Setelah kecelakaan misterius, Jung Ha Young terbangun dalam tubuh orang lain Lee Ji Soo, seorang wanita yang dikenal dingin dan penuh rahasia. Identitasnya yang tertukar bukan hanya teka-teki medis, tapi juga awal dari pengungkapan masa lalu kelam yang melibatkan keluarga, pengkhianatan, dan jejak kriminal yang tak terduga.
Di sisi lain, Detektif Han Jae Wan menyelidiki kasus pembakaran kios ikan milik Ibu Shin. Tersangka utama, Nam Gi Taek, menyebut Ji Soo sebagai dalang pembakaran, bahkan mengisyaratkan keterlibatannya dalam kecelakaan Ha Young. Ketika Ji Soo dikabarkan sadar dari koma, penyelidikan memasuki babak baru antara kebenaran dan manipulasi, antara korban dan pelaku.
Ha Young, yang hidup sebagai Ji Soo, harus menghadapi dunia yang tak mengenal dirinya, ibu yang terasa asing, dan teman-teman yang tak bisa ia dekati. Di tengah tubuh yang bukan miliknya, ia mencari makna, kebenaran, dan jalan pulang menuju dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulfa Nadia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
제15장
Jae Wan melihat Ha Young berlari keluar dari kafe, wajahnya pucat, langkahnya limbung seperti kehilangan arah. Tanpa ragu, ia menyusul dan meraih lengan Ha Young yang tampak tersesat dalam pikirannya sendiri.
“Jung Ha Young-ssi, tenanglah,” ujar Jae Wan, suaranya tegas namun penuh ketulusan. “Kau tidak boleh membiarkan emosimu menguasai sekarang.”
Ha Young menoleh, matanya berkaca-kaca, napasnya tersengal. Sejenak ia menatap Jae Wan, lalu suaranya pecah, penuh desakan dan ketakutan.
“Detektif Han, kenapa kau tidak menangkap ayahku? Kenapa kau masih di sini? Kau harus segera menahannya!” ujarnya panik, suaranya meninggi. “Kalau tidak... ibuku... ibuku juga bisa dalam bahaya!”
Matanya menyiratkan ketakutan yang dalam bukan hanya karena kebenaran yang baru ia dengar, tapi karena bayangan kehilangan yang kembali menghantuinya.
Jae Wan menatap Ha Young dalam-dalam, sorot matanya berat. “Saat ini... kami tak bisa berbuat banyak. Kejaksaan sudah mengambil alih kasusnya. Semua akses penyelidikan ditutup. Tapi aku akan tetap mencari jalan. Bagaimanapun caranya... CEO Jung harus bertanggung jawab.”
Ha Young terdiam. Di kepalanya, potongan-potongan percakapan yang pernah ia dengar mulai menyatu. Ia teringat suara Sekretaris Lee di lorong kantor ayahnya menekan Kepala Polisi Choi agar menutup kasus itu. Kini semuanya masuk akal. Penghalang-penghalang itu bukan karena bukti yang lemah... tapi karena kekuasaan ayahnya yang terlalu besar.
“Aku harus menemui ayahku,” ucap Ha Young pelan, hampir seperti bisikan. “Aku ingin tahu... alasan sebenarnya kenapa dia membunuh Lee Jun Joo.”
Jae Wan menahan bahunya, nadanya berubah tegas. “Ha Young-ssi... kau lupa apa yang baru saja kau janjikan. Kau akan berpura-pura tidak tahu soal ini.”
Ha Young menatapnya, matanya penuh luka. Ia tahu Jae Wan benar. Tapi bagaimana mungkin ia berpura-pura... ketika yang terbunuh adalah suami dari ibu yang selama ini ia rindukan?
Ha Young menatap Jae Wan. Di matanya, ada luka yang tak bisa disembunyikan. Ia sadar dirinya tidak berdaya. Emosinya selalu meledak sebelum pikirannya sempat menenangkan. Ia ingin kuat, tapi kebenaran hari ini terlalu menyakitkan.
Matanya menoleh ke sekeliling. Di seberang jalan, seorang pria berdiri memandangi mereka dengan wajah penuh selidik. Ha Young mengenali jas dan sikapnya anak buah ayahnya. Pengawas diam yang selalu ada di bayang-bayang.
