Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
“Pagi,” sapa Gideon dengan suara dibuat santai.
Chesna menoleh sekilas, kaget, tapi tetap membalas datar. “Pagi.”
“Eh… soal kemarin,” Gideon berdehem, lalu menyelipkan kedua tangannya di saku celana. “Susu sama sarapan yang aku kirim, udah diminum belum? Jangan bilang kamu biarin numpuk di kos, ya.”
Chesna menghentikan langkah, memandang Gideon dengan ekspresi polos tapi nadanya enteng. “Sarapannya sih aku makan, tapi minumannya gak. Aku takut…”
Gideon mengangkat alis. “Takut kenapa?”
“Takut dimarahi mama kamu,” jawab Chesna santai, seolah itu hal biasa.
Sekejap Gideon terdiam, tak menyangka jawaban itu. “Hah? Dimarahi mama aku?”
Chesna mengangguk, senyumnya tipis namun jelas ada nada menggoda. “Iya, siapa tahu beliau mikir aku numpang hidup dari anaknya. Kan bisa-bisa aku dibilang ngerepotin.”
Gideon mendengus kecil, lalu menggeleng sambil menahan tawa. “Kamu ini ya… mikirnya jauh banget. Itu makanan, bukan utang. Lagian kalau mama aku tahu, paling-paling mama senang karena aku akhirnya peduli sama orang lain.”
Chesna terdiam sepersekian detik, lalu kembali melangkah. “Belum tentu, loh. Bisa jadi mama kamu datangin tempat tinggal aku sambil marah-marah.”
"Ches, mama ga gitu orangnya. Mamaku baik. Kamu ingat waktu kamu ketumpahan minuman di rumahku? Mama nawarin kamu ganti pakaian, kan?"
"Kamu yakin mama kamu ga marah? Soalnya banyak loh teman aku yang mama mereka gak suka anak-anaknya bergaul sama aku. Pernah tuh mamanya teman aku datang marah-marah pas aku lagi makan jajanan pemberian anaknya."
Gideon menatap tak percaya. "Kok kamu kasihan gitu sih Ches?" dengan nada sedikit kesal. Gideon menyayangkan kenapa Chesna tidak dipertemukan dengannya sejak awal. "Ya udah teman sama aku aja. Aku jamin seribu persen ga ada lagi drama menyedihkan di hidup kamu."
Chesna menutup kotak bekal yang telah habis ia santap. "Aku ga tau niat kamu tulus mau berteman atau apa, tapi mending jauh-jauh dari aku deh, kak."
Mendengar ketulusannya dipertanyakan, "Kenapa? Karna Alan, ya? Takut dia cemburu?" Gideon menebak asal, terdengar seperti tuduhan.
"Gak usah sebut-sebut Alan, deh." Chesna bangkit lalu pergi. Lama-lama bicara sama Gideon rasanya sangat tidak aman. mengingat betapa ramainya cewek yang suka dia. Chesna merasa terancam menerima lirikan sinis orang-orang.
Gideon menatap punggung Chesna yang sudah berjalan duluan. Aneh, rasanya tetap saja ada kehangatan di dadanya meski jawaban Chesna barusan terasa seperti penolakan. Ia menarik napas panjang, setengah tersenyum miring.
“Cewek ini, ya… makin ajaib. Masa iya, ga mau dekat sama aku? Di sekolah ini siapa sih yang ga mau jadi temanku? Cuman dia. Gimana kalau aku aja pacara? jangan-jangan aku dimusuhin.”
Kelas kembali dipenuhi suara kursi yang diseret dan buku-buku yang dibuka setelah bel tanda berakhirnya jam istirahat berbunyi. Namun, di tengah keramaian itu, Shenia memperhatikan sesuatu yang membuat dahinya berkerut. Chesna, yang biasanya ceria dan tidak segan bercanda dengannya, kali ini hanya duduk tenang, menunduk pada bukunya tanpa suara.
“Ches…” Shenia memanggil pelan sambil mendorong bahu sahabatnya dengan ujung jari. Tidak ada respons berarti. “Hei, kamu kenapa? Dari tadi kok diem aja?”
Chesna mengangkat wajahnya sebentar, menampilkan senyum tipis yang terpaksa. “Enggak kok. Aku cuma lagi mikir soal pelajaran tadi. Banyak yang belum aku pahami.”
Shenia melipat tangan di dada, ekspresinya jelas tak puas dengan jawaban itu. “Jangan bohong deh. Aku kan udah cukup lama kenal kamu. Kalau kamu diem gini, berarti ada yang lagi kamu sembunyiin.”
