Kehidupan seorang balita berusia dua tahun berubah total ketika kecelakaan bus merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ia selamat, namun koma dengan tubuh ringkih yang seakan tak punya masa depan. Di tengah rasa kehilangan, muncullah sosok dr. Arini, seorang dokter anak yang telah empat tahun menikah namun belum dikaruniai buah hati. Arini merawat si kecil setiap hari, menatapnya dengan kasih sayang yang lama terpendam, hingga tumbuh rasa cinta seorang ibu.
Ketika balita itu sadar, semua orang tercengang. Pandangannya bukan seperti anak kecil biasa—matanya seakan mengerti dan memahami keadaan. Arini semakin yakin bahwa Tuhan menempatkan gadis kecil itu dalam hidupnya. Dengan restu sang suami dan pamannya yang menjadi kepala rumah sakit, serta setelah memastikan bahwa ia tidak memiliki keluarga lagi, si kecil akhirnya resmi diadopsi oleh keluarga Bagaskara—keluarga terpandang namun tetap rendah hati.
Saat dewasa ia akan di kejar oleh brondong yang begitu mencintainya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Suara sutil beradu dengan wajan terdengar di dapur. Aroma bawang putih yang baru ditumis mulai menyebar ke seluruh ruangan. Celin memecahkan telur, mengocoknya dengan cepat, sementara Cakra menambahkan garam dan lada dengan takaran pas.
“Wah, kamu kayak chef aja,” ucap Celin sambil melirik sekilas.
Cakra tidak menoleh, hanya tersenyum tipis. “Kalau nggak masak sendiri, aku bisa kelaparan di rumah. Mama Papa sering pulang malam.”
Celin terdiam sesaat. Ada rasa yang familiar dalam kalimat itu—tentang kesepian yang pernah ia rasakan. Tapi ia hanya menjawab dengan senyum kecil. “Aku juga sering gitu. Bedanya, aku malah suka lupa makan karena kebanyakan kerja.”
“Makanya, jangan sering lupa makan.”
Kalimat sederhana itu, tapi nada tenangnya membuat Celin merasa benar-benar diperhatikan.
Celin menunduk, tersenyum tanpa sadar.
Sementara itu di ruang tamu, Dimas dan yang lain sudah mulai ribut karena lapar.
“Arka, lama banget sih kakakmu masaknya?” rengek Dimas sambil selonjoran di sofa.
Arka menyeringai. “Biasanya nggak selama ini. Kayaknya ada yang bikin betah di dapur.”
Aksa menatap dingin adiknya. “Maksudmu?”
Arka mengangkat alis, menoleh ke arah dapur. “Lo nggak liat? Celin sama Cakra. Wah, jangan-jangan…”
Aksa langsung menyikut bahunya. “Jangan asal ngomong. Kak Celin bukan tipe yang gampang begitu.” Tapi hatinya, entah kenapa, agak nggak tenang.
Di dapur, masakan hampir selesai. Telur dadar tebal, mi goreng dengan potongan sayur, dan sup sederhana sudah tertata rapi. Celin meletakkan mangkuk terakhir di meja.
“Wah, ternyata kalau ada partner masak, lebih cepat ya,” katanya sambil menoleh pada Cakra.
Untuk pertama kalinya, Cakra menatapnya cukup lama. “Aku nggak nyangka Kak Celin… sederhana banget.”
Celin terkejut. “Maksudnya?”
“Maksudku… dari cerita Arka dan Aksa, aku kira Kak Celin itu kaku, serius, kayak orang dewasa banget. Tapi ternyata… ya, kayak gini. Natural.”
Celin tertawa kecil. “Aku memang orangnya biasa aja. Kalau di depan Papa Mama, iya… aku harus terlihat lebih dewasa. Tapi kalau di rumah, aku ya cuma Celin.”
Cakra mengangguk pelan. Ada kilatan kagum di matanya.
Saat mereka membawa makanan ke ruang tamu, semua sahabat kembar langsung bersorak.
“Yesss, makanan! Hidup Kak Celin!” teriak Dimas sambil mengangkat garpu.
“Eh, jangan lupa, sebagian besar yang masak Cakra lho,” sela Celin sambil tertawa.
Lima pasang mata langsung menoleh ke arah Cakra.
“APAAA?!”
“Lo? Masak?!”
“Gila, gue kira lo cuma bisa ngitung rumus doang.”
Cakra hanya mengangkat bahu, wajahnya tetap datar. Tapi Arka melihat sekilas perubahan kecil—sudut bibir Cakra sedikit terangkat.
----
Makan siang itu berubah jadi sore hangat. Semua bercanda, saling melempar gurauan, meski sesekali tatapan Cakra kembali jatuh pada Celin yang sibuk melayani mereka.
Di tengah keramaian itu, hanya ia yang diam. Tapi justru dalam diamnya, Celin merasa ada perhatian yang berbeda.
Malamnya, setelah teman-teman pulang, Celin masih duduk di dapur membereskan piring. Arka dan Aksa sudah naik ke kamar.
Cakra belum pulang. Ia menunggu di ruang tamu, lalu berjalan pelan ke dapur.
“Kak Celin.”
Celin menoleh, sedikit kaget. “Oh, kamu belum pulang? Aku kira sudah ikut yang lain.”
Cakra menggeleng. “Aku tadi mau bilang… terima kasih. Hari ini aku merasa nyaman. Jarang-jarang aku bisa merasa begitu.”
Celin terdiam, menatapnya dengan tatapan hangat. “Aku juga mau bilang terima kasih. Kalau nggak ada kamu, aku pasti kelabakan masak sendirian.”
Ada jeda sejenak. Sunyi. Hanya terdengar suara jam dinding.
Cakra menunduk, lalu berkata lirih. “Aku harap… bisa sering seperti ini.”
Celin menatapnya, hatinya berdegup aneh. Ia tersenyum lembut. “Kita lihat nanti, ya.”
Malam itu, Celin kembali ke kamarnya dengan perasaan berbeda. Ia menatap bayangan dirinya di cermin, rambutnya masih berantakan, wajah tanpa make up. Tapi senyum itu… senyum yang muncul tanpa alasan.
Di sisi lain, Cakra berjalan pulang dengan langkah mantap, namun dadanya masih penuh debar. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak bisa berhenti memikirkan seseorang.
Celia Bagaskara.
Bersambung…
cakra msti lbih crdik dong....ga cma mlindungi celin,tp jg nyri tau spa juan sbnrnya....mskpn s kmbar udu nyri tau jg sih....
nmanya jg cnta.....ttp brjuang cakra,kl jdoh ga bkln kmna ko....
kjar celine mskpn cma dgn prhtian kcil,ykin bgt kl klian brjdoh suatu saat nnti.....
ga pa2 sih mskpn beda usia,yg pnting tlus....spa tau bnrn jdoh....
nongol jg nih clon pwangnya celine.....
msih pnggil kk sih,tp bntr lg pnggil ayang....🤭🤭🤭