Squel Cinta Setelah Pernikahan
21+
“Gimana mau move on kalau sering berhadapan dengan dia?”
Cinta lama terpendam bertahun-tahun, tak pernah Dira bayangkan akan bertemu lagi dengan Rafkha. Laki-laki yang membuatnya tergila-gila kini menjadi boss di perusahaan tempat ia bekerja.
“Tolong aku Ra, nikah sama aku bisa?” ucap lelaki itu. Dira bingung, ini lamaran kah? Tak ada kata romantis, tak ada cincin, tiba-tiba lelaki itu memintanya menikah dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkiTa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Mau Seperti Dulu
Mereka tengah berjalan kaki santai, tidak cepat, juga tidak terlalu lambat, pulang menuju ke rumah. Jarak taman komplek ke rumah mereka sekitar dua ratus meter. Fiqa, masih sibuk dengan ponselnya. Berbalas chat dengan sahabat-sahabatnya. Sesekali, terdengar cekikikan halus. Membuat Abangnya yang berjalan disampingnya, penasaran.
“Si Mamal lagi ngelucu ya via chat?”
“Mamal? Akmal kali namanya, jangan ubah-ubah panggilan orang ah!” Fiqa menoleh, menutup layar ponselnya karena Rafkha yang mulai kepo, terus menatap kearahnya.
“Iya, iya itu si Akmal, boleh tuh kapan-kapan Abang ketemu sama dia—“
“Mau ngapain? jangan!” Fiqa panik, dan tak terima.
“Dih, gitu aja panik.” Rafkha terlihat tengah memikirkan sesuatu. Ia raih ponsel dari saku celananya, tak ada notifikasi. Tak ada panggilan masuk sejak malam tadi, lebih tepatnya tak ada laporan dari Dira bahwa wanita itu telah menemukan hantu. Padahal, ia sangat berharap.
Rafiqa masih seperti tadi, sibuk dengan ponselnya.
Fiqa
Segitu gantengnya apa? si Abang di mata kalian? sono ambil rebutan, aku ikhlas kok.
Shelly
Iya lah Fiq, kamu mah jelas udah bosan. Tiap hari ketemu, bilangin ke Mama, jadikan aku kandidat calon mantunya.
Yona
Fiqa, dia beneran masih single?
Fiqa
Kalian semua, main aja ke rumah. Rebut hati mama aku, siapa tau di antara kalian, mau di jodohin ke Abang.
“Dek,” Rafkha memanggil Fiqa, tapi gadis itu masih mengabaikan.
“Fiqa...”
“Ya Bang?”
“Nggak jadi,” tiba-tiba. Rafkha mengurungkan niatnya untuk menanyakan sesuatu. Sepertinya, menanyakan pada gadis itu bukan pilihan yang tepat.
Rafkha memilih berjalan mengambil langkah cepat mendahului adiknya, ia raih kembali ponsel dari sakunya. Mencari nama Dira pada kontaknya, tak ragu lagi ia langsung melakukan panggilan pada gadis itu.
Tak menunggu lama, panggilan langsung tersambung. “Kayaknya, kamu nggak berhasil nemuin hantunya?” ucapnya tanpa sapaan halo, assalamualaikum atau selamat pagi, tanpa basa-basi.
“Sebenarnya disini emang agak serem, tapi karena aku nggak ketemu langsung sama hantunya, aku nggak hubungi kamu.” Suara serak khas bangun tidur, terdengar dari seberang sana.
Rafkha menyimpul senyum, memelankan langkahnya. Menghayati percakapannya dengan Dira.
“Abang, tungguin,” teriak Rafiqa, gadis itu baru tersadar. Ternyata, Rafkha sudah berada jauh di depannya.
Suara Rafiqa yang besar, terdengar hingga ke seberang sana. Dira tak perlu curiga, lebih tepatnya tak punya hak akan hal itu. Mereka tidak punya hubungan apapun ‘kan untuk saat ini.
“Harusnya kamu tetap hubungi aku, setidaknya supaya kamu ngerasa aman.”
“Tapi nyatanya kamu duluan yang hubungi aku.”
“Itu karena aku khawatir sama kamu, merasa kamu lagi nggak aman,” ucap Rafkha.
