Rio seorang master chef yang menyukai seorang wanita penyuka sesama jenis
bagaimana perjuangan Rio akankah berhasil mengejar wanita yang Rio cintai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayunda nadhifa akmal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab15
“Rio… kapan kamu kembali ke kota tempatmu bekerja?” tanyaku pelan. Sejujurnya, aku tak ingin ia pergi secepat itu.
“Lusa aku harus kembali ke sana,” jawabnya sambil memainkan rambutku dengan lembut.
Aku menarik napas dalam. “Rio… selama aku nggak ada di sampingmu, apa ada gadis lain yang bisa mengisi hatimu?” Suaraku bergetar, aku tak bisa menyembunyikan rasa khawatirku.
“Tentu saja ada, Rey,” ucapnya sambil menatap lurus ke depan.
Dadaku langsung menghangat oleh rasa takut. Aku cepat-cepat memalingkan wajah, tak ingin ia melihat air mataku yang mulai menetes.
Lalu Rio meraih wajahku dan tersenyum tipis. “Gadis yang mengisi hatiku itu kamu, Rey.”
Aku menggigit bibir, mencoba menahan isak. “Kenapa menangis?” tanyanya, kini jelas cemas.
Aku hanya menggeleng, tapi Rio langsung menarikku ke dalam pelukannya. Pelukannya hangat, menenangkan, dan ia mengusap rambutku dengan kasih sayang yang membuat pertahananku runtuh.
“Aku takut kamu pergi,” akhirnya aku mengakui sambil menangis di dadanya.
Rio mengusap punggungku. “Aku di sini, Rey… tenang.”
Lita sempat berpamitan sambil berkata, “Rey, kedai sudah rapi. Kami pulang dulu, ya.”
Aku hanya mengangguk, masih memeluk Rio, seolah aku akan hilang jika aku melepaskannya. Aku bersandar di bahunya, merasa begitu nyaman dan begitu takut pada saat yang sama.
Saat menatap mata Rio, entah kenapa aku begitu terhanyut. Kami saling mendekat—dan akhirnya saling berciuman. Bibirnya lembut, hangat, dan membuatku semakin sulit merelakannya.
Namun Rio menahan wajahku. “Rey… kita nggak boleh terlalu jauh.”
“Maaf, Rio,” ucapku parau. “Aku cuma… takut kehilangan kamu.”
Rio tersenyum dan menangkup pipiku. “Kita akan menikah, Rey. Aku janji.”
“Benarkah?” tanyaku, masih tak percaya.
“Iya, sayang. Tapi janji… jangan berpikir untuk menyerahkan dirimu hanya karena takut aku pergi.”
Aku menunduk malu. “Aku kira… kalau aku menyerahkan semuanya, kamu pasti nggak akan meninggalkan aku.”
Rio menggeleng, menatapku penuh rasa sayang. “Dengarkan aku, Rey. Kalau seorang pria benar-benar mencintaimu, dia akan menjagamu dengan baik, bukan mengambil sesuatu darimu.”
Kata-katanya membuat dadaku hangat. Aku benar-benar terharu.
Dua hari kami lalui bersama. Dan hari itu akhirnya datang—hari di mana Rio harus kembali bekerja.
Aku mengantarnya sampai ke dalam mobil. Rio tersenyum, melambaikan tangan sebelum menutup pintu.
Saat mobil itu perlahan menjauh, aku berdiri mematung, lalu lututku melemas. Aku terduduk di tanah, air mataku jatuh begitu saja.
Aku takut… aku takut Rio tak akan kembali lagi.
Angin sore semakin dingin saat mobil Rio menghilang di tikungan. Rey masih terduduk di tanah, kedua tangannya memeluk lutut, bahunya bergetar menahan isak.
Ia mengusap wajahnya, tapi air mata terus saja jatuh. “Kenapa rasanya sesakit ini…” bisiknya lirih.
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat. Lita ternyata belum jauh; ia kembali setelah menyadari Rey tidak menyusul masuk.
“Rey… kamu nggak apa-apa?” tanya Lita pelan.
Rey menggeleng, mencoba tersenyum, tapi ekspresinya justru semakin pecah. Lita langsung berjongkok dan memeluknya. “Sudah… ayo berdiri. Rio bukan pergi untuk menghilang. Dia pergi untuk kerja. Dia bakal balik.”
“Aku tahu… tapi tetap saja, Li… rasanya kosong sekali,” ujar Rey, suaranya pecah.
