NovelToon NovelToon
Peluang Pulih

Peluang Pulih

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Misteri / Romansa Fantasi / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:580
Nilai: 5
Nama Author: jvvasawa

"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."

Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.

Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.

Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.

Tentang bagaimana keadaan sekolahku yang dramatis bagai dalam seri drama remaja.


Oh, jangan salah mengira, ini bukan sekedar cerita klise percintaan murid SMA!

Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!


Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 14 | KUNCI PETAKA?

Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛

Selamat menikmati, para jiwa!

...

Tubuhku seketika terasa ringan dengan helaan napas yang bagai tak memiliki beban, bersamaan dengan telapak tangan Sora yang menempel di pucuk kepalaku. Jemarinya menari-nari di sela rambutku, setiap ujung jarinya menekan lembut kulit kepalaku.

“Masih merasa tak enak badan?” tanya Sora seraya usapan tangannya turun memijat tengkukku.

Aku menoleh ke arah Sora dengan senyum simpul sambil menggeleng, kemudian kupindahkan tangannya kembali ke sisinya. “Terima kas—”

“Pasti enak sekali, tuh, rasanya, dipulihkan Sora dengan sentuhan menenangkannya. Melayang-layang di langit ke tujuh seperti tak ada beban, kan? Aku yakin Nata ketagihan.”

Mulut besar itu selalu saja menyela! Minta dikoyak, sepertinya.

Aku mengangkat salah satu tanganku, mengancam akan memberi tepukan pedis padanya jika dia bicara omong kosong lagi, walau yang barusan dia katakan tak sepenuhnya salah.

“Ada lagi yang mau kau katakan?!” seruku mengancam.

Penglihatan Zofan melebar saat menangkap gesturku dari pantulan kaca spion, dengan otomatis tubuhnya sedikit meringkuk sambil sesegera mungkin kembali fokuskan pandangan ke arah jalanan.

“Jelas sekali dia sudah sembuh!” Teriakan panik Zofan mengisi ruang mobil yang sempit ini, membuat suaranya berkali lipat lebih menyebalkan. “Jangan sampai kau memukulku lagi, ya, Natarin! Aku sedang menyetir! Kau mau celaka?”

Jarinya menunjuk-nunjuk seakan mengancam, tapi raut wajahnya terlihat cemas. Cih.

Kau pikir kenapa aku tak langsung melakukannya, mulut remix?! Tentu saja karena aku masih sayang nyawa dan tak mau mengorbankan diriku hanya demi memukulmu.

“Makanya, diam!” ancamku, kembali pada posisi duduk tenang.

Kulihat Sora menyandarkan kepalanya pada kepala jok sambil memejamkan mata, tampak mengurut kepala hingga kedua sisi pelipisnya dengan jempol dan jari tengah. Aku jadi merasa bersalah.

Maafkan keributan yang kami buat, Sora. Kasihannya pujaan hatiku, padahal dia pasti lelah sudah menyerap seluruh sakitku, demi membantuku sembuh.

Tidak, tak usah maafkan Zofan! Ini salahnya yang selalu memulai pertengkaran!

“Natarin.”

Panggilan Sora sukses membuat mataku membelalak. Aku refleks menangkup kedua pipi hingga telingaku. Aduh, panas, panas! Malu sekali rasanya mendengar namaku keluar dari bibirnya.

“Natarin?”

Dengar, dengar! Kalian dengar? Astaga, dia menyebut namaku dua kali. Jika sampai tiga kali—

“Na—”

“Jawab, bodoh! Bukannya bertingkah seperti anak SD yang kegirangan dipanggil gebetannya! Memangnya kau jin dalam botol, yang harus dipanggil tiga kali dulu baru muncul?!”

“Sialan! Kau selalu mengganggu!” akhirnya menggeram juga aku, kucekik saja lehernya walau tak begitu kuat, hanya sampai dia meronta panik dan membuat kami sedikit terombang-ambing di dalam mobil.

“Astaga! Astaga! Menyetir yang benar, mulut remix!” jeritku ikut panik.

“Makanya jangan ganggu aku – tunggu, apa kau bilang?! Siapa yang bermulut remix, cabe rawit?!”