Sementara Dira diseberang sana, sedang berantakan. Hati dan perasaannya, jiwa dan pikirannya terguncang. Ah, Dira benci situasi ini. Karena saat ini dentuman jantungnya mulai tak stabil lagi. Apa perlu ia periksakan kesehatan jantungnya?
Rafkha segitu perhatian dengannya? apa ia tidak salah dengar? akhir-akhir ini, mengapa takdir begitu baik padanya?
Kata khawatir dari Rafkha, mengakibatkan Dira tak bisa berucap apapun, lidahnya kelu. Tak tahu harus menjawab apa.
Tanpa Rafkha sadari, sejak tadi Rafiqa menguping pembicaraan mereka. Berjalan melangkah tanpa suara tepat di belakangnya.
“Jam berapa kamu keluar?” Lanjutnya.
“Maksudnya? keluar dari apartemen ini? aku janjinya kan besok—“
“Bukan, bukan itu. Maksud aku, keluar buat nyari kosan,” cepat-cepat Rafkha memperbaiki kata-katanya. Takut Dira salah paham.
“Oh... bentaran lagi kayaknya, udah nemu nih yang pas. Tinggal cek lokasi aja, nanti kalau emang cocok ya langsung bayar.”
Benar, sejak malam tadi Dira tak langsung tidur. Ia langsung melakukan pencarian hunian layak yang ramah kantong, tak hanya mengeksplore di internet, ia juga bertanya rekomendasi dengan teman-teman kampusnya.
“Okey kalo gitu, tunggu aku!”
“Maksudnya?”
“Tunggu aku, kita pergi bareng. Aku temanin kamu,” Rafkha memperjelas kalimatnya.
“Ngg.. tapi...”
“Tapi kalau kamu udah duluan janji sama Faiz, ya nggak jadi.” entah mengapa, nama Faiz masih berputar-putar di kepalanya. Sejak ia menyaksikan dengan matanya sendiri, bagaimana kedekatan Dira dengan lelaki itu.
“Aku pergi sendiri kok, kenapa nyebut nama Faiz terus sih?” Dira menggerutu kesal.
“Kalau gitu, kamu nggak akan pergi sendiri, perginya sama aku, satu jam lagi, aku nyampe.”
Tidak menunggu jawaban persetujuan dari lawan bicaranya. Lelaki itu langsung mengakhiri panggilan.
“Ciye, udah punya pacar ternyata? kenalin dong!” Rafiqa memukul bahu Rafkha.
“Kepo!” jawabannya hanya satu kata. Alih-alih menjawab ocehan Fiqa. Ia justru berlari, ingin cepat-cepat sampai dirumah, bersiap-siap untuk bertemu dengan Dira.
Sejak Rafkha mengetahui siapa Dira, pikirannya seolah teralihkan. Rasanya, ia tak mau lagi kehilangan kesempatan. Kehilangan kesempatan seperti dulu, beberapa tahun silam.
Lima belas menit kemudian, mereka tiba dirumah. Langkah Rafkha terlihat tergesa-gesa.
“Abang, mama sama papa mau bicara sebentar sama kamu, setelah mandi, kami tunggu di meja makan, ya?”
Kalimat sang mama menghentikan langkah Rafkha. Kalimat yang terdengar serius, meski penasaran sebenarnya apa yang akan dibicarakan, tapi baginya, saat ini menemani Dira lebih penting.
“Maaf ya Ma, ntar malam aja ngobrolnya ya? Aku buru-buru, mau pergi sebentar.” Tolak Rafkha secara halus, bukan menolak tapi lebih tepatnya menunda.
“Ini weekend, kamu mau ke kantor?”
“Bukan Ma, ada urusan sebentar. dan bukan urusan kantor.” jawabnya tegas.
“Diam-diam, si Abang udah punya pacar Ma,” karena kicauan Rafiqa, Rafkha melotot ke arahnya.
“Benar itu Bang?” Rizka sedikit menyungging senyum di bibirnya, jika itu benar. Tidak masalah. Lebih bagus, pikirnya.
Rafkha tak bisa menjawab pertanyaan itu, ia hanya membalas pertanyaan mamanya dengan senyuman dan berlalu begitu saja.
🌸🌸🌸
Like, komen, votenya di tunggu ya. Hihi Makasih
Binatang saja ga segitu kejamnya kok Sama anak sendiri...
Ga Ada roman2 nya Blas..