Sudah lama menikah, tapi belum pernah merasakan malam pertama?
Mustahil!
Mungkin itu yang akan orang katakan.
Tapi, ini benar-benar terjadi pada Vania.
Saat memutuskan untuk menikah muda,Vani justru dihadapkan dengan kenyataan pahit. Suaminya tidak mau menyentuhnya sama sekali. Bahkan di malam pertama pernikahannya, Faisal meninggalkannya begitu saja.
Entah apa alasannya, Vani sendiri tak mengerti.
Tinggalkan jejaknya sayonk😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Lana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ibu Sakit
[Van, kamu bisa pulang sekarang nggak?] Suara seorang gadis dari seberang telepon terdengar panik. Vani buru-buru meletakkan peralatan kerjanya dan membiarkannya begitu saja.
[Pulang? Memangnya ada apa, Nis?] tanya Vani penuh praduga.
[Ibu, Van .... Ibu ...] Hanya terdengar gadis itu menyebut kata-kata itu.
[Ada apa sama Ibu, Nis? Ibu baik-baik aja, kan?]
[Tadi Ibu pingsan, Van. Terus aku sama warga yang lain bawa Ibu ke rumah sakit. ]
Tubuh Vani terasa lemas. Bahkan gawainya hampir saja terjatuh dari genggaman. Wanita itu tak bisa menjawab apa-apa lagi selain air mata yang luruh membasahi kedua pipinya.
[Van, Vani ..] Suara Nisa masih terdengar dari balik telepon. Tapi, anehnya Vani hanya bungkam dengan pandangan yang kosong. [Kamu baik-baik aja 'kan , Van?]
[Nis ....!] Vani memejamkan kedua matanya. Dadanya terasa sesak sekali mendengar kabar mengenai keadaan ibunya saat ini. [Terus ba–gaimana keadaan Ibu sekarang ...?] tanya Vani dengan terbata-bata.
[Ibu masih di periksa dokter, Van. Kamu bisa 'kan pulang secepatnya. Kasihan Ibu.]
Vani mengangguk setuju. Setelah mengakhiri panggilannya dengan Nisa, wanita itu buru-buru membenahi peralatan kerjanya dan melangkah buru-buru menuju dapur.
Vani sempat kebingungan, jika ia pamit pulang sekarang, yang ada di rumah hanya Bik Minah dan suaminya, serta pak satpam yang berjaga di depan. Vani ingin berpamitan langsung pada majikannya, tapi sayang sekali Renan belum pulang dari rumah sakit.
"Ada apa, Neng? Kenapa buru-buru?" tegur Bik Minah saat melihat Vani dengan wajah cemas serta langkah buru-buru.
"Bik, nanti tolong bilangin sama Pak Renan, kalau hari ini aku ijin mau pulang kampung. Ibu Sakit." Dengan raut wajah khawatir Vani menemui Bik Minah yang saat itu tengah berada di dapur.
"Ibunya Neng Vani sakit? Ya Allah ....Neng, semoga cepat sembuh yah?" ucap Bik Minah pada Vani. Ia tidak bisa berbuat banyak selain hanya mendoakan untuk kesembuhan ibunya Vani.
"Amin, Bik, makasih. Vani pamit sekarang yah?"
"Eh, iya-iya Neng. Nanti Bibik sampaikan sama Bapak," ucap perempuan itu lagi.
"Assalamualaikum ..." Tubuh Vani perlahan menghilang setelah melewati pintu dapur itu.
"Wa'alaikumsalam...."
Vani melangkah cepat melewati pagar rumah mewah itu dan berdiri dengan tidak sabar menunggu angkutan umum yang biasanya lewat. Namun hampir setengah jam Vani berdiri di depan sana, angkutan tak ada yang lewat satu pun.
Vani hampir putus asa, menunggu dan menunggu dengan wajah cemas. Vani meraih ponsel miliknya dan segera menghubungi Faisal.
[Ada apa, Van?] jawab Faisal dari seberang sana.
[Mas, ibu ....?] Vani membekap mulutnya sendiri. Air mata wanita itu sudah membanjiri wajah cantiknya sejak tadi.
[Ibu ...? Ada apa dengan Ibu?] tanya Faisal dengan bingung. Pasalnya tadi pagi saat ia berangkat ibunya dalam keadaan baik-baik saja.
[Ibu aku pingsan, Mas. Terus sekarang ada di rumah sakit,] lirih Vani dengan suara yang nyaris tak terdengar.
[I–bu ....? Lalu gimana keadaannya sekarang, Van? Ibu baik-baik aja, kan?]
[Aku nggak tahu, Mas. Kamu bisa pulang sekarang, kan? Kita ketemu di rumah.]
[I–iya, Van. Aku ijin dulu sama bos. Kamu pulang sendiri nggak apa-apa, kan?] Faisal tahu jika saat ini istrinya pasti tengah panik bukan main. Tapi, tidak mungkin juga jika ia sampai harus menjemput Vani, karena kantor dan rumah majikan Vani terbilang cukup jauh.
