Dijebak oleh sahabat dan atasannya sendiri, Adelia harus rela kehilangan mahkotanya dan terpaksa menerima dinikahi oleh seorang pria pengganti saat ia hamil. Hidup yang ia pikir akan suram dengan masa depan kacau, nyatanya berubah. Sepakat untuk membalas pengkhianatan yang dia terima. Ternyata sang suami adalah ….
===========
“Menikah denganku, kuberikan dunia dan bungkam orang yang sudah merendahkan kita."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6 ~ Alasan Zahir
Bab 6
Abimanyu meninggalkan pantry, jam kerjanya sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Tidak memeriksa atau memastikan semua karyawan di lantai tersebut sudah pulang atau belum, karena bukan tugasnya. Akan ada cleaning service shift malam yang akan merapikan dan memastikan semua pekerja sudah pulang dan biasanya masih ada staf yang lembur.
Masih menggunakan seragam office boy hanya berlapis jaket dengan resleting terbuka, ia bersiul melangkah pasti menuju lift. Ternyata sudah ada Zahir menunggu lift. Saat pria itu menoleh, ia hanya mengangguk tanpa menyapa apalagi tersenyum. Pintu lift terbuka, hanya mereka berdua yang akan turun.
Awalnya tidak ada percakapan, hanya hening. Sampai akhirnya Zahir membuka suara.
“Kerja yang benar. Yang dilihat di sini kinerja bukan penampilan.”
Abimanyu yang bersandar pada dinding lift dengan kedua tangan di sakunya, menoleh kiri dan kanan saat mendengar Zahir bicara.
“Bapak, bicara dengan saya?”
Pertanyaan itu cukup membuat Zahir kesal, tangan kanannya yang memegang tas laptop mencengkram erat pegangannya lalu menoleh.
“Apa ada orang lain di sini? Jangan bertingkah, entah siapa backing kamu di HRD sampai kamu seenaknya wara wiri dengan rambut menyebalkanmu itu,” keluh Zahir sambil menekan rahang saat bicara. Ada emosi tertahan di sana. Saat pertama kali melihat Abimanyu bekerja sudah membuat Zahir kesal. Ia merasa tersaingi dengan pria itu.
“Sepertinya Pak Zahir salah sangka,” sahut Abimanyu seakan tidak terganggu dengan ucapan pria yang berada satu lift dengannya. Meski pria itu menjabat sebagai manajer divisi, tapi bukan atasan langsung Abimanyu. “Saya bukan wara wiri, tapi kerja.”
Masih dengan gaya cool membuat Zahir ingin melemparkan tasnya ke wajah Abimanyu.
“Dan saya nggak punya bekingan Pak, masa OB aja punya backing. Kalau iya, mungkin saya minta posisi lebih tinggi. Direktur mungkin,” cetus Abimanyu.
Zahir terkekeh geli mendengar lelucon Abimanyu.
“Sebaiknya kamu sadar, ini dunia nyata bukan dunia mimpi. Ingat pesanku, bekerja di sini yang dilihat kinerja bukan hanya penampilan saja. Percuma tampan kalau tidak cakap, apalagi tidak berotak,” seru Zahir lalu melangkah keluar karena lift sudah terbuka di lantai lobby.
Mendengar itu Abimanyu hanya tersenyum sinis dan menggeleng lalu melangkah keluar. Tujuan mereka jelas berbeda. Jika Zahir menuju parkiran khusus mobil, Abimanyu menuju parkiran motor.
Mengeluarkan bungkus rokok dari sakunya lalu menyulut dan menikmati sejenak waktu sebelum ia pulang. Di basement banyak pilar-pilar besar sebagai penyangga dan ia berada di balik salah satu penyangga tersebut.
“Mau kemana sih.”
“Sebentar doang, kita bicara di sini. Pasti aman.”
Terdengar suara perempuan berdebat dan langkah hak sepatu mereka.
“Iya, tapi mau bicara apa?”
“Gini mbak Neli, Pak Zahir nawarin kita untuk … pasti tahulah maksudnya. Gimana, kapan mbak bisa.”
“Aku nggak bisa.”
Abimanyu mengernyitkan dahi, ia penasaran dengan pembicaraan itu karena menyebut nama Zahir dan siapa pula kedua perempuan itu. Salah satunya sudah jelas Neli, sekretaris Zahir.
“Nggak usah munafik, aku tahu kamu sering main dengan Pak Zahir.”
“Heh, Mona, kamu jangan kurang ajar ya. Kamu tuh karyawan magang, beraninya bicara begitu sama saya.”
‘Oh, Mona,’ batin Abimanyu. Sudah menduga kalau Zahir memang pemain, meski tidak terlihat dari gerak-geriknya. Namun, di belakang ternyata buaya.
