Mati tertabrak truk? Klise.
Tapi bangun di dunia penuh sihir, monster, dan wanita cantik berbahaya?
Shen Hao tidak menyangka, nasib sialnya baru dimulai.
Sebagai pria modern yang tengil dan sarkastik, ia terjebak di dunia fantasi tanpa tahu cara bertahan hidup. Tapi setelah menyelamatkan seorang gadis misterius, hidupnya berubah total—karena gadis itu ternyata adik dari Heavenly Demon, wanita paling ditakuti sekaligus pemimpin sekte iblis surgawi!
Dan lebih gila lagi, dalam sebuah turnamen besar, Heavenly Demon itu menatapnya dan berkata di depan semua orang:
“Kau… akan menjadi orang di sisiku.”
Kini Shen Hao, pria biasa yang bahkan belum bisa mengontrol Qi, harus menjalani hidup sebagai suami dari wanita paling kuat, dingin, tapi diam-diam genit dan berbahaya.
Antara cinta, kekacauan, dan tawa konyol—kisah absurd sang suami Heavenly Demon pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZhoRaX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH 10
Sinar matahari pagi menembus jendela kamar sempit itu, menimpa wajah Shen Hao yang masih setengah terpejam.
Burung-burung kecil berkicau di luar, dan suara pedagang mulai terdengar lagi di jalanan bawah.
Shen Hao menguap lebar, menggeliat di atas ranjang jerami yang sudah kempes di satu sisi.
“Ugh... kenapa tiap pagi punggungku rasanya seperti digilas kerbau…”
Ia bangkit perlahan, tapi kemudian terhenti.
Tubuhnya terasa... aneh.
Ringan, seolah semua ototnya baru saja diurut sempurna.
Ketika ia menarik napas, udara yang masuk terasa jernih dan dingin, seperti menyerap langsung ke dada dan mengalir ke seluruh tubuhnya.
Ia menatap tangannya sendiri.
Kulitnya tampak sedikit lebih halus, urat-urat biru samar di bawahnya berpendar sangat lemah, hampir tak terlihat.
Ia memutar bahunya, lalu meregangkan tubuh.
Sendi-sendinya berbunyi pelan, tapi tidak sakit—justru terasa nyaman.
“Hmm…”
Ia mengernyit curiga.
“Perasaan... badanku ringan banget ya? Jangan-jangan... aku mulai kebal kutu ranjang?”
Sambil bersenandung kecil, ia berjalan ke jendela dan menatap keluar.
Udara pagi kota Luoyan terasa segar, tapi entah kenapa, ia merasa bisa mendengar lebih jauh.
Suara pedagang, langkah kuda, bahkan percakapan samar dari lorong dua blok jauhnya—semuanya terdengar jelas di telinganya.
Ia menatap ke luar dengan wajah bingung.
“...Apa aku tiba-tiba punya telinga super?”
Shen Hao menepuk pipinya pelan. “Atau jangan-jangan aku mulai halu karena kelaparan?”
Namun sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, perutnya berbunyi keras.
“Yup, kelaparan lebih masuk akal.”
Dengan langkah santai, ia mengganti pakaian, menata rambutnya yang berantakan, lalu turun ke bawah untuk mencari sarapan.
Begitu membuka pintu kamar, ia melewati dua pria berjubah yang semalam berbicara aneh di lorong.
Keduanya menatapnya sekilas, lalu berbisik pelan—namun kali ini, Shen Hao bisa mendengar jelas.
“Aura orang itu... meningkat lagi, ya?”
“Mustahil. Semalam dia kelihatan seperti manusia biasa. Apa dia menyembunyikan kultivasinya?”
Shen Hao membeku sejenak.
Lalu tersenyum kecut, berpura-pura tidak dengar, padahal jantungnya sedikit berdebar.
“Ahahaha… mereka pasti bicarakan orang lain. Tidak mungkin aku.”
Ia melangkah menuruni tangga, berusaha menenangkan diri, meski di dalam hatinya sedikit bingung.
Ada sesuatu yang berubah, tapi ia tidak tahu apa.
Yang pasti—batuk darah semalam ternyata bukan cuma gagal biasa.
“Ya sudahlah,” gumamnya sambil duduk di meja kayu dekat jendela.
“Kalau setiap gagal hasilnya ngebuat tubuh senyaman ini, aku rela gagal tiap malam.”
Pelayan datang membawa bubur spiritual panas dan teh giok harum.
Shen Hao menatapnya, tersenyum kecil.