Ia menarik napas dalam, lalu berdiri tegak. Ia berpura-pura tegar, menyembunyikan kesedihannya di balik senyum tipis yang nyaris tak terlihat.
Apa yang ia ketahui hari ini... bagaikan mimpi buruk. Terlebih saat menyadari bahwa semua ini berkaitan dengan sang ibu, Shin Hae Sung wanita yang selama ini hanya hadir dalam kenangan dan kerinduan.
Ha Young duduk sendiri di taman yang sepi, tubuhnya membungkuk, wajahnya tertunduk dalam-dalam. Ia menangis pelan, membiarkan kesedihannya mengalir tanpa suara. Malam terasa dingin, tapi bukan udara yang menusuk melainkan kenyataan yang baru saja ia terima.
Matanya tertuju pada sepasang ayunan yang kosong, bergoyang pelan ditiup angin. Kenangan lama menyeruak, membawa dirinya kembali ke masa kecil... saat orang tuanya belum bercerai.
Ia ingat taman bermain itu. Ibunya, Shin Hae Sung, duduk di ayunan sambil memangku dirinya yang masih kecil. Tangan lembut sang ibu membelai rambutnya, penuh kasih.
“Putriku Ha Young... semakin cantik,” puji sang ibu dengan senyum hangat.
Ha Young kecil menatap langit malam, matanya berbinar. “Eomma, apa kau lihat bintang di atas sana?”
Ibunya ikut menoleh, memandang bintang paling terang yang ditunjuk Ha Young.
“Ada apa dengan bintang itu?” tanya sang ibu.
“Kenapa bintang itu besar dan bersinar terang, sedangkan bintang di sebelahnya kecil dan redup?” tanya Ha Young polos.
Ibunya tersenyum, lalu menjawab pelan. “Eomma tidak tahu... mungkin karena bintang yang paling terang itu adalah Jung Ha Young, putri ibu yang cantik.”
Ha Young tertawa kecil. “Jadi aku adalah bintang yang paling terang itu. Lalu... siapa bintang yang di sebelahnya?”
Pertanyaan itu menggantung. Tapi Shin Hae Sung tak menjawab. Matanya terpaku pada sosok di kejauhan CEO Jung, yang berdiri memandangi mereka dari balik pagar taman.
Wajahnya berubah. Ia langsung memeluk Ha Young erat, lalu membawa putrinya pergi dari taman bermain itu. Tanpa penjelasan. Tanpa kata.
Jae Wan mendekati Ha Young yang duduk termenung di bangku taman. Matanya masih sembab, wajahnya menyimpan jejak tangis yang belum lama reda. Ia tahu karena sejak Ha Young meninggalkan kafe, ia diam-diam mengikutinya. Ia melihatnya menangis, tapi memilih memberi ruang. Kini, saat tangis itu mulai mereda, ia melangkah pelan ke arahnya.
Tanpa banyak kata, Jae Wan menyodorkan sebotol air mineral. “Aku tahu kau akan sangat terluka mendengar semua ini,” ucapnya pelan. “Karena itu... awalnya aku berharap bisa menutupi semuanya darimu.”
Ha Young menoleh, terkejut melihat Jae Wan berdiri di sana. Ia tidak mengambil botol itu. Matanya menatapnya penuh bingung.
“Detektif Han... bagaimana bisa kau juga ada di sini?” tanyanya, suaranya lemah.
Jae Wan tersenyum tipis, mencoba meredakan suasana. “Aku hanya sedang memantau seorang gadis. Aku khawatir... kalau gadis itu akan melakukan hal buruk.”
Ha Young menghela napas, matanya kembali menatap kosong ke depan. “Aku sedang tidak mood dengan leluconmu, Detektif Han,” ujarnya lesu. “Lagipula... aku ingin sendiri sekarang. Tolong... tinggalkan aku di sini.”
Suara Ha Young lirih, nyaris tenggelam oleh angin malam. Tapi Jae Wan mendengarnya jelas. Ia tahu, permintaan itu bukan karena Ha Young ingin menjauh darinya melainkan karena ia sedang berusaha menyatukan kembali dirinya yang retak.
“Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian,” ujar Jae Wan pelan, berdiri di samping bangku taman tempat Ha Young duduk. “Kau seperti ini... karena aku. Jadi aku ingin memastikan kau baik-baik saja.”
Ha Young tidak menoleh. Matanya menatap kosong ke depan, seolah tak ingin siapa pun melihat betapa rapuh dirinya saat ini.
“Jangan hiraukan aku,” ucapnya lirih. “Ini bukan salahmu. Jadi kau tidak perlu merasa bersalah.”
Jae Wan menatapnya lama, lalu duduk perlahan di ujung bangku. “Aku tahu kau sangat merindukan Ibu Shin. Kau juga sangat menyayanginya.”
Ha Young langsung memalingkan wajah, nadanya berubah tajam. “Aku tidak merindukannya,” sangkalnya. “Kau tidak tahu apa-apa tentang diriku. Aku bahkan... sangat membenci wanita itu.”
Jae Wan tidak membalas. Ia hanya menatap wajah Ha Young yang berusaha keras menyembunyikan perasaannya.
“Ha Young-ssi,” ucapnya pelan. “Walaupun kau berusaha menutupinya... tapi itu tampak jelas di wajahmu. Kau sangat merindukan ibumu.”
Ha Young terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca lagi. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang mendesak keluar. Ia tidak tahan jika harus membicarakan ibunya. Tidak sekarang. Tidak saat luka itu baru saja terbuka lagi.
Ia tetap diam. Tidak membalas. Tidak menoleh. Tapi tubuhnya sedikit gemetar. Ia berusaha keras menahan tangisnya, agar tidak ketahuan bahwa ia ingin menangis.
“Tidak apa-apa,” ujar Jae Wan lembut, duduk di samping Ha Young yang masih memalingkan wajah. “Jika kau ingin menangis, jangan ditahan. Karena menahan itu... hanya akan membuat hatimu semakin sakit.”
Ha Young tetap diam. Matanya berkaca, bibirnya gemetar, tapi ia menolak membiarkan air matanya jatuh. Ia menggenggam erat jemarinya sendiri, seolah itu bisa menahan gelombang emosi yang hampir meledak.
Jae Wan menatapnya lama, lalu menghela napas dalam. “Aku baru tahu... kau sangat keras kepala. Kau membiarkan hatimu terluka, hanya karena kau menolak mengeluarkan kesedihan yang seharusnya kau lepaskan.”
Ia berdiri, berniat pergi. Mungkin Ha Young memang butuh ruang. Mungkin kehadirannya hanya membuat segalanya semakin berat.
Namun saat ia melangkah, suara lirih menahannya.
“Jika kau melihatku menangis... maka aku akan terlihat menyedihkan,” ujar Ha Young, suaranya nyaris tenggelam oleh angin malam.
Langkah Jae Wan terhenti. Ia menoleh, menatap gadis itu yang kini mulai menoleh padanya.
“Tidak ada yang berkata begitu,” jawabnya pelan. “Seseorang menangis karena mereka merasa sedih... bukan karena mereka menyedihkan. Justru mereka yang tidak pernah menangis... karena terlalu terbiasa menahan segalanya itu yang benar-benar menyedihkan.”
Air mata Ha Young akhirnya jatuh. Satu tetes, lalu dua, lalu tak terbendung. Ia menangis sesenggukan, tubuhnya sedikit bergetar. Tangis yang selama ini ia tahan, akhirnya pecah.
Jae Wan hanya menatapnya dengan iba. Ia tidak menyentuhnya, tidak memeluknya. Tapi ia tetap di sana. Menjadi saksi dari luka yang selama ini tersembunyi.
Dan di dalam dirinya, ada penyesalan yang tak bisa ia hapus. Ia teringat Ji Soo gadis yang dulu ia biarkan tenggelam dalam kebencian, saat ayahnya meninggal dan ibu tirinya menjadi sasaran amarah. Ia gagal menenangkan Ji Soo.
Tapi kali ini... ia tidak akan gagal menemani Ha Young.