Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.
*
*
Seperti biasa
Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Dengan lemparan penentu kemenangan dari tim Golden bulls, pertandingan pembukaan kandang Pratama Group berakhir dengan kemenangan. Setelah berjabat tangan dengan para pemain dan staf, serta sempat muncul di layar, Yaga merasa dirinya sudah memberikan salam secukupnya, tidak berlebihan, tetapi juga tidak kurang.
Hari sudah hampir malam.
Saat meninggalkan Gor, sejenak Yaga memikirkan Almaira.
Hari ini, dia pasti sedang berkumpul bersama teman-temannya dan tertawa lebih lepas dari biasanya.
Kepada Yaga, sikap gadis itu selalu memasang dinding pembatas, tetapi saat bersama teman-temannya, dia bisa tertawa lepas seperti itu.
Yaga mengernyit, dia gelisah dengan pikirannya sendiri. Saat hendak masuk ke mobil untuk segera menyusul, seseorang memanggilnya dari belakang.
"CEO Yaga." Yaga menoleh. Direktur tim lawan Golden bulls, Pak Berta berdiri di sana dengan ekspresi tegang.
"Sudah lama tidak bertemu, Pak Berta..."
"Ya, sudah lama tidak bertemu."
"Ada acara perayaan setelah pertandingan, kenapa Anda tidak pergi?" Yaga tersenyum kecil. Pak Berta melangkah lebih dekat.
Sebagai mantan pemain yang kemudian menjadi pelatih dan akhirnya menduduki kursi presiden klub lawan, Pak Berta adalah salah satu dari sedikit orang yang bisa bertatapan langsung dengan Yaga tanpa merasa terintimidasi.
"Ada hal penting yang ingin saya bicarakan."
"Dengan ku?"
"Ya."
Yaga menatapnya sejenak, seolah tidak memahami maksudnya. Sementara Pak Berta menelan ludah karena gugup.
Masih ada sekitar waktu 35 menit yang diperkirakan untuk menyusul. Sekretaris Gan melirik Yaga, seakan meminta izin untuk mengusir laki-laki itu,
"Masuklah."
"…Apa?" Sekretaris Gan menoleh dengan ekspresi terkejut.
Yaga hanya mengangkat bahu. "Tapi saya tidak punya waktu banyak, mari kita bicara di dalam mobil saja."
"Ya, tentu. Terima kasih tuan muda"
Pak Berta menghela napas lega. Yaga melirik sekretaris Gan dan memberi isyarat untuk membiarkan laki-laki itu masuk sebelum dia sendiri duduk di dalam mobil.
* * *
"Saya… saya tidak punya pilihan. Tuan muda" Kata Pak Berta setelah melapor terkait skandal dari pemain basket tim lawan
"Aku sudah bilang sebelumnya, bukan? Anda seharusnya berpikir sebelum mengambil keputusan" Yaga menjawab
"Saya mohon maaf."
"Aku tidak tahu apa yang Anda ingin saya lakukan." Yaga tersenyum tipis, seolah merasa kasihan. Di hadapannya, Pak Berta mengepalkan kedua tangan di atas pahanya, seakan berusaha menahan diri.
"Tuan muda, saya punya anak."
"Aku tahu."
"Mertua saya di kampung, masih di rawat di rumah sakit. Anak-anak saya semua bersekolah di luar negeri. Saya tidak bisa berhenti bekerja sekarang."
"Kalau begitu, lakukan saja."
"…Apa?"
"Pulanglah ke kampung halaman dan buka akademi basket untuk anak-anak SMA. Bagaimanapun juga, Anda mantan pelatih Golden bulls." Yaga mengatakannya dengan serius, tetapi wajah Pak Berta langsung memucat.
"Tu_tuan muda…”
"Ya Pak Berta"
"……"
"Pak Berta, Anda tahu bagaimana mungkin aku membatalkan keputusan Ayah ku? Aku pikir Anda sudah mempertimbangkan semuanya sebelum Anda memilih berpihak pada tim lawan."
"…Saya bodoh. Saya hanya ingin menyelamatkan anggota tim lawan."
"Menarik sekali. Orang-orang yang bolos latihan demi bersenang-senang dengan wanita masih Anda anggap sebagai anggota tim?"
