Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda
Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.
Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .
Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.
Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .
Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15
“Mas… mas Jodi!!” panggil Alin sambil melambaikan tangan di depan wajah suaminya. “Helloooow… kok malah ngelamun sih?”
Ia mendengus manja lalu meraih tas tangannya. “Ayo, aku udah siap, nih. Kita ke butik sekarang. Kalau kelamaan, nanti di jalan macet, loh!” lanjutnya sambil menatap Jodi dengan senyum setengah kesal. “Sekalian nanti kita makan siang di resto favorit aku, ya, Mas. Udah lama banget aku gak ke sana.”
Jodi tersentak, seolah baru tersadar dari pikirannya yang melayang entah ke mana. Ia menegakkan badan, lalu mengangguk cepat. “Ah, iya… iya, ayo. Kamu duluan aja ke mobil, Lin. Mas nyusul sebentar. Mau chat orang rumah sakit dulu, ada pasien yang harus terus mas pantau.”
Alin memutar bola matanya pelan, bibirnya merengut gemas. “Ck… iya, iya, selalu saja pasien. Emang ya, mas dokter satu ini, yang diurusin pasien mulu, bukan istrinya,” gerutunya, tapi nadanya tetap manja.
Sambil melangkah pergi, Alin sempat menoleh sebentar ke arah Jodi, tersenyum tipis namun menyimpan sesuatu di balik tatapannya.
“Tapi jangan kelamaan, Mas. Aku gak mau resto-nya penuh gara-gara nunggu kamu.”
Begitu Alin berlalu, Jodi menghela napas pelan. Ia mengambil ponselnya, jempolnya cepat mengetik pesan singkat.
“Suster Risa, tolong pantau selalu kondisi Miranda. Kalau dia mulai gelisah lagi, kabari saya segera.”
Layar ponsel memantulkan wajahnya sendiri, tenang di luar, tapi matanya menyimpan sesuatu yang berat.
Belum sempat Jodi menurunkan ponselnya, layar bergetar, pesan dari Suster Risa masuk.
“Baik, Dok. Miranda sudah mulai stabil pagi ini. Tidak ada lagi usaha melukai diri atau mengamuk. Kami sudah lepaskan ikatan di tangannya, tapi tetap mengenakan baju restrain sesuai protokol.”
Jodi menghela napas lega, punggungnya sedikit bersandar di dinding.
“Bagus. Terus pantau ya. Jangan izinkan siapa pun masuk tanpa izin saya.”
“Siap, Dok.”
Namun beberapa detik kemudian, pesan susulan muncul.
“Tapi, Dok… ada hal yang agak aneh.”
Alis Jodi terangkat.
“Apa maksudmu, sus?”
“Miranda terus menatap cermin kecil di kamarnya sejak tadi. Dia tidak bicara apa-apa, hanya tersenyum sendiri. Kadang seperti berbisik… seolah sedang ngobrol dengan seseorang.”
Kening Jodi berkerut. Ada perasaan aneh yang menjalari tengkuknya.
“Kalau begitu, pastikan tidak ada benda tajam di sekitar. Matikan juga lampu kamar sebentar, lihat reaksinya.”
Suster Risa membalas cepat.
“Baik, Dok.”
“Mas! Ayo cepetan, nanti keburu macet!” suara Alin terdengar dari arah depan.
Jodi menatap layar sekali lagi.
Ia menghela napas pelan, berusaha menepis rasa tak nyaman yang mulai muncul. Lalu memasukkan ponsel ke saku, dan melangkah keluar kamar menyusul istrinya.
......................
Setelah menempuh beberapa waktu. Akhirnya Jodi dan Alin, tiba di sebuah butik ternama.
Butik itu tampak elegan, dindingnya putih bersi, dengan lampu gantung berlapis kristal. Aroma parfum mahal samar tercium di udara, bercampur wangi kain baru. Alin berjalan pelan menyusuri deretan rak baju, matanya berbinar, seperti anak kecil menemukan dunia manisnya sendiri.
“Mas, lihat deh! Cantik banget kan?” serunya sambil menunjuk sebuah gaun berwarna krem lembut dengan detail renda di bagian bahu.
Jodi tersenyum, menatap ekspresi istrinya yang begitu antusias. “Hmm… iya, yang ini cocok banget di kamu. Mau dicoba?”
Alin mengangguk cepat. Ia sempat melirik papan bertuliskan Reserved di dekat gaun itu, tapi pura-pura tidak melihatnya.
Ia memanggil pelayan butik. “Mbak, aku mau yang ini ya, size S.”
Pelayan itu tampak ragu. “Maaf, Bu… baju ini sudah dibeli. Pembelinya baru saja melunasi, tinggal diambil.”
Senyum Alin perlahan memudar. “Apa? Tapi aku baru lihat, baru aja! Gak mungkin gak bisa dipesan lagi.”
“Maaf, Bu. Ini model terbatas, hanya satu di butik kami.”
Raut wajah Alin berubah. Ia memandang baju itu lama, seolah sulit melepaskannya. “Kalau begitu… panggil pembelinya. Aku mau bayar dua kali lipat!” katanya, nada suaranya meninggi.
Pelayan itu tampak kebingungan, tapi belum sempat menjawab, seorang pria muda dengan jas hitam mendekat sambil membawa nota pembayaran. Tatapannya tenang, nyaris dingin.
“Maaf, saya pembelinya. Dan baju ini… bukan untuk dijual kembali.”
Alin mendengus, matanya menatap tajam. “Tapi aku benar-benar suka baju itu! Kamu tinggal beli yang lain kan bisa? Apa kamu pikir uang kamu aja yang laku di sini, hah? Aku bilang aku mau beli dua kali lipat, ngerti gak?”
