Mengisahkan kehidupan seorang siswa laki-laki yang telah mengalami patah hati setelah sekian lamanya mengejar cinta pertamanya. Namun, setelah dia berhenti ada begitu banyak kejadian yang membuatnya terlibat dengan gadis-gadis lain. Apakah dia akan kembali ke cinta pertamanya, atau akankah gadis lain berhasil merebut hatinya?
Ini adalah kisah yang dimulai setelah merasakan patah hati 💔
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketenangan Di Perpustakaan
Empat orang yang awalnya asyik bercanda langsung membeku saat Yuka berdiri tepat di depan meja mereka. Tanpa diminta, mereka langsung memberi ruang, sebuah celah kecil yang cukup untuk satu orang duduk.
Dan Yuka pun duduk.
"Eee... A-ada apa, Yu—Yuka...?" Fino memberanikan diri buka suara, meski nadanya jelas gugup.
Yuka menoleh pelan ke arah Fino. Wajahnya tampak datar... tapi ada kesedihan yang tidak bisa disembunyikan dari sorot matanya.
"Kalian..." ucapnya, menggantung di udara.
Suasana hening.
Mereka semua seperti refleks meneguk ludah dalam waktu bersamaan.
"Kalian sahabatnya Ferdi, kan...?"
"Yah..." jawab mereka serempak, nyaris tanpa koordinasi.
Keempatnya saling pandang. Bingung. Canggung. Panik. Campur aduk.
"Ini kita harus nanggepin gimana?" bisik Aldi ke Adit pelan.
"Mana gue tau, bro. Gue juga deg-degan," Adit balas berbisik, matanya ngelirik ke arah Yuka yang masih menunduk.
Fino dan Bayu memilih diam. Tapi mereka memperhatikan... raut wajah Yuka yang seperti menahan tangis.
Huft~
Akhirnya Bayu angkat bicara, menghela napas pelan.
"Yuka... kamu mau curhat? Atau kamu pengen kami bantu bilangin ke Ferdi?" tanyanya tenang. "Aku bisa bantu ngomong. Tapi... soal dia mau nerima atau enggak, itu terserah dia."
Yuka mengangkat wajahnya sedikit, menatap Bayu. "A-aku..."
"Tapi..." Fino menyela, nadanya lembut. "Mungkin, untuk sekarang... kamu kasih waktu dulu ke Ferdi. Sepertinya dia lagi butuh ruang buat nenangin diri."
Yuka terdiam sejenak. Namun, kata-kata Fino seolah membuka kesadarannya.
"Ya... kamu benar..." gumamnya. Lalu ia berdiri, membungkukkan badan sedikit. "Maaf ya, udah ganggu kalian."
Tanpa menunggu reaksi apa pun, Yuka berbalik dan pergi meninggalkan meja itu.
"..."
Begitu gadis itu cukup jauh, Aldi dan Adit langsung menoleh bersamaan ke arah Fino dan serempak menarik kerah bajunya.
"Oi, Fin! Lu kenapa malah gitu sih ngomongnya!?" gerutu Aldi.
"Gila lu, cewek lagi galau malah disuruh ninggalin!" timpal Adit.
"Lah!? Emangnya gua salah ngomong apaan coba!?" Fino membela diri.
"Aku setuju sama Fino," Bayu tiba-tiba menyela. "Ferdi emang butuh waktu. Kalau terus dipaksa, dia makin nutup diri."
Aldi dan Adit akhirnya melepas kerah Fino, ekspresi mereka pelan-pelan melunak.
"Yah... kalian bener juga sih."
"Sorry, Fin... kita tadi gak kepikiran," ucap mereka nyaris bersamaan.
"Gak apa-apa," Fino membetulkan kerahnya yang agak kusut. "Lagipula, kita sahabat."
"Bener juga," gumam mereka semua sambil kembali duduk, suasana mulai mencair sedikit.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...----------------...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di sudut perpustakaan yang sepi, Ferdi memeluk setumpuk buku di pelukannya, bukan untuk dibaca, tapi lebih ke... bantal darurat.
"Hah... semoga gak ada yang nyariin," gumamnya pelan.
Ia berjalan pelan melewati deretan rak, matanya mencari meja kosong yang agak tersembunyi. Namun langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok yang duduk di ujung meja, tenggelam dalam sebuah buku tebal bersampul cokelat.
Hina.
Rambut silver-nya jatuh menutupi sedikit wajah, dan sorot matanya begitu fokus menatap halaman buku sejarah yang sedang ia baca.
Ferdi otomatis menghela napas. Dalam hati ia sempat ragu, mau kabur atau lanjut duduk. Tapi karena tak ada tempat lain, akhirnya ia menarik kursi dan duduk begitu saja di seberang Hina... tanpa sepatah kata pun.
