Agatha Aries Sandy dikejutkan oleh sebuah buku harian milik Larast, penggemar rahasianya yang tragis meninggal di depannya hingga membawanya kembali ke masa lalu sebagai Kapten Klub Judo di masa SMA.
Dengan kenangan yang kembali, Agatha harus menghadapi kembali kesalahan masa lalunya dan mencari kesempatan kedua untuk mengubah takdir yang telah ditentukan.
Akankah dia mampu mengubah jalan hidupnya dan orang-orang di sekitarnya?
cover by perinfoannn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Last Chance
Ketegangan di dalam kamar tidak berhenti. Ibunya mengoleskan salep antiseptik ke luka di wajah Agatha dengan hati-hati. Tangannya lembut, tapi matanya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.
“Awas kalau kabur lagi! Sudah dibilang, Larast biar urusan polisi. Kamu itu masih kecil, Agatha. Bahaya, biar Ayahmu yang mencari Larast,” ancam ibunya. Nada bicaranya tegas.
“Aku udah kelas 3 SMA, Bu,” sahut Agatha.
“Kebiasaan kalau orang tua ngomong, nasehatin nyaut aja!” gerutu Ibunya.
Agatha hanya diam, menunduk. Ia tidak berani melawan. Percuma saja berdebat, ibunya pasti tidak akan mengerti. Yang pasti, ia akan tetap mencari Larast apapun yang terjadi. Tekadnya sudah bulat, meski harus sembunyi-sembunyi.
Sementara itu, ayahnya masih berbicara di telepon di ruang tengah. Suaranya rendah namun tegas, menginstruksikan rekan-rekannya untuk mencari tahu segala hal tentang Larast.
Dua orang polisi sudah dalam perjalanan menuju rumah Larast, bertugas menggali informasi dan memeriksa rekaman CCTV di sekitar lingkungan. Agatha tahu, ayahnya pasti sedang berusaha sekuat tenaga untuk membantu.
“Kan, jadi bolos sekolah kalau gini! Padahal sebentar lagi try out ujian nasional. Bisa-bisanya keluyuran terus,” keluh ibunya, menggeleng-gelengkan kepala.
“Tenang saja, Bu. Otak anak laki-lakimu ini encer. Jadi pasti dapat nilai tinggi,” ucap Agatha.
“Encer encer… emang air.”
Setelah selesai mengobati luka Agatha, ibunya menghela nafas panjang. Ia menatap putranya dengan tatapan yang sulit diartikan. Campuran antara marah, khawatir, dan sayang. Lalu, ia keluar dari kamar, meninggalkan Agatha sendirian untuk beristirahat.
Agatha menghela nafas lega begitu pintu tertutup. Ia menatap jam tangan di pergelangan tangannya. Desainnya ramping, dengan layar OLED yang melengkung memenuhi hampir seluruh permukaan. Sekilas, jam itu tampak seperti jam digital canggih yang belum pernah ia lihat di katalog elektronik atau iklan di majalah tahun 2004. Modelnya futuristik, jauh melampaui jam tangan Casio atau Seiko yang biasa dipakai teman-temannya.
Cahaya birunya kini terlihat lebih terang, memantulkan cahaya redup dari lampu kamarnya. Agatha mulai mengotak-atik Digital Crown dan tombol samping, mencoba mencari tahu mengapa jam itu tiba-tiba tidak berfungsi dengan semestinya.
“Kesalahan apa yang telah ku buat?” gumamnya, jari-jarinya dengan hati-hati menyentuh permukaan kristal safir layar.
Sentuhan itu terasa dingin dan halus, seperti menyentuh permukaan es. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan jam ini, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
\*\*\*
Sementara, Larast meringkuk di sudut ruangan yang gelap dan lembab. Bau pengap dan amis menusuk hidungnya, membuatnya mual.
Cahaya remang-remang masuk melalui celah di dinding yang terbuat dari triplek usang. Larast bisa melihat debu beterbangan di udara, menari-nari dalam sunyi. Ia sudah menangis berjam-jam, tapi air matanya kini sudah mengering. Tenggorokannya terasa sakit dan kering, bibirnya pecah-pecah.
Larast menggedor-gedor pintu dengan keras. “Lepaskan aku!” teriaknya.
“Apa yang kalian inginkan dariku? Aku tidak memiliki uang sebanyak itu, kalian harusnya menagihnya dengan kakakku. Bukan aku,” suara Laras meninggi.
Di sisa tenaganya, Larast terus meronta dan berteriak.
Seorang pria bertubuh kekar dengan tato memenuhi lengannya masuk ke dalam ruangan.
Wajahnya garang, dengan bekas luka yang membentang dari pelipis hingga dagu. Ia membawa nampan berisi makanan dan minuman.
Brak!
Pintu dibuka dengan keras, Larast yang berada di balik pintu tersentak kaget dan hampir tersungkur.
“Makan,” kata pria itu dengan suara berat. Ia meletakkan nampan itu di lantai, di depan kaki Larast.
Larast menendang nampan itu. Hingga butiran nasi berantakan keluar dari piring dan gelas air pecah.
