Kisah seorang gadis bernama Kanaya, yang baru mengetahui jika dirinya bukanlah anak kandung di keluarga nya saat umurnya yang ke- 13 tahun, kehadiran Aria-- sang anak kandung telah memporak-porandakan segalanya yang ia anggap rumah. Bisakah ia mendapatkan kebahagiaannya kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jeju Oranye, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUK- 6 : Tak butuh belas kasihan
Kanaya menarik napas dalam-dalam. Mencoba menelan kembali kepedihan yang menghantuinya. Dia memutuskan untuk tidak memperdulikan mereka lagi, membiarkan dirinya tersenyum getir sambil berjalan menjauh dari kerumunan yang masih sibuk dengan Aria.
"Aku tidak butuh belas kasihan mu ayah, " gumam Kanaya pada dirinya sendiri, matanya mulai berkaca- kaca lagi, "Aku tidak butuh siapapun di sini. "
Kanaya melangkah lebih cepat, meninggalkan ruang tengah yang penuh dengan drama keluarga itu. Dia tidak ingin menjadi bagian dari permainan mereka lagi. Ketika mencapai kamarnya, Kanaya mengunci pintu dan membiarkan dirinya jatuh ke tempat tidur. Memeluk bantal sambil menangis diam- diam.
Di sisi lain, di ruang tengah, kekhawatiran semua orang tertuju pada Aria yang masih terbaring lemah. Tuan abiyasa memanggil dokter pribadi mereka untuk segera datang dan memeriksa Aria. Nyonya Tania sibuk mengambilkan air hangat dan berusaha menenangkan Aria yang masih terlihat pucat.
"Ayah, ibu maafkan Aria ya, gara-gara Aria jadi menciptakan kehebohan, harusnya malam ini kita makan malam bersama untuk merayakan kedatangan kak Naya. "
Tuan Abiyasa mengusap kening putri nya. "Tidak, sayang. Kesehatan mu lebih penting. "
"Papa mu benar, jangan pikirkan apa- apa lagi dan beristirahat lah, " tambah nyonya Tania.
Javier dan Areksa berada di sisi adiknya. "Harusnya kami yang minta maaf Ara, " kata Javier, Ara adalah panggilan akrab gadis itu.
"Kalau saja waktu lahir kamu tidak hilang di dirumah sakit, kamu pasti akan mendapatkan kasih sayang kita sejak kecil bukan hidup menderita di keluarga miskin hingga membuat tubuh mu jadi lemah seperti ini, bukan si anak pungut itu yang kami manjakan" ungkap Javier dengan nada penuh penyesalan.
Aria tersenyum. "Sudahlah kak, jangan ungkit yang satu itu lagi, aku tak ingin membuat hati kak Naya tersinggung. "
Areksa mengecup kening adiknya. "Kamu benar-benar gadis yang sangat baik. Beruntung kami memiliki mu. "
Sementara Jendra dan Rayyan saling bertukar pandang, keduanya memiliki perasaan yang sama-- keduanya tidak ingin Kanaya mendapatkan perhatian lebih dari keluarga mereka. "Aku tidak tahu apa alasan Kanaya memakai baju yang compang- camping seperti itu, tapi apapun alasannya kita harus pastikan dia tidak melakukan hal seperti ini lagi untuk mendapatkan simpati ayah, seperti tadi. "
Jendra mengangguk setuju dengan ucapan Rayyan, diam-diam mereka memikirkan siasat untuk mengusir Kanaya tanpa kecurigaan agar Kanaya tidak dapat lagi merebut posisi Aria di rumah ini.
Sementara itu Areksa yang saat ini diam di pojok ruangan memperhatikan semuanya dengan pikiran yang berbeda. Dia melihat ke arah lorong kamar di mana Kanaya berbalik pergi, tadinya dia ingin mengejar Kanaya tapi prioritas utama nya tetap pada Aria, membuat nya menahan diri.
Bayangan Kanaya yang memakai baju lusuh tadi tergambar jelas di ingatannya, Areksa ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Kanaya selama dia tinggal di panti asuhan. Karena sebelum ini dia juga sempat melihat beberapa luka di tulang selangka Kanaya membuat nya semakin yakin harus menyelidiki ini secepatnya.
Makan malam bersama pun akhirnya di tiadakan, mereka memutuskan untuk makan di samping Aria agar gadis itu tidak merasakan kesepian, padahal mereka sendiri tidak sadar telah membuat Kanaya begitu terluka dengan tindakan mereka tersebut.
