Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
Menjalin hubungan dengan duda ❌
Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Bab 11
14 Tahun yang Lalu...
Pagi itu, matahari bersinar hangat, menerangi halaman rumah yang luas. Lusi berdiri di depan gerbang, menemani suaminya, Bumi, yang bersiap berangkat untuk perjalanan bisnis ke luar kota.
“Mas berangkat dulu, ya,” ucap Bumi dengan senyum hangat.
Lusi membalas dengan lembut, “Iya, Mas. Hati-hati di jalan.”
Namun, perhatian Bumi tidak sepenuhnya tertuju padanya.
Dua gadis kecil berlari menghampiri, mata mereka berbinar penuh kasih.
“Om Bumi, Om Bumi... Om Bumi hati-hati ya! Mawar sama Anjani pasti akan merindukan Om Bumi!” seru mereka polos.
Bumi tertawa kecil, lalu berjongkok dan mengusap rambut keduanya dengan penuh kasih. “Jaga diri baik-baik di rumah ya, Sayang. Jangan lupa jaga juga Ibu kalian.”
Mawar dan Anjani mengangguk semangat.
Tiba-tiba, Mawar—yang saat itu paling kecil di antara mereka—melompat ke pelukan Bumi. Ia menggeliat manja dalam gendongan pria itu, jemarinya yang mungil memainkan jenggot tipis di dagu Bumi.
“Om Bumi jangan lama-lamaaa… nanti Mawar kangeeen,” rengeknya dengan mata berkaca-kaca.
Bumi tersenyum lembut, lalu mengecup kening gadis kecil itu. “Om pasti cepat pulang.” Ucapnya sambil mengusap rambutnya dengan penuh kasih, lalu perlahan menurunkannya dari gendongan.
Namun, sebelum masuk ke mobilnya, langkah Bumi terhenti. Pandangannya tertuju ke lantai dua rumah itu.
Di balik jendela besar, duduk seorang wanita dengan wajah pucat dan mata kosong.
Resti.
Duduk di kursi rodanya, wanita itu menatap mereka dari balik kaca dengan sorot hampa. Bibirnya bergerak pelan, menggumamkan kata-kata yang berulang kali terucap dengan suara bergetar.
“Lusi… kau telah menghancurkan hidupku… Kau jahat, Lusi! Kau jahat…!”
Bumi membuang napas berat. Ada sesuatu yang menyesakkan dadanya saat melihat wanita itu.
Wanita yang seharusnya menjadi istrinya…
Jika saja malam itu semuanya tidak berubah…
Jika saja Resti tidak menghilang…
Maka wanita yang berdiri di sisinya saat ini bukanlah Lusi.
Namun, tak ada gunanya berpikir seperti itu sekarang.
Di sisi lain, Lusi yang sedari tadi mengamati ekspresi suaminya hanya bisa mengepalkan tangan erat.
Tatapan Bumi… sekalipun Resti telah kehilangan kewarasannya, sekalipun wanita itu sudah hancur sehancur-hancurnya, tetap saja, perhatian Bumi masih tertuju padanya.
“Bahkan setelah gila pun, wanita itu masih saja mencuri perhatiannya?!”
Amarah membuncah dalam dadanya, tapi ia menutupinya dengan senyuman kecil.
“Ya sudah, Mas berangkat dulu.” Akhirnya, Bumi bersuara, memutus kebisuan di antara mereka.
Tanpa menunggu jawaban, ia langsung masuk ke dalam mobil. Sang sopir, yang telah setia menunggu, segera menyalakan mesin. Dengan satu hentakan, kendaraan itu melaju, meninggalkan jejak debu yang perlahan menghilang di udara.
Lusi tetap berdiri di tempatnya, menatap mobil suaminya yang semakin menjauh. Namun, matanya kemudian beralih ke jendela lantai dua.
Resti masih di sana.
Masih meracau.
Masih hidup.
Dan saat itulah rencana keji Lusi kembali dimulai.
Ia menarik napas dalam, kemudian berbalik. Senyum lembut terukir di wajahnya saat ia berjongkok di depan Mawar dan Anjani, menatap kedua gadis kecil itu dengan penuh kelembutan—atau setidaknya, itulah yang ingin ia tunjukkan.
“Mawar, Anjani, ayo ikut Tante.”
Mawar mengerjap, kebingungan. “I-Ikut Tante? Memang Tante mau ajak Mawar sama Mbak Anjani ke mana?”
Lusi mengusap lembut rambut mereka. “Sayang, Oma dan Opa sudah menyiapkan tempat yang bagus untuk Ibu. Tempat itu akan membuatnya lebih tenang... lebih nyaman. Kalian mau kan membantu Ibu? Kalian ingin Ibu kalian sembuh, bukan?”
Nada suaranya lembut, seolah penuh kasih sayang, tetapi ada sesuatu yang dingin di baliknya.
“Kalian anak-anak baik... pasti tidak ingin menambah beban untuk Om Bumi, kan?”
Ia menepuk pipi Mawar dengan pelan. “Ayo, jangan buat Ibu menunggu lebih lama.”
Mawar dan Anjani saling pandang. “Tapi Oma dan Opa kan masih di luar kota?”
Lusi tetap tersenyum. “Iya, Sayang. Makanya sekarang kita harus menyusul mereka. Oma dan Opa ingin membantu menyembuhkan Ibu kalian.”
Dan dengan polosnya, dua gadis kecil itu mempercayainya.