Hari baru dimulai, dan ia sama sekali tidak sadar bahwa ia kini telah melangkah lebih jauh dalam dunia kultivasi dari yang ia bayangkan.
Sendok kayu Shen Hao berhenti di udara.
Uap bubur spiritual masih mengepul, tapi pikirannya terhenti karena percakapan ramai di meja sebelah.
Beberapa pria berjubah kasar duduk melingkar, wajah mereka antusias, tangan mereka bergerak heboh seolah sedang membicarakan sesuatu yang besar.
“Kau dengar kabar pagi ini!?”
“Tentang apa lagi? Harga pil naik?”
“Bukan! Turnamen Crimson Moon akan dimulai… dua hari lagi!”
Suara bangku bergeser, salah satu dari mereka berdiri setengah berteriak.
“Dua hari! Dua hari lagi, bodoh! Kau tahu artinya itu!?”
Pria di sebelahnya hampir tersedak teh.
“A-apa!? Aku pikir itu cuma rumor tahunan!”
“Rumor kepalamu!” sahut yang lain. “Langit Sekte Crimson Moon benar-benar berubah jadi merah keperakan semalam! Itu tanda resminya! Semua sekte besar sudah bersiap mengirim perwakilan mereka!”
Shen Hao mengerjap, menunduk pura-pura makan, tapi telinganya fokus penuh.
“Crimson Moon… seperti nama sekte besar. Tapi kenapa suaranya seperti lagi bicarakan konser raksasa.”
Percakapan di meja lain semakin panas.
“Aku dengar, peserta dari Sekte Azure Dragon sudah tiba di ibukota kemarin. Bahkan beberapa kultivator dari Dao Fusion dan Mahayana Realm juga ikut!”
“Bukan cuma itu! Ada kabar kalau ahli dari Tribulation dan True Immortal juga bakal turun tangan!”
“Dan—kau siap mendengar yang paling gila?—dua Heavenly Immortal dikonfirmasi hadir sebagai peserta kompetisi!”
Beberapa orang langsung berdiri kaget, hampir menjatuhkan kursi mereka.
“HEAVENLY IMMORTAL!?”
“Lelucon macam apa itu!? Orang biasa saja bisa mati berdiri cuma karena mereka lewat!”
Shen Hao berhenti mengunyah.
“Heavenly Immortal… itu udah level berapa sih dari Foundation Establishment?”
Ia menghitung dengan jari pelan. “Kalau dihitung dari bawah, mungkin... sekitar... ya, dua puluh tangga di atasku? Mantap, beda dunia.”
Namun percakapan itu belum selesai.
“Kau tahu kenapa semua orang kuat itu datang?”
“Tentu saja karena Nona Mei Xian’er! Ketua Sekte Crimson Moon! Si Heavenly Demon itu!”
“Katanya, dia akan memilih satu orang untuk menjadi pelindung pribadinya!”
Hening sesaat, lalu semua pria di meja itu berseru bersamaan:
“APA!?”
Salah satu dari mereka menepuk meja sampai mangkuknya tumpah.
“Kau sadar tidak!? Itu berarti—siapa pun yang menang, bisa berdiri di sisi Mei Xian’er! Wanita itu… dewi sekaligus iblis! Cantik, kuat, berbahaya!”
Yang lain menghela napas dalam-dalam sambil memejamkan mata.
“Katanya, senyumannya saja bisa bikin roh suci jatuh cinta dan monster pingsan. Astaga…”
Shen Hao menatap buburnya kosong-kosong.
“Wanita cantik, kuat, dan mematikan… formula sempurna untuk bencana.”
Ia menatap teh giok di depannya. “Kalau aku ikut, baru lihat wajahnya saja mungkin udah dikutuk.”
Ia meneguk tehnya perlahan sambil mendengarkan sisa obrolan yang makin heboh.
“Kau mau ikut?”
“Aku!? Aku belum selesai latihan teknik napas dasar! Bisa-bisa baru daftar langsung dibunuh aura peserta lain!”
“Aku sih ikut! Kalau pun mati, setidaknya mati karena cinta!”
Shen Hao menahan tawa, menggeleng pelan.
“Cinta, katanya. Kalau tahu dia bisa berubah jadi naga iblis dan menendang gunung, mungkin kau akan cinta sambil menangis.”
Ia menaruh sendok, berdiri santai.
Langit di luar tampak berwarna merah muda—arah timur, tempat Sekte Crimson Moon berada.
Orang-orang di jalan mulai sibuk, menempelkan pengumuman baru bertanda lambang bulan merah berlumur cahaya perak.