“Apa-apaan itu cabe rawit?! Maksudmu aku—”

“DIAM!”

Tubuhku dan Zofan seketika menegang kaku secara bersamaan. Jantungku sampai berhenti seperti tertimpa batu besar.

Pandanganku langsung kosong ke depan, mendadak takut untuk menoleh ke sumber suara, dan kurasa Zofan mengalami hal yang sama.

“… k – kau, sih, Nat—”

“KUBILANG DIAM, ZOFAN!”

Aku dan Zofan saling bertukar pandang melalui kaca spion, lalu kurasa tubuh kami sama-sama menciut takut. Kugigit bibirku, lalu kuku ibu jariku menyusul di sela gigitanku.

Sepertinya suasana mencekam dari daerah rumah nenek Zofan tadi sudah berpindah ke dalam mobil ini. Aku belum pernah melihat Sora marah, mungkin ini efek samping dari staminanya yang terkuras, ya?

Suara indah itu … siapa sangka bisa bergemuruh lantang bak sambaran kilat di antara awan-awan hitam?

“Natarin.”

Napasku tercekat kala suara itu memanggil untuk ketiga kalinya. Nada bicaranya kembali normal, tapi kali ini getaran yang mengalir berbeda dari rasa yang sebelumnya.

Takut terlalu lama merespon yang berpotensi membuat Sora lebih murka, aku mencicit ragu, “y – ya, Sora? Aku di sini. Ada yang bisa kubantu?”

Hm, terdengar seperti kasir supermarket.

Kuberanikan melirik ke arahnya walau perasaan takut masih singgah di hati, dan ternyata posisi dia masih seperti terakhir kulihat tadi. Matanya masih dipejamkan, dan tangannya masih di kepala.

Jadi, tadi dia berteriak dengan mata terpejam? Dengan wajah seteduh itu? Apa seperti itu penampilan malaikat seandainya mereka bisa marah?

“Coba beritahu pada Zofan apa yang terjadi padamu selama di rumah nenek. Mungkin dia tahu sesuatu,” saran Sora tanpa berniat melihat ke arahku. Semoga dia tidak sedang marah padaku ….

“B – baiklah … itu …,” sorot mataku kembali kulempar pada mata Zofan yang sesekali juga memantau lewat kaca spion. Kontak mata kami bagai sambaran petir yang saling bersahutan.

“… nenek melarangku untuk membantumu, Zofan.” Singkat saja kulontarkan kalimat pertamaku. Kemudian, baru lah kulanjut dengan kalimat keduaku yang lebih panjang,

“Dia juga bilang kalau aku kunci pembuka petaka. Apa maksud beliau? Aku sampai ketakutan mendengarnya. Aku bahkan masih ingat bagaimana rasanya tangan hingga kakiku gemetaran. Lebih kagetnya lagi, ternyata aku juga berkeringat? Aku baru sadar saat Sora memberitahu itu padamu.”

“Hah? Kau kunci pembukanya? Wah, tak kusangka. Apa hanya karena kebetulan kau yang kubawa ke sana?”

Wajahku tertekuk mendengar respon Zofan. Bukannya mengerti, aku malah dibuat semakin bingung.

“Apa maksudnya? Jangan buat aku semakin bingung,” keluhku.

“Nenek juga melarangku melakukan urusan ini, dan dia bilang aku kunci penuntun.”

“Kunci penuntun petaka,” perjelas Zofan.

Mulutku seketika terbuka, rasanya rahangku seperti akan jatuh kapan saja. Setelah ada kunci pembuka, sekarang ada kunci penuntun? Apa masih ada lagi istilah lainnya?

“A – apa-apaan, sih, itu? Aku butuh penjelasan, Zofan!” pekikku, tak terlalu keras, hanya sedikit frustrasi.

Aku mengusap-usap lenganku merinding. Bahkan sekarang tanganku ikut meremang, sampai aku meremas-remas jemariku guna mengikis rasa gundah.

