Aruna hanyalah perawat psikologi biasa—ceroboh, penuh akal, dan tak jarang jadi sasaran omelan dokter senior. Tapi di balik semua kekurangannya, ada satu hal yang membuatnya berbeda: keberaniannya mengambil jalan tak biasa demi pasien-pasiennya.
Sampai suatu hari, nekatnya hampir membuat ia kehilangan pekerjaan.
Di tengah kekacauan itu, hanya Dirga yang tetap bertahan di sisinya. Sahabat sekaligus pria yang akhirnya menjadi suaminya—bukan karena cinta, melainkan karena teror orang tua mereka yang tak henti menjodohkan. Sebuah pernikahan dengan perjanjian pun terjadi.
Namun, tinggal serumah sebagai pasangan sah tidak pernah semudah yang mereka bayangkan. Dari sahabat, rekan kerja, hingga suami istri—pertengkaran, tawa, dan luka perlahan menguji batas hati mereka.
Benarkah cinta bisa tumbuh dari persahabatan… atau justru hancur di balik seragam putih yang mereka kenakan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15.Siapa sebenarnya Dr. Iren?
Iren menoleh, dan mata mereka bertemu. Senyuman lembutnya mengembang, kali ini lebih dalam, seolah khusus diberikan untuk Dirga.
“Halo,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. “Anda pasti dr. Dirga? Saya Iren, dokter baru di sini.”
Aruna yang berdiri di antara mereka merasakan sesuatu menegang di dadanya. Senyum manis dokter Iren pada Dirga terlihat… terlalu akrab, terlalu cepat. Ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, tapi jelas membuat napasnya tercekat.
Dirga sontak tertawa begitu Iren bicara formal, ekspresinya benar-benar tak bisa ditahan. Ia menyambut uluran tangan itu, tapi suaranya menggema di ruangan.
“Hahaha… akting lo bagus banget pura-pura nggak kenal gue, Ren.”
Seisi ruangan mendadak riuh. Beberapa perawat yang sedari tadi memperhatikan jadi saling berbisik. Dan sebelum siapa pun sempat mencerna, Iren langsung merobohkan jarak di antara mereka. Tanpa ragu, ia memeluk Dirga erat di depan semua orang.
“Gue kira lo udah lupa sama gue,” ucap Iren pelan, kepalanya bersandar di dada Dirga. Tawa kecilnya terdengar, lalu ia memukul ringan dada Dirga sebelum akhirnya melepaskan pelukan itu.
Pemandangan itu sontak membuat semua orang terkejut. Maya menutup mulutnya, perawat lain menahan napas, sementara Aruna berdiri membeku. Dadanya serasa ditikam. Selama ini ia tak pernah melihat Dirga begitu dekat dengan siapa pun… dan kini, tepat di hadapannya, ada seorang wanita cantik yang datang dan langsung memeluknya.
“Lo kenal sama dokter Iren?” kalimat itu lolos begitu saja dari mulut Aruna. Ia bahkan tak sempat menahannya.
Dirga mengalihkan pandangannya, menatap Aruna sejenak. “Oh, Ren ini… temen deket gue waktu kuliah. Dia sering banget bantuin gue.”
Aruna berkedip, hatinya bergetar aneh. “Kok gue nggak pernah tau?” tanyanya lagi, nada suaranya lebih rendah, hampir berbisik.
“Ooh… waktu gue mau ngenalin lo sama Iren, dia keburu pergi ke luar negeri buat pertukaran pelajar. Jadi ya… kita sempet kepisah lama, baru ketemu lagi sekarang.” Dirga menjelaskan ringan, seolah itu bukan hal besar.
Lalu, tanpa pikir panjang, ia menggandeng tangan Iren, menuntunnya ke arah ruangannya. “Ren, kenalin, ini Aruna—sahabat gue dari SMA. Kayaknya kita perlu ngobrol lebih lanjut deh, ayo masuk.”
Mereka pun berlalu begitu saja, meninggalkan Aruna yang masih terpaku di tempatnya. Matanya mengikuti punggung Dirga dan Iren yang berjalan berdampingan. Ada perasaan asing yang tumbuh di dalam dirinya—campuran aneh antara panas, perih, dan… takut kehilangan.