Lita membantu Rey berdiri, menepuk-nepuk debu di rok dan lututnya. “Kalau kamu terus di sini, Rio bisa merasa bersalah. Kamu nggak mau itu, kan?”
Rey menghirup napas panjang, lalu mengangguk pelan. Mereka berjalan pelan kembali ke dalam kedai, namun Rey sempat menoleh sekali lagi ke arah jalan yang telah kembali sepi.
Di dalam mobil yang kini melaju menjauhi kota, Rio sebenarnya tidak tenang. Tangannya beberapa kali mengepal di atas setir. Dadanya terasa sesak.
Ia bisa melihat bayangan Rey lewat kaca spion tadi—terduduk, menangis, dan mengecil di kejauhan. Pemandangan itu menancap dalam.
“Rey… maaf,” gumamnya.
Di balik kantung duduknya, Rio meraba sesuatu: sebuah foto kecil Rey yang ia simpan sejak awal. Ia menggenggamnya erat.
“Aku janji bakal balik, sayang. Aku nggak akan buat kamu nunggu lama.”
Sementara itu, Rey duduk di kursi kedai yang kini kosong. Ia memeluk kedua lengannya, menatap meja tempat Rio biasanya duduk. Aroma kopi sisa sore itu masih mengambang, mengingatkannya pada tawa dan cerita singkat dua hari terakhir.
Perlahan Rey tersenyum kecil—sedih, tapi penuh keyakinan.
“Rio… cepatlah kembali.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam itu, kedai sudah tutup. Lita dan karyawan lain sudah pulang. Rey duduk sendirian di bangku panjang dekat jendela, lampu gantung di atasnya redup, menyisakan suasana yang tenang sekaligus sepi.
Ia memeluk kedua lututnya sambil menatap ponsel yang sejak tadi tak berhenti ia genggam, meski layar tetap gelap.
“Apa Rio sudah sampai…?” bisiknya lirih.
Tepat saat itu, ponselnya bergetar.
Rio 🖤 :
Aku sudah sampai, sayang.
Rey menahan napas sejenak. Jemarinya gemetar saat membuka pesannya.
Rio 🖤 :
Jalanan tadi macet, tapi aku baik-baik saja. Kamu gimana? Sudah pulang?
Rey menggigit bibir, matanya memanas lagi. Ia segera membalas.
Rey :
Iya… aku di kedai barusan. Aku baik… cuma kangen.
Tak butuh waktu lama, balasan datang lagi.
Rio 🖤 :
Rey… dari spion tadi, aku lihat kamu terduduk. Kamu bikin aku hampir balik arah, tahu nggak?
Rey menutup mulutnya, menahan isak yang hampir keluar.
Rey :
Maaf… aku cuma takut kamu pergi dan… aku nggak cukup penting.
Pesan itu terkirim, membuat Rey langsung menyesal. Namun tak sampai lima detik, Rio membalas lagi.
Rio 🖤 :
Jangan bilang gitu. Kamu penting, Rey. Sangat.
Rey, kamu itu alasan aku mau balik ke kota kita. Kalau bukan karena kerja, aku nggak akan pergi.
Rey menyeka air matanya yang kembali jatuh.
Rey :
Aku benar-benar kangen kamu.
Ponsel Rey kembali bergetar.
Rio 🖤 :
Aku juga. Bahkan sebelum aku turun dari mobil, aku udah kangen.
Dengerin aku, ya. Aku nggak akan ninggalin kamu. Kita udah janji.
Rey… aku sayang kamu.
Rey menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, sebuah senyuman kecil muncul di antara air mata.
Rey :
Aku sayang kamu juga, Rio.
Dari sana, percakapan mereka berjalan lama—tentang perjalanan, tentang hari mereka, tentang rasa takut, dan tentang rindu yang baru saja dimulai.
Dan malam itu, meski jarak memisahkan mereka, Rey tidur dengan perasaan hangat untuk pertama kalinya sejak Rio pergi.
Pagi harinya aku terbangun dari tidurku,aku menyiapkan sarapan pagi dan kopi hangat,aku memandangi kursi di depanku yang selalu di isi oleh rio.
Aku bergegas bersiap siap untuk berangkat ke kedai kopi milikku,aku tak mau terlambat
aku bergegas melewati lorong-lorong apartemen,aku memencet tombol lift untuk menuju lantai dasar.
kedai kopi milikku tak jauh dari apartemen,hingga aku bisa menempuhnya dengan berjalan kaki.