Hina melirik dari balik bukunya, heran. "Eh? Kok langsung duduk aja, gak bilang apa-apa?"
Ferdi tidak menatapnya. Ia mulai menata buku-buku di meja seperti membangun benteng kecil.
"Lagi ada masalah, ya?" tanya Hina lembut, sambil menutup bukunya perlahan.
Ferdi menggeleng pelan. "Nggak, kok... cuma lagi gak mood aja," jawabnya singkat.
Hina masih menatapnya, seolah mencoba membaca lebih dalam dari sekadar ekspresi murung itu.
"Hmm..." gumamnya pelan, lalu kembali membuka bukunya. Tapi matanya sesekali tetap mengamati Ferdi yang sekarang bersandar di atas buku, seperti anak kecil yang kelelahan.
Hening menyelimuti meja itu. Hanya suara halus dari AC dan dentingan jam dinding yang terdengar samar. Ferdi masih bersandar di atas tumpukan buku, tatapannya kosong ke arah meja.
Dari balik bukunya, Hina sesekali melirik, memperhatikan ekspresi wajah Ferdi yang tampak berat... seperti seseorang yang lagi membawa satu dunia di pundaknya.
Perlahan, Hina menarik satu lembar kertas kecil dari dalam bukunya. Ia menulis sesuatu dengan pulpen berwarna biru, lipatannya rapi dan diam-diam, ia geserkan kertas itu ke arah Ferdi yang masih tertunduk.
Srett...
Ferdi sempat bingung ketika melihat ada sesuatu yang bergerak di bawah dagunya. Ia menatap kertas kecil itu. Perlahan, dibukanya.
..."Jangan terlalu keras sama diri sendiri....
...Capek boleh istirahat, tapi jangan nyerah, ya. :)...
...– Hina."...
Ferdi diam.
Tak ada senyum lebar atau tawa lepas, hanya gerakan kecil di ujung bibirnya. Ia melipat kembali kertas itu, menyimpannya ke dalam saku kemeja, lalu mendesah pelan.
"Makasih," ucapnya lirih.
Hina tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan dan kembali ke bukunya. Tapi ada sedikit senyum halus di wajahnya, nyaris tak terlihat, tapi tulus.
Mereka tak bicara apa-apa lagi setelah itu, tapi anehnya... keheningan yang tadi terasa berat, sekarang terasa lebih ringan.
Seolah cukup dengan diam di dekat seseorang yang memahami, luka di hati pun tak lagi sepi.
.
.
.
Kriiing~
Suara bel tanda pergantian jam pelajaran menggema di seluruh penjuru sekolah. Ferdi yang sempat tertidur di atas meja, langsung terbangun dengan gerakan malas dan mata masih setengah lengket. Ia menatap jam dinding sekilas lalu bangkit berdiri.
"Buku... oh iya," gumamnya pelan.
Dengan pelan, ia membereskan tumpukan buku yang tadi ia pakai buat bantal, dan satu per satu mengembalikannya ke rak. Gerakannya masih lesu, tapi jauh lebih tenang daripada saat ia datang ke perpustakaan tadi.
Saat Ferdi berbalik dan melangkah keluar, matanya langsung tertuju pada seseorang yang berdiri di ambang pintu.
Hina.
Dia berdiri bersandar di dinding samping pintu, tangan menyilang sambil memeluk bukunya. Ekspresinya seperti biasa, tenang, lembut... tapi ada sedikit sesuatu di matanya. Sesuatu yang menunggu.
Ferdi sedikit terkejut, "Kamu… nungguin?"
Hina mengangguk pelan, "Kebetulan kelas kita searah. Jadi... kupikir, ya udah sekalian aja."
Ferdi tersenyum tipis, lalu mengangguk.
Mereka berjalan beriringan keluar dari perpustakaan. Tak banyak obrolan di antara mereka, hanya langkah kaki yang menyatu dalam ritme yang tenang.
Namun ada sesuatu yang berbeda. Tidak lagi sepi yang mencekik. Lebih seperti... ketenangan yang menyentuh hati.
Sesekali Hina menoleh ke arah Ferdi, memastikan bahwa langkah cowok itu tidak lagi terseret seperti tadi.
"Udah mendingan?" tanyanya tanpa menoleh, tapi suaranya cukup terdengar jelas.
Ferdi hanya mengangguk. "Lumayan."
Hina tersenyum kecil, lalu kembali melangkah tanpa berkata apa-apa. Mereka melewati beberapa siswa lain yang sempat menatap keduanya dengan heran atau bisik-bisik kecil. Tapi mereka berdua tidak peduli.
Untuk sekarang, hanya berjalan berdampingan saja sudah cukup.
kayaknya bertambah saingannya