"……"
"Aku tahu Anda adalah orang yang penuh ambisi Pak Berta. Itu yang membuat saya semakin tidak paham." Yaga mencibir tanpa sedikit pun menunjukkan simpati.
Waktu terus berjalan.
"Maaf, tapi sepertinya tidak ada yang bisa ku lakukan untuk membantu Anda."
"Tu_tuan muda"
Saat Yaga hendak memberi isyarat pada Sekretaris Gan untuk mengantar laki-laki itu pergi, tangannya tiba-tiba ditahan. Dengan ekspresi tidak senang, dia menoleh. Pak Berta buru-buru mengeluarkan handphone dan USB dari saku jasnya.
"Apa ini?"
"Handphone milik pemain."
Salah satu pemain tim lawan yang terlibat dalam skandal pembullyan.
Seorang anggota tim pemain muda berbakat yang berhasil meraih penghargaan dalam tiga tahun kariernya. Dengan wajah yang cukup tampan, dia memiliki banyak penggemar dari berbagai kalangan.
Sayangnya, sanjungan berlebihan dari sekitarnya membuatnya sombong. Pada akhirnya, dia melakukan kesalahan fatal. Saat ini, berita mengenai skandal para pemain tersebut mulai bocor.
Tidak lama lagi, pembullyan mereka akan terungkap ke publik dalam skala besar.
Jika Yaga ingin menangkap para koruptor, maka hal itu bisa dia gunakan untuk memasang umpan.
"Saya sudah menekan dia untuk mengaku, dan ternyata mereka punya akun media sosial rahasia yang mereka gunakan untuk berbagi informasi di antara mereka sendiri. Ada foto-foto mereka di dalamnya."
Akun rahasia media sosial ya?
Mereka pasti tidak melewatkan kesempatan untuk memamerkan dirinya di sana. Namun, besar kemungkinan, mereka sudah menangis dan menghapus semua bukti. Jadi, Yaga tidak berharap banyak.
"...Ini aneh."
Pak Berta terlihat panik saat mencoba menyalakan handphone itu. Sepertinya dia membawanya dengan niat langsung menunjukkannya pada Yaga, tetapi perangkat itu tidak menyala.
Yaga mengangkat tangan, memberi isyarat bahwa dia tidak membutuhkannya.
Sebagai gantinya, dia mengambil USB yang ditawarkan.
"Sudah Anda cadangkan?"
"Y-ya…"
"Aku akan memeriksanya. Tapi saya tidak mengerti kenapa Anda memberikannya pada saya? Padahal, ini belum tentu bisa menyelamatkan posisi Anda,"
"Tidak, tidak… saya bahkan tidak berharap sejauh itu lagi. Saya seharusnya mendengarkan Anda sejak awal… Saya benar-benar meminta maaf." Pak Berta buru-buru menggeleng dan menundukkan kepala. Bibirnya tampak bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi ragu.
"Saya hanya… berpikir bahwa ini mungkin bisa sedikit membantu Anda dalam urusan Anda. Saya tidak mengharapkan imbalan apapun dari Anda tuan muda."
Yaga tertawa kecil, benar-benar terhibur.
Saat itu, Sekretaris Gan mengetuk jendela mobil. Sudah waktunya berangkat. Pak Berta dengan terburu-buru merapikan jasnya.
"Saya sepertinya sudah terlalu banyak mengambil waktu Anda Tuan muda. Saya permisi."
"Silahkan"
"Terima kasih atas waktunya."
"Pak Berta."
"Ya Tuan muda."
"Sebaiknya Anda menunda kepulangan Anda ke kampung halaman."
Yaga tersenyum tipis padanya. Bisa saja lain kali, Pak Berta tidak datang kepadanya, melainkan langsung pergi ke media untuk membongkar skandal tim lawan. Memiliki sedikit jaminan seperti ini tidak akan merugikan.
"Terima kasih… Terima kasih banyak." Pak Berta nyaris menangis saat membungkuk berkali-kali. Yaga mengangguk ringan. Laki-laki itu kemudian keluar dari mobil, terus menunduk saat berjalan menjauh.
"Apa yang kalian bicarakan?"