“Dasar gadis jalanan tidak tahu diri!” Wajah pria itu berubah merah padam.
Larast mencoba keluar dari pintu, Pria itu menarik tangan Larast dan mendorong tubuhnya hingga tersungkur.
“Kamu tidak akan kemana-mana. Bos akan menjual mu setelah ini. Kau mengerti,” lanjut pria itu menyeringai.
Larast tersentak kaget. Ia tahu apa yang dimaksud pria itu. “Tidak! Aku tidak mau! Lepaskan aku!" teriak Larast histeris.
Pria itu mendekat dan mendorong tubuh Larast lagi. “Diam! Jangan membuat masalah.”
Di balik gemerlap lampu klub malam, seorang pria berwajah bengis, pemilik klub yang juga dikenal sebagai rentenir kejam, tengah menyusun rencana jahat. Larast, gadis yang baru menginjak usia 17 tahun, akan dijadikan tumbal untuk melunasi hutang kakaknya.
“Bos yakin ini tidak akan jadi masalah besar?” tanya seorang pengawal, kerutan khawatir menghiasi wajahnya.
“Cih, bodoh! Kalau kubilang lakukan, ya lakukan saja!” bentak sang bos sambil menjitak kepala pengawalnya. “Kakaknya itu tidak akan mampu membayar hutang. Lagipula, siapa yang peduli dengan gadis sebatang kara itu? Ibunya bisu, ayahnya sudah lama mati.” Nada suaranya dingin, tanpa sedikit pun belas kasihan.
“Bagaimana kalau kita coba cari kakaknya dulu, Bos? Siapa tahu dia punya cara untuk mendapatkan uang jika tahu adiknya kita tahan,” usul pengawal itu, mencoba menyuarakan sedikit rasa iba yang tersisa di hatinya.
Sang bos terdiam, tampak berpikir.
Tuk!
Tuk!
Tuk!
Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja, sementara matanya menatap tajam pengawalnya.
“Baiklah, kejar dia. Kabari aku jika kau berhasil menangkapnya dan beritahu soal adiknya. Jika dia tetap tidak peduli, jual saja gadis itu.” Sang bos akhirnya memberi sedikit kelonggaran waktu, namun dengan syarat yang kejam.
“Siap, Bos!” Pengawal itu bergegas pergi, meninggalkan ruangan dengan perasaan campur aduk.
Pengawal itu memacu mobilnya menuju kantor polisi. Ia tahu, kakaknya Larast baru saja dibebaskan sementara setelah insiden malam itu. Pengawal itu menyaksikan sendiri bagaimana pria itu ditangkap karena melukai ibunya. Dari kejauhan, ia terus mengawasi.
Setibanya di kantor polisi, pengawal itu memarkirkan mobilnya di seberang jalan. Matanya awas, mengamati setiap orang yang keluar dari gedung tersebut.
Penantiannya tidak sia-sia. Sosok yang ditunggu akhirnya muncul. Kakak Larast keluar dari kantor polisi dengan wajah lusuh dan rambut acak-acakan, aura putus asa terpancar jelas dari dirinya.
“Itu, dia,” gumamnya.
Tanpa membuang waktu, pengawal itu memutar arah mobilnya. Begitu mobilnya berada tepat di depan pria itu, ia langsung menyergapnya.
Dengan sigap, ia membungkam mulut pria itu dengan sapu tangan yang telah dibasahi obat bius. Dalam hitungan detik, pria itu lemas dan tak sadarkan diri. Pengawal itu menyeretnya masuk ke dalam mobil.
Namun, aksinya tak luput dari perhatian. Ayah Agatha, yang kebetulan berada di depan kantor polisi, menyaksikan kejadian itu. “Hei! Berhenti!” teriaknya lantang.
Pengawal itu menoleh, menyadari bahwa aksinya telah diketahui. Tanpa ragu, ia menginjak pedal gas dalam-dalam dan mobil itu meraung, melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan kantor polisi.
“Sialan!” keluh pengawal.
Pengawal itu memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan kantor polisi. Ia melirik spion, memastikan tidak ada yang mengejarnya. Jantungnya berdebar kencang, adrenalin memompa darahnya.
Sementara itu, Ayah Agatha yang menyaksikan penculikan itu dari depan kantor polisi, segera berlari masuk ke dalam. Ia menuju ruang kontrol CCTV dan meminta rekannya untuk memutar ulang rekaman kejadian.
“Cepat, perbesar plat nomor mobil itu!” perintah Ayah Agatha dengan nada mendesak.
Rekannya dengan sigap memperbesar tampilan CCTV, berusaha memperjelas plat nomor mobil yang digunakan pengawal itu. Setelah beberapa saat, plat nomor mobil berhasil diidentifikasi.
“Sudah saya dapatkan, Pak. Plat nomornya B xxxx XYZ,” lapor rekannya.
Bersambung.
Akankah kali ini Ayahnya Agatha mampu menemukan Larast?
eh itu jmnya nyla lgi sprt waktu dia mau pergi ke masa lalu ya .
ada apa iti?