Di dunia Eldoria, sihir adalah fondasi peradaban. Setiap penyihir dilahirkan dengan elemen—api, air, tanah, angin, cahaya, atau bayangan. Namun, sihir bayangan dianggap kutukan: kekuatan yang hanya membawa kehancuran.
Kael, seorang anak yatim piatu, tiba di Akademi Sihir Eldoria tanpa ingatan jelas tentang masa lalunya. Sejak awal, ia dicap berbeda. Bayangan selalu mengikuti langkahnya, dan bisikan aneh terus bergema di dalam kepalanya. Murid lain menghindarinya, bahkan beberapa guru curiga bahwa ia adalah pertanda bencana.
Satu-satunya yang percaya padanya hanyalah Lyra, gadis dengan sihir cahaya. Bersama-sama, mereka berusaha menyingkap misteri kekuatan Kael. Namun ketika Gong Eldur berdentum dari utara—suara kuno yang konon membuka gerbang antara dunia manusia dan dunia kegelapan—hidup Kael berubah selamanya.
Dikirim ke Pegunungan Drakthar bersama tiga rekannya, Kael menemukan bahwa dentuman itu membangkitkan Voidspawn, makhluk-makhluk kegelapan yang seharusnya telah lenyap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 – Ujian Arena Arcanum
Matahari baru saja naik ketika lonceng perunggu berdentang di seluruh kota Ardyn. Rakyat berbondong-bondong menuju pusat kota, tempat Arena Arcanum berdiri megah. Bangunan melingkar itu terbuat dari batu hitam berukir simbol kuno, dengan kubah kristal di atasnya yang berkilau menyilaukan.
Hari ini, bukan sekadar pertunjukan sihir. Hari ini adalah hari penentuan: apakah Kael pantas dipercaya… atau dimusnahkan.
Kael berdiri di ruang tunggu bawah tanah, jantungnya berdegup keras. Di hadapannya, pintu besi raksasa menutup rapat. Dari luar terdengar sorak ribuan orang—suara yang bukan memberi semangat, melainkan haus akan jawaban.
“Kael,” suara Lyra lembut namun tegas. Ia berdiri di sampingnya, tangan menyentuh bahu Kael. “Jangan biarkan mereka menentukan siapa dirimu. Kau yang memilih.”
Soren menghunus pedangnya, lalu menekankannya ke tanah. “Kalau ada yang mencoba main curang, aku akan memotong kepala mereka.”
Elira, meski tampak tenang, matanya penuh kecemasan. “Ingat, ini ujian ilusi dan sihir tingkat tinggi. Mereka tidak hanya menguji kekuatanmu, tapi juga hatimu. Jangan biarkan bayangan menguasai.”
Kael mengangguk, menelan ludah. Dalam dirinya, suara Umbra berbisik: “Ini panggungmu. Tunjukkan pada mereka siapa sebenarnya yang berkuasa. Biarkan aku mengambil alih.”
Kael menggertakkan gigi. Tidak. Ini ujianku.
Pintu besi terbuka dengan dentuman berat. Cahaya menyilaukan masuk, dan sorak ribuan orang membahana. Kael melangkah masuk ke arena luas yang lantainya dipenuhi simbol sihir bercahaya. Di tribun atas, para penyihir Dewan Arcanum duduk dengan jubah mereka yang berkilau.
Archmage Deylon berdiri, tongkatnya terangkat. “Hari ini, kita menguji anak yang membawa bayangan dalam dirinya. Jika ia mampu mengendalikan kekuatan itu, ia akan dianggap sekutu. Jika gagal—maka ia akan dimurnikan.”
Sorak dan bisikan memenuhi arena.
Deylon menghentakkan tongkatnya. Segera, simbol di lantai berkilau. Dari udara, muncul bayangan besar berbentuk serigala raksasa, matanya merah menyala, tubuhnya tersusun dari kabut hitam pekat.
“Ini ujian pertamamu,” seru Deylon. “Kalahkan wujud ketakutanmu.”
Serigala itu menggeram, lalu melompat ke arah Kael. Refleks, Kael mengangkat tangannya, dan dari bayangannya sendiri keluar cambuk hitam yang membelit tubuh serigala. Namun hewan itu mengaum, menarik Kael hingga hampir terhempas ke tanah.
Umbra tertawa dalam pikirannya. “Ya! Gunakan lebih banyak! Biarkan aku menelan semuanya!”
Kael mengguncang kepalanya. “Bukan kau yang mengendalikan, tapi aku!” Ia menyalurkan energinya ke cambuk bayangan itu, hingga berubah menjadi pedang hitam pekat. Dengan satu tebasan, ia membelah serigala bayangan menjadi dua, yang kemudian meledak menjadi kabut.
Arena bergemuruh. Sebagian terkejut, sebagian kagum, sebagian ngeri.
Namun ujian belum selesai. Simbol di lantai kembali berkilau, kali ini menampakkan sosok yang membuat Kael terdiam: bayangan ayahnya sendiri.
Pria itu berdiri dengan tatapan dingin, persis seperti kenangan samar Kael. “Kau lemah,” suara ilusi itu menuduh. “Kau sama saja dengan kami. Cepat atau lambat, kau akan menjadi kegelapan.”
Kael terhuyung, matanya berkaca. Rasa sakit lama kembali membanjir. “Tidak… aku bukan…”
Lyra berteriak dari tribun bawah. “Kael! Itu bukan ayahmu! Itu hanya bayangan hatimu sendiri!”
Air mata mengalir, tapi Kael menggenggam pedang bayangan erat. “Mungkin benar aku membawa kegelapan. Tapi aku bukan budak kegelapan. Aku… adalah aku!”
Ia menebas ilusi ayahnya, yang pecah menjadi cahaya.
Keheningan menyelimuti arena sesaat. Lalu sorak-sorai menggema, kali ini bercampur dengan keterkejutan.
Deylon berdiri, wajahnya serius. “Kau lulus ujian pertama. Tapi ujian terakhir masih menanti.”
Simbol lantai menyala lebih terang, dan kali ini, dari tengah arena, muncul gerbang hitam berukir—tiruan Gerbang Bayangan itu sendiri. Dari dalamnya, tangan-tangan hitam mulai meraih keluar, mencoba menyeret Kael masuk.
Umbra berbisik semakin keras: “Buka gerbang itu! Biarkan kami kembali! Hanya dengan begitu kau akan tahu kekuatan sejati!”
Kael menutup matanya, berjuang menahan teriakan batinnya. Ia tahu, inilah ujian sejati: bukan melawan musuh luar, tapi melawan panggilan dari dalam dirinya sendiri.