Setelah mengantar Pak Berta Sekretaris Gan memasang sabuk pengamannya dan bertanya.
Yaga menyilangkan kakinya, tidak menyembunyikan ekspresi tidak senangnya.
"Entahlah. Akan ku periksa sekarang."
Pak Berta meminta belas kasihan, merendahkan diri, dan berharap sesuatu darinya, tapi bagi Yaga, satu-satunya hal yang penting adalah apakah informasi itu cukup berguna.
Yaga mencolokkan USB ke hp nya dan mulai memeriksa file yang ada di dalamnya.
Begitu melihat isinya, dia tertawa kecil. Pak Berta pasti sangat ketakutan. Semua bukti sudah dicadangkan dalam berbagai format video, tangkapan layar, dan foto.
Yaga membuka salah satu foto di bagian atas daftar.
Sebuah foto biasa. Sejumlah orang duduk berpasangan di dalam ruangan yang tampaknya adalah karaoke VIP. Yang menarik adalah tagar di bawahnya. Yaga menyipitkan mata sambil mengusap dagunya.
Tagar, tersebut adalah sebuah istilah yang sangat menggoda untuk digali lebih dalam.
Di dalam foto, ada dua pemain basket tim lawan dan seorang aktris yang pernah menjadi model iklan shampo beberapa tahun lalu.
Dan satu orang lagi.
Yaga mengernyit.
"Aku ingin bertanya sesuatu, Gan."
"Silahkan tuan muda. Apa yang mau Anda tanyakan?"
Mobil berhenti di lampu merah. Sekretaris Gan menoleh ke arah Yaga
"Kau tahu persis kan siapa gadis yang duduk di pangkuannya?"
Yaga memiringkan hp agar Sekretaris Gan bisa melihatnya. Begitu melihat foto itu, ekspresi Gan berubah tegang.
"Eh… Ya, saya tahu tuan muda"
"Dia ada hubungannya dengan pemain itu ya? Menarik sekali."
Sekretaris Gan ragu sejenak. Dari belakang, suara klakson mobil berbunyi keras ketika lampu hijau menyala. Sambil menginjak pedal gas, Sekretaris melirik Yaga dari kaca spion.
"Sepertinya begitu tuan muda.."
* * *
Langit pun mulai gelap
Almaira, dengan dagu bertumpu di telapak tangannya, dia menatap teman-teman seangkatan yang sedang berceloteh.
Mereka bercerita tentang cerita lama yang sudah hampir 5 tahun berlalu, di sampingnya Bella menangis sendirian, dan satu-satunya hal yang bisa membantu adalah kekacauan ini.
Almaira mengisi gelasnya lagi.
"Almaira" Pada saat yang sama, Amera yang baru saja kembali dari toilet duduk dengan wajah ceria.
Almaira memindahkan coca-cola dan menuangkannya ke gelas Amera sampai penuh. Amera tertawa dan meletakkan lengannya di atas bahu Almaira
"Saat kamu hadir, rasanya kita kembali seperti di zaman dulu ya. Waktu itu, kalau kita lagi galau karena nilai ujian yang anjlok, kita selalu pergi ke mall bareng-bareng kan?"
"Bukan karena galau, tapi lebih karena dia di marahi suaminya deh sepertinya?" Bella menimpali "Benar tidak?"
"Ya, itu benar. Aku selalu pusing karena di marahi." Almaira tertawa lepas
Di sebelahnya, Amera mengikuti tawanya, lalu menyanyikan lagu dengan nada ceria. Sepertinya dia lagi galau, karena liriknya berantakan.
"Hmm. kamu sebaiknya berhenti minum Almaira. Lihat perut mu sampai kembung begitu." Kata Bella lagi
"Ya,"
"Suami mu tidak punya waktu luang ya?" entah kenapa Amera tiba-tiba bertanya hal itu.
Tangan Almaira yang mau membawa gelas ke mulut terhenti di udara. Ketika dia ragu untuk menjawab, Amera yang sudah sepenuhnya bersandar ke tubuhnya, akhirnya menjulurkan lidah dengan geli.
"Yah, di luar negeri saja, dia sibuknya setengah mati, apalagi di sini ya..."