Chesna menghela napas pelan, mencoba tetap tenang meski hatinya bergejolak. Ia tak mungkin menceritakan semuanya, terutama soal perkataan mama Shenia yang menghantamnya sejak pesta kemarin. “Beneran, Shen. Aku cuma lagi capek. Itu aja.”
Shenia mencondongkan tubuh, suaranya diturunkan agar tidak terdengar teman-teman lain. “Capek? Atau lagi ngejauhin aku, hah?” Ada nada cemas bercampur kesal dalam bisikannya. “Aku ngerasa kamu bikin batas sama aku. Ada apa sih? Aku salah apa?”
Kata-kata itu membuat Chesna terdiam. “Kamu enggak salah apa-apa, Shen. Aku cuma… butuh ruang buat diri aku sendiri.”
Shenia terperangah, jelas tidak puas dengan jawaban itu. Ia menunduk, “Aku cuma takut kehilangan kamu sebagai sahabat. Kamu tau kan aku enggak banyak punya teman yang bener-bener ngerti aku.”
Chesna menoleh sejenak, kali ini dengan tatapan lembut, meski senyumnya tetap samar. “Kamu enggak akan kehilangan aku. Aku cuma… ya, lagi belajar jaga jarak sama beberapa hal. Bukan sama kamu.”
Kelas kembali dimulai,
Bel tanda pulang berbunyi..
Lapangan belakang sekolah siang itu terasa lebih panas dari biasanya. Alan dan Chesna mendapat tugas menyapu dedaunan kering di dekat taman kecil.
“Duh, panas banget…” Alan mengelap keringat di dahinya, sementara tangannya tetap menyapu.
Chesna diam, fokus pada sapu lidi di tangannya.
“Eh, kamu nggak capek, Ches?” Alan memberanikan diri bertanya.
Chesna tidak menoleh, hanya menjawab singkat, “Biasa aja.”
Alan mendengus pelan. “Kamu tuh aneh banget. Waktu manjat pagar tadi panik setengah mati, sekarang nyapu kayak mesin, nggak ada capek-capeknya.”
Chesna berhenti sebentar, menatap Alan. “Kalau capek, ya kerjain aja biar cepat selesai. Daripada banyak ngomong.”
Alan mendadak terdiam.
Beberapa saat kemudian, seekor kupu-kupu berwarna jingga hinggap di gagang sapu Chesna. Refleks Chesna terkejut, menjatuhkan sapunya.
“Eh,”
Alan tertawa kecil. “Kamu takut kupu-kupu? Seriusan?”
Chesna buru-buru mengambil sapunya lagi. “Bukan takut! Kaget aja.”
Alan masih cekikikan. “Kupu-kupu aja kamu kaget, apalagi ketahuan pak satpam manjat pagar.”
Chesna mendelik, wajahnya sedikit memerah. “Jangan banyak komentar!”
Namun, justru dari momen kecil itu, suasana jadi lebih ringan. Alan merasa ada celah kecil yang terbuka untuknya, meski Chesna berusaha mengabaikan, ia tetap tak bisa menutupi sisi rapuh yang membuat Alan ingin melindunginya.
Dari kejauhan, beberapa teman yang melihat mereka ikut-ikutan berbisik dan tertawa.
“Eh, Alan sama Chesna disuruh kerja bakti bareng, tuh. Cocok juga ya?”
“Wih, pasangan manjat pagar,” goda yang lain.
Alan tampak tersenyum seadanya sedangkan Chesna pura-pura tidak dengar.
___
Siang itu udara terasa lebih panas dari biasanya. Chesna baru saja pulang sekolah, tubuhnya lemah, kepalanya berdenyut, dan kakinya terasa lunglai. Begitu sampai di kamar kos, ia langsung merebahkan diri di kasur tipis. Namun, panas tubuhnya semakin tinggi. Ia menutup mata, berusaha menenangkan diri, tetapi pusing yang mendera membuatnya semakin panik.
Dengan tangan gemetar, Chesna meraih ponselnya. Nama pertama yang terlintas di kepalanya bukan ibunya karena Rania sedang jauh di kapal melainkan Shenia. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya ia menekan tombol panggil.
“Haloo, Ches? Kenapa suaramu kayak gitu?” suara Shenia terdengar ceria tapi segera berubah cemas.
“Aku… aku sakit, Shenia. Badanku panas. Aku… bingung mau ke mana,” jawab Chesna lirih, nyaris berbisik.
Tanpa pikir panjang, Shenia menjawab cepat, “Tunggu di kosmu! Aku segera ke sana, jangan ke mana-mana.”
Chesna tersenyum samar walau wajahnya pucat. “Makasih ya… aku takut sendirian.”
Chesna menunggu... menunggu... menunggu...
Shenia tidak kunjung muncul....
___
bersambung...