguh langsung menusuk ke dalam jantung Radit, sakit sekali.
Jihan mendelik pada Nafisa, dia mengisyaratkan jika Nafisa tidak boleh seperti itu. Ayu tentu saja sangat menikmati kakaknya dimarah anak sendiri.
"Nafisa tidak boleh seperti itu." Tegur Jihan.
"Maaf." Mendapat teguran dari Jihan membuat Nafisa jadi merasa bersalah.
'Ya Allah, bahkan dengan Jihan Nafisa langsung menurut begitu saja.' Hati Radit rasanya mencolos.
Tidak ada yang bicara lagi, suasana jadi canggung dan akhirnya Ayu lah yang mewakili mereka..
Mbak Jihan, tentu Ayu tau jika Jihan sudah ketakutan mendapatkan tatapan tajam dari kakaknya, sedari tadi Jihan tak berani melihat Radit.
"Sudahlah kak, dari pada marah-marah tidak jelas lebih baik ikut makan mie ayam sampai kita saja, biar Ayu pesenin."
"Bang 1 porsi lagi ya." Pesan Ayu tanpa menunggu persetujuan dari Radit.
Jihan semakin tak percaya, bisa-bisanya seorang Radit makan dipinggir jalan. Jihan tau pasti nanti pak Radit akan menyalahkan dirinya.
'Ya Allah,' lagi-lagi Jihan hanya bisa menyebut nama Allah dalam hatinya.
Jihan merasakan dirinya sampai gemetar sendiri, apalagi melihat Radit mengambil duduk di depannya.
Nafisa melihat wajah kekhawatiran di wajah Jihan dan Nafisa tau apa yang membuat mbak Jihan khawatir.
"Mbak Jihan tidak perlu cemas, ada Nafisa disini. Tidak akan ada yang berani memarahi mbak Jihan." Ucapnya sambil menatap ayahnya.
Jihan semakin dibuat ketar-ketir.
'Ya Allah, Nafisa.' Jihan rasanya sudah frustrasi.
Adik ayqh ny di panggil kk