Sindiran halus Amera terdengar, tapi orang yang disindir sepertinya biasa saja, dan dengan santainya Almaira malah menjawab.
"... Hmm, ya... Begitulah. Kak Yaga kan memang selalu sibuk."
"Lagian, buat apa kamu tanya-tanya soal itu Amera?" Kata Sam yang membela "Ayolah, kamu fokus cari pacar baru saja. Jangan menganggu Aira lagi."
"Kenapa aku harus?"
"Cih!."
Ketika Sam berdecih sambil melihat Amera, seorang teman yang lewat menepuk-nepuk bahu Almaira
"Almaira"
"Hmm?"
"Handphone mu terus bergetar."
"Handphone?"
"Iya, dari tadi tasmu bergetar terus."
Almaira segara meraih tasnya yang di gantungkan di sandaran kursi.
Benar saja, getarannya begitu hebat. Perasaan tidak enak pun datang seketika dan jantungnya berdegup kencang.
Siapa orang yang menelepon ya? Ah, pasti orang itu adalah...
Saat meraih hp nya, getaran yang tadi sudah beralih ke riwayat panggilan tak terjawab.
Baru saja Almaira ingin menelepon kembali, getaran hp muncul lagi
Almaira menelan ludah saat melihat nama yang muncul di layar. Dia menarik napas dalam-dalam dan menggeser tombol hijau.
"Halo?"
_Almaira, ada dimana kamu? Sudah pulang?
Meskipun dia meninggalkan lebih dari sepuluh panggilan tidak terjawab, Yaga tidak bertanya kenapa teleponnya baru dijawab. Yang dia tanyakan hanya itu.
Alih-alih menjawab, Almaira pindah duduk di kursi yang agak jauh dengan teman-temannya.
"Belum, Aira masih ada di warung abnormal. Kenapa?"
Dari kejauhan terdengar suara seruan Amera. Sekali lagi Almaira menghembuskan napas panjang.
― Kamu bertemu Amera?
"Ya."
_ Dia menganggu mu?
"Ti_tidak!"
Di seberang telepon, Yaga mendesah kasar. Entah mengapa, Almaira merasakan sesuatu yang berkelebat di tengkuknya.
_ Sepertinya aku tidak bisa membiarkan mu menghadapinya lebih lama lagi. Kamu dimana? Aku jemput ya?
Suara rendahnya terdengar lembut, seolah-olah dia khawatir padanya.
"Tapi, semua teman ku ada disini."
― Aku tahu, jadi sebutkan di mana tempatnya?
"Tadi Aira sudah bilang kan Kak... Aira lagi ada di warung abnormal. Kalau Kak Yaga mau datang, cepat kesini."
― Baiklah, aku akan datang.
"Jika Kak Yaga menelepon, Aira akan keluar keluar menyambut Kak Yaga"
― Apa kamu tahu, sudah berapa kali aku menelpon sebelum akhirnya kamu menjawab panggilanku?
"Kali ini, Aira pasti akan menjawabnya."
Tidak ada jawaban dari Yaga. Almaira menatap layar hp nya dengan cemas dan membuka mulutnya lagi.
"Sungguh…."
― Hmm.
Dengan penekanan yang kuat. Perasaan tidak menyenangkan menggelayuti tenggorokannya. Meskipun tidak terlihat jelas di telepon, dia merasa lega karena ekspresi cemasnya tidak terbaca.
_ Jadi berapa lama berapa kira-kira itu akan selesai?
"Entahlah, Aira tidak tahu."
_ Kalau begitu, tunggu aku. Almaira Nandya Utami. Aku akan segera datang menjemput mu.
"Ba_"
Saat Almaira mau membalasnya, telepon tiba-tiba terputus. Almaira tahu, jika nama panjangnya di sebutkan, itu tandanya ada apa-apa. Seperti ada sesuatu yang tersirat.
Tiba-tiba, sebuah firasat buruk datang menghampiri. Dia merasa Yaga tidak akan jauh lagi. Bahkan jika itu bukan masalahnya, lebih baik menunggu di luar.
Lagipula, ini sudah malam. Jika dia cepat-cepat mengucapkan selamat tinggal, waktu akan pas.