Kanaya makan di kamarnya setelah mengambil nasi dan lauk sendiri di dapur, dia makan di sisi ranjang nya dengan air mata bercucuran. Rasa makanan jadi terasa asin karena telah bercampur dengan air mata. walaupun susah menelan karena kerongkongan nya yang tercekat, Kanaya tetap masukkan makanan ke mulut nya meski dengan isak yang tertahan.
Esok paginya di hari minggu. Kediaman warga arkatama begitu damai karena hari weekend yang cerah ini.
"Syukur lah si kriminal itu tidak sampai menyakiti aria semalam, " Kata Rayyan, ia dan Jendra masih di kamar aria, menjaga gadis itu. Karena mereka meyakini Kanaya akan mencelakai Aria untuk membalas dendam akibat kejadian semalam.
"Siapa yang menjamin kan? dia baru kembali saja sudah menindas seorang pelayan, apalagi nanti Aria pasti akan menjadi target berikut nya, " kata Jendra waktu itu hingga membuat mereka memutuskan menemani Aria malam itu.
Sarapan pagi di meja makan kali terlihat sedikit tegang. Bukan saja karena adanya Kanaya, anggota keluarga yang hampir saja di lupakan kehadiran nya, juga pengumuman mendadak sang ayah yang memutuskan Kanaya pindah sekolah mulai besok.
"Pokoknya mulai besok kamu akan pindah sekolah ke tempat Aria dan kakak- kakak mu yang lain Kanaya. "
"Ayah, jangan memutuskan sebelah pihak seperti ini. " Kanaya tak terima, karena di sekolah sebelumnya Kanaya sudah menuai banyak prestasi, dan di sana juga banyak teman- temannya yang tak mungkin ia tinggalkan. Bagaimana mungkin dia tiba-tiba pindah?
"Memangnya kenapa? kau dan Aria baru naik ke kelas sebelas, tak ada yang terlambat jika kau pindah. " ujar tuan Abiyasa memberikan pendapat nya.
"Tapi--"
"Di kasih enaknya kok gak mau. " Jendra, kakak ketiga Kanaya itu tiba-tiba menyela.
FYI: Jendra dan Javier itu kakak beradik kembar ygy.
Sementara Areksa sudah kuliah semester lima dan Rayyan baru menjalani semester pertama tahun ini.
"Padahal gedung dan fasilitas sekolah kami sudah tentu jauh berbeda dengan sekolah mu yang sekarang. " tambah Javier.
"Ayah melakukan ini juga demi kebaikan mu, " Areksa ikut menyahut.
Kanaya mengepalkan tangan yang sedang memegang sendok dan garpu di atas meja, mulai tersulut emosi. Mereka selalu saja seperti ini membuat keputusan seenaknya tanpa memikirkan perasaannya.
"Kalian tidak mengerti! " kata Kanaya lalu berdiri dan berbalik pergi, tidak melanjutkan sarapannya lagi.
Tuan abiyasa yang melihat kepergian Kanaya, menggertakkan giginya. "Dasar tidak sopan! cepat kembali dan habiskan sarapan mu dulu! "
Nyonya Tania yang takut emosi suaminya ikut tersulut, segera menenangkannya. "Sabarlah sayang, mungkin Kanaya hanya perlu waktu sendiri dulu. "
"Apanya yang perlu waktu sendiri? aku hanya memintanya untuk pindah sekolah bukan mengirimnya ke medan perang! "
Nyonya Tania mengangguk berusaha memahami. "Iya aku mengerti sayang, tapi cobalah melihat dari sisi Kanaya juga, kita terlalu dadakan memberitahukan nya mungkin dia juga sulit jika harus berpisah dengan teman- teman di sekolahnya. "
"Memangnya dia punya teman?" cibir Javier. Nyonya Tania langsung melototi putra ketiganya itu.
Tuan abiyasa berdecak pelan. "Ini salah ku juga, tidak seharusnya aku mengirim nya ke panti asuhan dulu. "
Aria tiba-tiba menunduk, lalu terdengar isakan kecil darinya. "Ayah, ibu maaf... ini semua berawal dari ku, a- aku tidak bermaksud membuat kak Naya sampai harus di asingkan ke panti, hikss, hiks, hiks. "
Jendra langsung memeluk pundak Aria. "Bukan salah mu, Aria jangan meminta maaf terus. "
"Ayah juga, tak seharusnya mengungkit hal itu di depan Aria saat ini. "
Tuan abiyasa langsung menunjukkan raut penyesalan nya. "Maaf Aria sayang, bukan maksud papa membuat mu merasa bersalah seperti itu. Jangan menangis ya. "
Sementara Areksa hanya diam, menoleh ke arah Kanaya pergi dengan berbagai perasaan yang berkecamuk.
"Apa kami terlalu berlebihan padanya? "
*****