“Terserah! Yang jelas ini permintaan Pak Zahir. Jadi kapan?”
“Saya nggak tahu dan nggak mau. Bukan karena munafik, tapi cari kerja itu susah dan saya nggak mau urusan dengan Pak Zahir di luar berimbas dengan posisi saya.”
“Justru tawaran ini bisa kita gunakan untuk mengamankan posisi kita,” ujar Mona lagi.
“Kamu nggak tahu apa-apa Mon, Pak Zahir sedang dekat dengan putri salah satu pemegang saham. Saran saya jangan buat masalah.”
Terdengar langkah menjauh.
“Mbak, Mona!”
Abimanyu menggeleng pelan lalu membuang puntung rokok dan menginjaknya untuk memadamkan puntung tersebut.
“Dasar murahan. Ternyata Zahir lebih dari buaya, dia penjahat kel4min.”
***
Adel menatap wajahnya di cermin dengan tatapan bingung dan sayu. Sudah satu minggu berlalu, sejak kejadian bersama Zahir. Percakapan terakhir pria itu berjanji akan membicarakan masalah mereka di luar bukan di kantor dan beberapa hari ini Zahir memang sibuk, bahkan dua hari kemarin dinas keluar kota.
Menghela nafas lalu membuka ponselnya, membaca pesan yang ia kirimkan pada Zahir. Masih belum dibalas.
“Del, Adel.”
“Iya, Pah.” Adel gegas beranjak dan keluar dari kamar, menjawab panggilan dari Papa.
Selama ini hanya tinggal dengan papa yang sudah pensiun, sebelumnya bekerja sebagai pegawai lembaga pemerintahan. Sedangkan mamanya, sudah tiada beberapa tahun lalu. Hanya ada satu saudara dan sudah berumah tangga meski tinggal hanya beda kompleks saja.
“Kenapa Pah?” tanya Adel lalu duduk di samping pria itu bahkan bersandar pada bahu pria paruh baya dan masih terlihat gagah.
Papa Adel tetap fokus pada ponsel dan membenarkan posisi kacamatanya.
“Weekend begini kamu nggak pergi?”
“Nggak pah, malas.”
“Gimana nggak jomblo terus. Sana pergi main, cari jodoh. Biar papa tenang kalau sewaktu-waktu ninggalin kamu.”
“Papa ngomong apa sih?” Adel menegakkan tubuhnya dan mengerucutkan bibir, kesal dengan ucapan sang papa. Ditinggal wanita yang sudah melahirkannya ke dunia cukup membuatnya sedih bahkan sampai sekarang masih terasa kehilangan.
“Semua orang hidup pasti mati. Mana tahu papa yang duluan pergi.”
“Pah, please jangan bicarakan masalah itu. Adel nggak mau. Papa harus sehat dan nikahkan adel dengan pria yang baik lalu nimang cucu. Jadi, papa harus sehat terus.” Adel kembali bersandar dan memeluk lengan papa.
“Terus kapan nikahnya?”
“Ya … nggak tahu.”
Papa Adel berdecak. “Keluar gih, ambil pesanan papa.”
“Pesanan apa?”
Ternyata pesanan obat rutin yang harus diminum dan buku biografi salah satu tokoh. Di masa pensiunnya, papa Adel menghabiskan waktu untuk membaca dan sibuk dengan tanaman serta ikan hias. Sesekali bermain bermain dengan cucunya.
“Sekarang, pah?” tanya Adel
“Jangan, nanti aja tahun depan. Pake nanya,” ujar Papa lagi.
Adel terkekeh geli. “Iya, aku berangkat sekarang. Nggak usah cemberut gitu."
“Nanti uangnya papa transfer. Bawa mobil jangan pake motor. Cuaca sedang tidak baik, sekarang panas sebentar lagi hujan.”
“Hm.”
Persiapannya tidak lama. Hanya berganti blouse dan celana jeans lengkap dengan sling bag dan flat shoes. Penampilan Adel semakin segar dengan rambut diikat ekor kuda. Mengendarai mobil milik papanya, menuju toko buku yang ada di sebuah mall setelah mampir ke apotik.
Melangkah di koridor menuju lantai tujuannya. Weekend begini pengunjung mall cukup ramai. Pandangannya sempat memindai sekitar dan Adel mengernyitkan dahi lalu memusatkan benar penglihatannya.
“Pak Zahir.”
siap siap aja kalian berdua di tendang dari kantor ini...
hebat kamu Mona, totally teman lucknut
gak punya harga diri dan kehormatan kamu di depan anak mu
kalo perlu zahir nya ngk punya apa " dan tinggal di kontrakan biar kapok
sedia payung sebelum hujan