Almaira dengan hati-hati bangkit dari kursi, saat berbalik untuk kembali ke tempat duduk, kakinya berhenti.
Di depannya, Amera berdiri dengan mata terbuka lebar, menatap Almaira.
* * *
Segala hal di dunia ini memiliki dua sisi. Ada kalanya kita merasa tenang karena teman-teman lama tidak berubah, namun ada juga saat-saat di mana kita merasa seolah-olah mereka bisa saja menjauh.
Saat Almaira bertemu pandang dengan Amera, sejenak dia teringat obrolan dengan suaminya.
Meskipun itu percakapan singkat, namun Amera sudah bisa menebaknya.
Sebelum Almaira sempat memanggil namanya, tubuh Amera sudah berbalik. Seperti sebuah pengumuman besar, dia berteriak dengan keras disana.
"Hei teman-teman, tahu tidak? Suami Almaira mau datang!"
Wajah Almaira langsung memerah. Minuman yang tadi membuatnya kembung seketika hilang.
Tergantikan oleh perasaan yang seakan mengejar dengan kegembiraan anak-anak.
"Bisa-bisanya kamu berbohong kalau suami mu tidak punya waktu luang, huh?" Amera menambahkan
Tidak lama dari itu, Almaira sudah duduk di tengah meja. Teman-teman yang sebelumnya duduk di meja lain langsung menarik kursi dan duduk di sekelilingnya, memancarkan sorot mata yang penuh rasa ingin tahu.
Amera, sebagai penemu pertama dan penyebar gosip, berdiri dengan dada terangkat, dan berpura-pura bangga.
"Berapa lama lagi, kira-kira suamimu akan menyusul?"
"Mungkin sebentar lagi"
"Oya?"
Amera tertawa sambil saling bertukar pandang dengan teman-temannya.
"Wah, itu tandanya kalian sudah saling terbuka kan?"
Almaira mengerutkan kening, berusaha mengalihkan perhatian, tapi Amera malah mengetukkan tinjunya di atas meja dengan keras.
"Almaira."
"...... Itu bukan seperti yang kalian pikirkan."
"Lah, kalau bukan begitu, kenapa tiba-tiba dia mau menyusul?"
Almaira menggenggam erat hp di atas pahanya, gelisah. Dia berpikir mungkin panggilan itu akan datang sebentar lagi, hatinya semakin panik. Dia ingin segera menenangkan suasana dan kembali normal, tetapi dengan melihat suasana hati teman-temannya, sepertinya mereka tidak akan mudah melepaskannya.
"Ooh, dia datang buat menjemput mu ya?"
"Hmm benar."
"Jadi, kamu mau kabur diam-diam?"
"Tidak boleh, aku akan menangkapnya."
"Hmm, bagus."
Almaira tahu, di usia pernikahannya yang masih muda seperti ini, pembahasan suami istri bukan hal yang harus di pamerkan. Dia tahu teman-temannya hanya bercanda karena dia satu-satunya orang yang sudah menikah disini.
Almaira menatap hp nya yang masih diam dan menggigit bibir bagian dalamnya, menahan rasa malu.
"Aku benar-benar penasaran deh. Coba ceritakan, suami mu sebenarnya orang yang seperti apa? Seingat ku, dia adalah orang yang selalu melarang mu ini dan itu. Benar kan? Apa sekarang masih sama?"
Semua mata tertuju padanya. Almaira hanya bisa menggulung bola matanya.
Tiba-tiba, bel pintu masuk berbunyi. Meskipun telepon belum datang, perasaan yang mencekam langsung menghampiri.
"Apa ini? Tadi semua pada duduk di tempat masing-masing, kenapa tiba-tiba jadi pada nimbrung?''
Untungnya itu adalah Sam, Almaira baru menyadari bahwa Sam memang tidak ada di tempat sebelumnya.
Ternyata dia keluar sebentar dan membawa kantong dari minimarket yang berisi banyak cemilan ringan.
"Sam, Cepetan sini duduk!"
"Apa sih?"
"Suami Almaira, katanya mau datang menjemputnya loh..."
"Hah? Beneran?' Sam bingung sendiri, lalu terdiam dan menoleh ke arah Almaira "Dia mau datang menjemput mu?"