Mereka pun membantu menyiapkan kursi roda Resti.
Sepanjang perjalanan, wanita itu duduk dengan tubuh gemetar. Matanya bergerak liar, dipenuhi ketakutan yang nyata. Bibirnya bergetar, menggumam tanpa henti, suaranya nyaris tak terdengar.
“J-Jangan… jangan lakukan ini padaku… j-jangan…”
Di dalam mobil, Mawar dan Anjani mulai merasa gelisah.
Jalanan yang mereka lewati semakin asing. Rumah-rumah penduduk perlahan menghilang, digantikan oleh hamparan pepohonan lebat. Jalan berkelok dan gelap, bayang-bayang dari pepohonan menari di kaca jendela, menciptakan ilusi yang menyeramkan.
Hening.
Mawar menggigit bibirnya, lalu menoleh ke arah Anjani yang duduk di sampingnya. Ada sesuatu yang terasa tidak beres.
“Mbak Anjani… sebenarnya Tante Lusi mau bawa kita ke mana?” suaranya bergetar, lirih, penuh kecemasan.
Anjani menelan ludah. Tangannya yang berada di pangkuan mulai gemetar. Ia berusaha tetap tenang, tetapi matanya tak bisa berhenti mengawasi jalanan di luar, mencari sesuatu yang familiar—sesuatu yang bisa meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja.
Namun, yang ada hanya kegelapan dan bayangan pohon yang seakan mengurung mereka.
“Mbak juga nggak tahu, Mawar…” suara Anjani hampir seperti bisikan.
Mawar menggenggam lengan kakaknya lebih erat.
Perjalanan ini sudah terlalu lama.
Sudah terlalu jauh.
Bahkan sudah sampai malam.
Dan tujuan mereka…
Sama sekali tidak jelas.
Hingga akhirnya—
Mobil berhenti.
Suara mesin yang dimatikan meninggalkan keheningan yang lebih mencekam.
Anjani menahan napas. Ia menoleh ke Mawar, lalu perlahan melihat ke belakang.
Matanya membelalak.
Beberapa mobil hitam berhenti di belakang mereka.
Dan dari dalamnya…
Keluar pria-pria bertubuh tegap dengan wajah tanpa ekspresi.
Bodyguard.
Jantung Anjani berdegup kencang. “Mawar….” Bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. “Kita harus kabur…”
Mawar menoleh ke kanan dan kiri, tetapi tidak ada tempat untuk lari. Di satu sisi, hutan yang gelap. Di sisi lain, jurang yang menganga, langsung mengarah ke laut di bawah sana.
Anjani meneguk ludah, suaranya bergetar. “T-Tante… kita mau ke mana?”
Lusi tidak menjawab. Ia hanya menoleh ke belakang, lalu memberi isyarat dengan dagunya.
Bodyguard-bodyguard itu bergerak cepat.
Pintu mobil dibuka dengan kasar, dan sebelum Mawar dan Anjani bisa bereaksi, tangan-tangan kuat menarik mereka keluar.
“L-Lepaskan! Jangan! Jangan!” Anjani meronta, tetapi genggaman pria berbadan kekar itu terlalu kuat.
Mawar juga berjuang, tetapi tubuhnya yang kecil tak sebanding dengan tenaga mereka.
Lusi hanya berdiri di sana. Menatap mereka dengan tatapan puas.
Seolah ini bukan sesuatu yang kejam. Seolah mereka bukan manusia—hanya hambatan kecil yang harus disingkirkan.
Lalu, pintu belakang mobil terbuka.
Ibu Resti.
Duduk di atas kursi rodanya, dengan wajah yang kosong dan mata yang hampa.
Seolah berada di dunianya sendiri.
Bibirnya bergerak-gerak, menggumamkan sesuatu yang hanya bisa ia dengar.
“Lusi... Kau jahat... Kau menghancurkan hidupku... Kau jahat, Lusi... Kau jahat...”
Mawar dan Anjani semakin panik. Mereka berusaha melepaskan diri, mencoba menghalangi bodyguard-bodyguard itu yang kini sedang menarik kursi roda ibu mereka keluar dari mobil.
“Tante! Tante mau bawa Ibu ke mana?! Jangan, Tante! Jangan lakukan ini!” Mawar dan Anjani berteriak, air matanya mulai menggenang.
Lusi melipat tangan di dada, menatap mereka dengan tatapan penuh kemenangan.
“Kalian tahu? Aku sudah cukup bersabar dengan kalian... dengan Ibu kalian yang terus-terusan menarik perhatian Mas Bumi. Bahkan dalam kegilaannya, dia masih saja lebih penting dariku!”
Mawar terkejut. Anjani menatap Lusi dengan mata membelalak.
Ini bukan sekadar ingin menyingkirkan mereka.
Ini adalah dendam.
Dendam seorang wanita yang merasa terancam.
Lusi mendekat, berjongkok agar wajahnya sejajar dengan Mawar dan Anjani yang tengah berlutut di tanah.
“Aku bisa saja membiarkan kalian hidup... Tapi aku tidak mau mengambil risiko. Kau tahu kenapa?” Ia menepuk pipi Anjani dengan pelan. “Karena anak-anak seperti kalian... cepat sekali tumbuh besar dan menyusahkan.”
Ia berdiri dan bertepuk tangan dua kali. “Sudah cukup bermain-main. Buang mereka.”