“Kayaknya dia bakal jadi saingan baru lo, Na,” bisik Maya, sama terkejutnya dengan kedekatan mereka.
Aruna tersentak, buru-buru menggeleng. “Apaan sih lo, May. Gue sama Dirga kan cuma sahabatan,” ucapnya cepat, berusaha terdengar santai. Tapi senyumnya kaku. Hatinya tahu, ada sesuatu yang berbeda.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Aruna melangkah masuk ke ruang praktik dengan membawa berkas pasien. Seperti biasa, ia mendampingi setiap konsultasi, mencatat keluhan, lalu menuliskan resep sesuai arahan dokter. Kali ini pasien ditemui langsung oleh dr. Iren, dokter muda cantik yang baru saja bertugas. Setelah sesi konsultasi selesai, Aruna menyerahkan resep kepada pasien dan bersiap keluar dari ruangan.
Namun saat Aruna baru saja hendak berdiri tiba-tiba tangan halus menahan pergelangan tangannya.
“Boleh kita bicara sebentar?” suara dr. Iren terdengar lembut, tapi mengandung sesuatu yang sulit diartikan.
Aruna sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk dan kembali duduk di kursi berhadapan dengannya.
Iren menautkan jemarinya, senyumnya terjaga anggun. “Dulu Dirga sering banget cerita soal kamu. Bahkan dia suka muji-muji kamu… saya nggak nyangka ternyata sampai sekarang kalian masih bareng.”
Aruna terdiam sejenak, lalu tersenyum kaku. Hatinya mulai resah, tapi ia memilih mendengarkan lebih jauh.
“Waktu kuliah,” lanjut Iren, matanya sedikit menerawang, “saya sangat dekat dengan Dirga. Saking dekatnya, saya pernah berpikir… kalau saja saya nggak berangkat ke luar negeri untuk pertukaran pelajar, mungkin saya dan Dirga sudah jadi pasangan sekarang.”
Kalimat itu membuat dada Aruna seperti ditusuk jarum halus. Ia menelan ludah, mencoba tetap tenang.
“Maksud dokter Iren… Dirga punya perasaan lebih sama dokter?” tanyanya dengan hati-hati.
Iren tersenyum samar, kali ini lebih personal. “Lebih tepatnya… kami sama-sama punya perasaan itu.”
Aruna menegang, senyumnya hampir pudar. Namun cepat-cepat ia mengangguk kecil, berpura-pura tak terusik.
“Tapi tentu saja, waktu mengubah banyak hal,” ucap Iren lagi. Ia lalu mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap Aruna lebih dalam. “Apalagi sekarang kamu selalu ada di samping Dirga. Jadi… apa hubungan kalian masih sebatas sahabat?”
Pertanyaan itu menusuk. Aruna terdiam, kebingungan harus menjawab apa. Secara status, ia adalah istri sah Dirga. Tapi di rumah sakit ini, semua orang hanya tahu mereka sebatas sahabat.
Akhirnya ia memilih tertawa pelan, walau terdengar hambar. “Hahaha… tentu saja kami masih sahabat.”
Senyum lega langsung terbit di wajah Iren. “Syukurlah.” Ia menarik napas, lalu tanpa basa-basi menatap Aruna dengan mata berbinar. “Kalau begitu… boleh saya minta bantuan?”
Aruna mengerutkan kening. “Ban—bantuan?” tanyanya hati-hati.
“Tolong… dekatkan saya dengan Dirga.”
Kata-kata itu meluncur begitu saja, ringan tapi terasa berat di telinga Aruna. Jantungnya berdegup kencang, matanya refleks membesar. Untuk sesaat, Aruna tidak tahu harus menjawab apa.
.
.
.
Bersambung
Jawab aja Run sorry dokter tapi Dirga dah jadi suami gue. lu telat banget klu mau dapetin Dirga 😅
Jangan lupa like👍🏿 komen 😍and subscribe guys❤. tinggalkan jejak ya guys karna jejak apapun dari kalian sangat berarti buat aku 😘
...~Aruna❤~...