"Saat itu aku khawatir karena dia terima telepon diam-diam, jadi aku mengikuti dan menangkap momen itu."
"Sam, di tangan mu itu potato chips?"
“Ah? Iya."
"Makan dulu, baru ngomong."
Di tengah obrolan yang semakin riuh, Almaira hanya bisa menepuk keningnya dengan lelah.
Teman-temannya tertawa terbahak-bahak, sementara dia hanya bisa menghela napas panjang.
"Eh, lihat! Dia datang, dia datang."
Cuma Amera yang berteriak dengan penuh semangat, bahkan masih ada es krim yang menempel di sudut mulutnya.
"Apa itu mobilnya?"
"Di mana, di mana?"
"Di depan warung! Lihat."
Almaira berbalik mengikuti teman-temannya dan melihat ke luar kaca.
Sebuah mobil hitam dengan kaca gelap terparkir di luar. Itu adalah mobil yang digunakan Yaga hari ini. Dia sudah sampai di depan warung.
"Ya tuhan, keren banget mobilnya.."
"Hmm, kalau begitu aku pulang duluan ya?"
Baru saja Almaira buru-buru meraih tasnya dan berdiri, bahunya ditekan dengan lembut oleh Amera
Tiba-tiba
Suara bel yang jernih memecah keheningan seperti sambaran petir. Suasana yang sebelumnya penuh dengan harapan dan kegembiraan langsung berubah menjadi hening, semua orang menoleh ke pintu.
Almaira yang kembali duduk pun terkejut membulatkan matanya lebar-lebar. Keheningan yang dingin menyelimuti.
Sementara itu, teman-temannya tampaknya sudah mengenali siapa yang datang. Almaira bisa merasakan kegugupan mereka meski tanpa melihat.
Yaga yang seakan menikmati tatapan itu, duduk dengan santai di kursi sebelah Almaira.
Dengan perlahan, Yaga mengusap bagian belakang kepala Almaira, dan satu tangan lainnya, menarik botol minuman yang ada di atas meja.
Suara air coca-cola yang mengalir ke dalam gelas terdengar jelas, tanpa rasa malu sedikit pun. Karena dia pasti tahu bahwa semua orang di ruangan ini tahu siapa dia bagi Almaira
"Senang bertemu dengan kalian semuanya."
Yaga mengangkat gelas yang penuh dengan minuman, langsung meminumnya dengan sekali teguk, seolah-olah itu adalah bagian dari pertunjukan yang dia lakukan untuk merespons harapan para tamu.
Saat dia selesai mengucapkan salam singkatnya, teman-teman Almaira yang duduk di meja berteriak dengan semangat, seperti anak-anak yang baru bertemu dengan idola untuk pertama kalinya.
Begitupula dengan Amera, yang katanya pernah di gosipkan berpacaran dengannya.
Banyak suara dan pertanyaan muncul bersamaan. Tapi dengan santainya, Amera segera meluruskan kesalahpahaman hubungan itu.
Yaga, yang tampak sudah sangat terbiasa dengan ekspresi Amera yang seperti itu, tetap tenang dan tidak tampak sedikit pun kehilangan kewarasannya.
Di samping itu, semakin Almaira merasa gugup, semakin terlihat jelas bahwa laki-laki itu menikmati ekspresinya.
Sekitar satu jam kemudian, acara reuni pun akhirnya selesai. Semua teman-teman yang hadir pun saling berpamitan.
Ketika Almaira mengangkat ranselnya, matanya tidak sengaja bertemu dengan tatapan Yaga.
Yaga yang menatapnya, berdiri. Sementara Almaira merasa tubuhnya seolah ditarik ke arahnya, seperti magnet. Rasanya sangat sulit untuk melepaskan diri dari perasaan itu.
Yaga semakin mendekat.
Entah kenapa, saat sudah berdekatan, Almaira tiba-tiba merasakan atmosfer yang dingin dan tajam di antaranya. Tanpa sadar, dia sedikit mundur.
"Ayo pulang" Yaga dengan lembut menggenggam tangan Almaira dan menariknya perlahan meninggalkan tempat itu.
* * *