“Turnamen besar, ya…” Shen Hao bergumam pelan sambil keluar dari penginapan.
“Kalau semua orang kuat bakal datang, paling nggak aku harus lihat.”
Ia tersenyum kecil. “Menonton boleh, berpartisipasi? Terlalu sayang sama hidup.”
Ia berjalan di bawah sinar sore yang mulai merona keunguan, langkahnya ringan.
Begitu kaki Shen Hao keluar dari penginapan, udara di luar terasa aneh.
Tidak, bukan aneh… tapi berat.
Udara yang biasanya segar kini seperti ditekan oleh sesuatu yang tak terlihat.
Setiap tarikan napas terasa lebih sulit, dadanya bergetar halus.
Orang-orang di jalan terlihat gugup, beberapa bahkan menunduk dalam-dalam, seolah takut menatap langit.
“Hmm? Apa aku yang salah makan?” gumam Shen Hao sambil memijat tenggorokannya.
Namun begitu ia melangkah ke tengah jalan, hembusan angin dingin tiba-tiba melintas di antara rumah-rumah.
Dan dari arah timur, beberapa bayangan terbang melintasi langit.
Mereka melesat seperti garis cahaya.
Beberapa membawa tombak, beberapa berselimut jubah dengan lambang sekte berbeda di punggungnya.
Tapi semuanya memiliki satu kesamaan—aura mereka begitu kuat hingga membuat udara bergetar.
Wuuummm…
Shen Hao spontan menatap ke atas.
“Apa itu… orang-orang terbang?”
Mata ungunya memantulkan cahaya spiritual yang melintas cepat.
Namun semakin lama ia menatap, semakin tubuhnya terasa gemetar.
Tekanan spiritual dari mereka menimpa seluruh kota, membuat genteng-genteng bergetar, dedaunan terangkat, dan debu melayang.
Orang-orang di sekitar mulai menutup kepala, beberapa bahkan langsung berlutut tanpa sadar.
Seorang pemuda di dekatnya menjerit,
“Itu—itu dari Sekte Azure Dragon! Lihat jubah birunya!”
“Dan yang di belakangnya… itu Sekte Iron Flame! Mereka benar-benar datang sendiri!”
Shen Hao yang awalnya berdiri santai kini mulai terbungkuk, menahan tekanan itu.
“Waduh… rasanya kayak… gunung nindih dada,” gumamnya dengan wajah tegang.
Ia mencoba menarik napas—gagal.
Napas kedua—masih gagal.
Di napas ketiga, ia malah terjatuh berlutut ke tanah dengan wajah menegang.
“Sial… bahkan… napas pun bayar pajak di sini ya…”
Sementara itu, langit semakin ramai.
Sekelompok besar kultivator lain melintas, dengan aura petir, api, dan kabut ungu yang saling bertabrakan.
Setiap kali dua kelompok saling berpapasan, udara bergetar seperti akan pecah.
Satu aura saja cukup membuat orang biasa kehilangan kesadaran.
“Ini…” Shen Hao menatap ke depan dengan mata terbelalak, “...kayak parade para dewa.”
Beberapa orang kuat mendarat di atap-atap bangunan, lalu melanjutkan langkah mereka ke arah timur—arah Gunung Langit Merah, tempat turnamen Crimson Moon akan digelar.
Suara gemuruh, desir angin, dan getaran spiritual menekan setiap sudut kota.
Shen Hao berdiri dengan susah payah, tubuhnya gemetar.
Ia menghela napas berat, menepuk dadanya sendiri.
“Kalau baru jalan lewat aja bikin paru-paru sesak seperti ini…"
Ia menatap ke arah gunung di kejauhan, di mana cahaya merah samar berdenyut lembut seperti jantung raksasa.
“...aku gak mau bayangin gimana rasanya kalau mereka lagi bertarung.”
Namun meski tubuhnya lemas, langkah kakinya tetap maju pelan-pelan, mengikuti arus orang-orang yang menuju ke arah gunung itu.
Bukan karena nekat, tapi karena rasa ingin tahu yang makin membuncah di dadanya.
“Turnamen besar… huh. Ya sudahlah, kalaupun mati, paling nggak aku mati karena penasaran.”
Ia tersenyum miring, lalu terus berjalan menyusuri jalan berbatu menuju lembah merah yang semakin terang di kejauhan.
Entah kenapa, firasat di dadanya bergetar—seolah dunia ini mulai bergerak, dan tanpa sadar, namanya akan ikut tertulis di dalamnya.