“Sayang…” bisik Jodi, menarik perlahan tangan istrinya, tapi Alin menepisnya kasar.
“Jangan ikut campur dulu, Mas! Aku cuma mau baju itu!”
Pria itu tetap berdiri tenang, tapi sorot matanya mulai tak sabar. Pelayan butik tampak gelisah.
“Bu, tolong tenang dulu ya. Kalau mau, kami bisa bantu cari model lain—”
“GAK MAU!” teriak Alin, sampai beberapa pelanggan lain berhenti memilih baju dan memperhatikannya. “Aku mau yang itu! Aku udah lihat duluan, jadi itu harusnya punya aku!”
Jodi bisa merasakan tatapan orang-orang yang mulai tertuju pada mereka. Ia menelan ludah, lalu memegang bahu Alin lebih kuat. “Cukup, Lin. Kamu udah bikin malu diri kamu sendiri.”
“Tapi mas! Aku suka baju itu!!” seru Alin sambil menatap Jodi dengan mata berkaca.
Jodi terdiam, lalu menarik napas dalam. Ia menatap pelayan dan pria tadi dengan wajah minta maaf. “Maaf ya, istri saya sedang tidak enak badan. Sekali lagi saya minta maaf.”
Sambil tetap menggenggam tangan Alin, Jodi membawanya keluar butik. Namun Alin masih terus menoleh ke belakang, menatap tajam ke arah baju itu seperti belum rela.
Di luar butik, Jodi berhenti, menatap istrinya serius. “Kamu sadar gak barusan kamu bikin heboh satu toko?”
Alin hanya diam, bahunya naik-turun cepat karena emosi. “Aku suka baju itu mas. Lagian siapa sih dia, sok sok an gak mau dibayar dua kali lipat.”
Jodi menatap wajahnya lama, “Alin.. udah ya.” ucapnya lalu menarik napas panjang, menatap sekeliling yang mulai memperhatikan mereka di depan butik. Ia lalu menunduk sedikit, berbicara dengan nada lembut tapi tegas. “Sayang, bukan masalah bajunya, tapi caramu. Kamu tadi nyolot di depan orang. Kamu gak seharusnya bersikap seperti itu.”
Alin memalingkan wajah dengan kasar, menepis tangan Jodi yang hendak menggenggamnya. Tatapannya tajam, penuh kekesalan yang tertahan.
“Pokoknya Alin mau baju itu, Mas. Alin suka, dan Alin gak peduli siapa yang udah beli. Suruh dia balikin!” ucapnya keras, nada manja berganti dengan nada perintah yang terdengar egois.
Beberapa orang yang melintas menoleh, tapi Alin tidak memperdulikannya. Ia berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang, wajahnya memerah oleh emosi.
Jodi menarik napas panjang, menatap istrinya lekat-lekat, antara sabar dan malu.
“Alin, cukup.” Suaranya terdengar dalam dan tegas. “Kalau kamu terus bersikap kayak gini, lebih baik kita pulang sekarang juga.”
Namun bukannya tenang, Alin justru mendengus kesal, matanya berair.
“Mas selalu kayak gitu! Sedikit-sedikit pulang, sedikit-sedikit salahin aku. Emangnya salah kalau aku pengen sesuatu buat diri aku sendiri?”
Jodi menatapnya dengan tatapan lembut yang diselimuti lelah. “Bukan salah, Lin. Tapi caramu yang salah. Kamu gak perlu marah kayak gini cuma karena baju.”
Alin terdiam sejenak, bibirnya bergetar menahan tangis. Tapi dalam matanya, masih ada bara yang belum padam.
“Mas gak ngerti…” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
Jodi mendekat sedikit, menatap wajah Alin. Suaranya kini lembut, tapi tetap tegas.
“Iya, sudah ya… sekarang kita pulang, atau kamu masih mau ke resto favorit kamu itu?” tanyanya dengan nada menenangkan.
Alin mengalihkan pandangannya, menunduk sebentar sebelum akhirnya menjawab pelan namun masih dengan nada keras kepala.
“Ke resto aja. Aku mau makan enak. Kesel aku,”
Jodi mengangguk kecil, menatapnya beberapa detik sebelum berbalik menuju mobil. “Baik, ke resto,” katanya singkat.
Alin mengikuti di belakang, langkahnya cepat, tapi wajahnya masih menyimpan sisa amarah. Dalam hatinya, ia mencoba menenangkan diri, tapi gengsi membuat dadanya terasa sesak.
"Aaaaargh... Ngeselin banget tuh orang. Apa gak bisa ngalah sama perempuan. Dasar nyebelin!!" umpatnya dalam hati.
Sementara Jodi hanya bisa menghela napas panjang begitu mereka masuk ke dalam mobil. Tangannya yang memegang setir terasa dingin, meski udara di dalam mobil cukup hangat. Ia menatap sekilas ke arah Alin yang duduk bersedekap, wajahnya masih muram, bibirnya terkatup rapat.
Baru kali ini Jodi melihat sisi lain dari istrinya, keras kepala, emosional, dan tak peduli pada sekitar. Sisi yang selama ini mungkin tersembunyi di balik tawa manja dan perhatian yang ia tunjukkan setiap hari.
Dalam diam, Jodi berpikir, 'apa aku benar-benar mengenalnya sepenuhnya?'
Ia menarik napas lagi, lebih dalam kali ini, mencoba meredam kekesalan yang nyaris muncul di dadanya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Dalam setiap hubungan, selalu ada sisi yang tak kita kenal dari orang yang kita sayangi. Bukan karena mereka berubah, tapi karena kita baru benar-benar melihat.”