[Iya, Mas.]
Sambungan telepon terputus. Vani kembali menunggu angkutan lagi yang tak kunjung datang. Kenapa hari ini rasanya sial sekali, saat ia terburu-buru tidak ada satu pun kendaraan umum yang lewat. Bahkan taksi saja tidak terlihat melintas sama sekali.
Ya Tuhan ... semoga ibu baik-baik aja ...
Kantor Faisal.
Lelaki itu juga tengah kebingungan karena laporan data keuangan yang tengah ia kerjakan belum sepenuhnya selesai. Faisal tidak mungkin meninggalkannya begitu saja, tapi ia juga tahu saat ini Vani pasti juga sedang menunggu kepulangannya.
"Bagaimana ini?" Mondar-mandir Faisal di dalam ruangan sendiri. Lebih baik berbicara terus terang, mungkin bos akan memakluminya, bisik laki-laki itu akhirnya.
Faisal melangkah ragu ke arah ruangan sang bos. Mengetuk pintu perlahan, dan mendorongnya setelah mendapat jawaban dari dalam sana.
"Apa laporannya sudah jadi?" Ternyata laki-laki paruh baya itu langsung menanyakan mengenai laporan itu lada Faisal. Memang harusnya laporan itu sudah ia serahkan dari dua hari yang lalu. Tapi, karena ada sedikit masalah jadi terpaksa harus telat hingga Faisal terancam terkena marah oleh sang bos.
"Maaf, Pak. Tinggal sedikit lagi," jawab Faisal sembari menundukkan kepalanya.
"Kenapa tidak kamu selesaikan? Kenapa malah ke sini?" tanya lelaki paruh baya itu lagi.
"Maaf, Pak, bisakah saya ijin pulang cepat hari ini? Soalnya mertua saya sakit." Akhirnya Faisal memberikan diri untuk berbicara langsung, berharap lelaki di depannya akan memberikan keringanan, atau setidaknya tidak marah jika laporan itu tidak bisa ia selesaikan hari ini.
"Lalu, bagaimana dengan pekerjaanmu? Harusnya itu sudah selesai dua hari yang lalu, kan?"
"Maafkan saya, Pak."
"Pokoknya saya tidak mau tahu, hari ini juga laporan itu harus selesai!"
Faisal tidak bisa berbuat banyak. Ia undur diri dari ruangan itu dengan perasaan gelisah. Melangkah kembali ke ruangannya, laki-laki itu meraih ponsel dan berniat menghubungi Vani lagi.
"Kenapa nomor Vani nggak aktif?" Faisal memijit pelipisnya yang berdenyut. Laki-laki itu terpaksa menyimpan ponsel miliknya di laci meja dan meneruskan pekerjaannya lagi.
"Alhamdulillah selesai."
Satu jam lebih akhirnya Faisal dapat menyelesaikan semuanya. Ia bangkit dan melangkah buru-buru kearah ruangan sang bos, setelah itu Faisal akan langsung pamit pulang untuk menemui istrinya.
Melangkah penuh semangat karena sang bos juga sudah memberinya ijin langsung. Laki-laki itu kemudian menuju parkiran mobil.
"Tunggu aku, Van ..."
.
.
.
Vani sampai di rumah dan langsung berlari menuju kamarnya untuk membereskan beberapa perlengkapan yang akan ia bawa untuk pulang kampung nanti.
Melirik jam di dinding, Vani semakin cemas karena Faisal belum juga menampakkan diri. Padahal sudah dari satu jam yang lalu laki-laki itu bilang ingin bersiap pulang dan bertemu di rumah.
"Ke mana kamu, Mas? Kenapa lama sekali?" Vani meremas jemarinya sendiri. Bingung harus melakukan apa. Saat tersadar ia baru ingat jika ponsel miliknya mati sejak dalam perjalanan ke rumah tadi.
Sampai baterai ponsel terisi penuh pun ternyata Faisal belum juga sampai di rumah. Ke mana dia? Vani frustasi bukan main. Ia cemas dengan keadaan ibunya. Apalagi tadi Nisa sempat menghubunginya lagi.
[Kamu udah sampai mana, Van?]
[Ibu udah sadar, tapi panggil-panggil nama kamu terus.]
[Kamu cepetan datang yah? Kasihan ibu, Van.]
Ucapan Nisa terus berputar di kepala Vani. Ia terpaksa berbohong dan menjawab bahwa ia sudah dalam perjalanan menuju ke kampung halamannya. Padahal kenyataannya sampai saat ini ia masih di rumah dan tidak bisa berbuat banyak selain menunggu kepulangan suaminya.
Vani mencoba menghubungi Faisal, tapi entah kenapa panggilannya tidak Faisal jawab sama sekali.
"Sebenarnya kamu ke mana, Mas?"