“Aku juga belum tahu apa maksud nenek bicara begitu, tapi kurasa kita akan tahu maksudnya setelah menemukan gulungan kertas itu. Dan … menurut perkiraanku …,” Zofan berhenti sejenak dan berdeham sebelum kembali berbicara,

“… kalau nenek bisa bilang begitu setelah melihatmu, aku rasa yang nenek maksud sama seperti maksud tujuanku meminta bantuanmu, Nat.”

“Sepertinya memang perlu kau dulu yang selesaikan angka-angka dan persoalan yang tertulis di kertas itu, baru aku bisa mengambil langkah selanjutnya.”

Mendengar semua penjelasan yang masih berdasarkan dugaan Zofan, tubuhku terpaku. Kutekan punggungku ke belakang pada jok, lalu ikut memejamkan mataku seperti Sora yang dari tadi hanya diam, dan mungkin menyimak pembicaraan kami.

“Kesimpulannya, urusanmu ini petaka, kan?”

Terus terang saja, apalagi kalau bukan demikian?

“Hei,” tegur Zofan. Intonasi suaranya terdengar cemas, ragu, tapi juga seperti ingin menenangkan.

“Dengar, kita belum tahu apa yang akan terjadi. Jangan terlalu dibawa pikiran. Bahkan gulungan kertasnya saja belum ditemukan. Bisa saja kita tak jadi melakukannya,” katanya lagi, tersirat usaha meyakinkan kalau semua akan baik-baik saja.

“Sebenarnya …,” aku menjeda, ragu pada apa yang hendak kukatakan.

“Hm?” kali ini Sora menyahut. Aku tahu karena mendengarnya langsung dari sebelahku.

Aku membuka mataku mendengar dehaman Sora itu, lantas kutolehkan kepalaku ke samping.

Tubuhku sedikit tersentak, terkejut mendapati Sora yang sudah lebih dulu melihatku dengan posisi yang sama; kepala yang masih bersandar pada kepala jok, dan pipi yang menekan pada permukaan jok.

Ia tersenyum kecil sebagai reaksi saat netra kami bertemu pandang.

“Ekhem!”

Bibirku refleks mencebik seperti paruh bebek mendengar suara batuk berpadu dehaman dari arah kursi kemudi di depan.

Kupejamkan lagi mataku dengan wajah yang kualihkan kembali ke arah depan. Samar-samar kudengar kekehan halus Sora, membuatku merasakan hangat yang meraup kedua pipi.

“Nanti saja kubilang, aku perlu memikirkannya dulu. Aku ragu untuk katakan sekarang,” kataku jujur.

Lagi-lagi Zofan berdeham, “tak apa, kabari saja nanti kalau kau berubah pikiran.”

Kepalaku mengangguk sebagai jawaban, aku tahu Zofan pasti mengawasi dari kaca spion.

Dari yang kuperhatikan sejak kami berangkat dari sekolah, dia selalu mengecek kaca spion setiap menunggu jawaban, jadi aku tahu kalau dia pasti lihat saat aku mengangguk.

Hah, lelah sekali rasanya hari ini. Mulai dari otak, tubuh, bahkan hingga batin dan mentalku, semua serasa diuji. Aku tak sabar untuk segera pulang, sampai di rumah dan membersihkan diri, lalu berlari dan menghempaskan diri ke kasur ternyaman di kamarku itu.

“Nata, kau belum beritahu alamat rumahmu.”

… ya, tentunya setelah kuberitahu si supir, di mana letak rumahku.

...

Bersambung

1
Avocado Juice🥑🥑
Luar biasa kisahnya
Jwasawa | jvvasawa: Huhu terima kasih banyaak sudah luangin waktu membaca Peluang Pulih! 🥺💛
total 1 replies
Aishi OwO
Mantap, gak bisa berhenti baca
Jwasawa | jvvasawa: Waaaa terima kasih banyak! Semoga betah terus bacanyaa. /Whimper//Heart/
total 1 replies
Tsuyuri
Thor, tolong update secepatnya ya! Gak sabar nunggu!
Jwasawa | jvvasawa: Aaaa terima kasih banyak dukungannya! 🥺 akan aku usahakan! ♡♡
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!